Kamis, 25 Desember 2014

Puitisasi Traveling I: Jogjakarta, Kota Budaya

Hari Pertama.
---

( ket. t: Jl. Adisucipto, selepas tol )

Jogjakarta, 7 Desember 2014, Garuda menaruh saya dan Mama di Lapangan Terbang Adisucipto, dan mata saya langsung berkeliling dengan semangat. Menengadahwah, bukankah biru mandala di atas sana, tengah bersiap untuk bermain dengan saya?

(ket. t: Jl. Merbabu, Boyolali)
 Tentunya, sandang yang merajang di atas raga ini tak boleh sembarang asal.
hitam-putih bajunya, biru denim celananya, sabuk merah, jaket muda, sepatu gunung AlaAla. Itulah pakaian 
s h a b i a.

(bertemu Gaby. Boyolali, view gunung:  Merapi)
Ohana means family. Family means nobody are left behind, or being forgotten. And, it was a great pleasure to saw the glory of Merapy standing in front of us.

 bukankah di setiap genangan
yang meluncur bebas mengecupi tangan
ada jiwa-jiwa yang merengek
minta diingat?
Ah, mereka rindu kamu untuk melebur dalam pelukannya
(Karena kamu jauh dari rumah)
dan hanya dikecupinya sepi merajalela
maka dikirimkannya pada hujan
tetes demi tetes kenangan

(masih di boyolali, Iga Bakar Mas lupa, ehe)
nyam-nyam tym: the authentic taste of Boyolali's hidden pleasure, Iga Bakar porsi Bezhaaar with nasi all-you-can-eat. Dengan penganan sambal gurih. Tulang yang bisa dijilat. Aih.

(Ketep Pass)
Banyak yang pas di hati
Tapi tetep
Yang paling tetep pas
Ya cuman ketep pass

(Jl Jendral Sudirman, yogjakarta)
Mampukah pikukmu bercokol dalam sunyi hatiku, 
Kendati dimensi tak ubahnya magnet mutlak yang tak bisa dipindah?
Jantung kota hanya terdiam sembari memainkan lampu-lampunya.
"Sudah saatnya aku tutup hari."
dan gelaplah hari pertama sang gadis seni


 Hari Kedua.
---
( Pasar Seni Bantul )
Pasar memanggil Shabia ...

( Pantai Parangtritis )
... demikian pula Pesisir yang menggigil dalam rindunya.

(di sini kita akan melihat Rugun bergabung dalam serentetan foto)
EH! Ada Andong! Fokusmu juga langsung mengarah ke bendi bendi lucu itu, bukan?

kooda membelah laoet


Rugun kagumi refleksinya


refleksi kagumi Rugun-nya

(Gumuk Pasir Parangkusumo)
Inilah kisah tentang kami, yang dijawati buliran-buliran pasir waktu. 
Tak pernah sekalipun butir-butir pasir itu terbang berjauhan, kerjanya hanya menepis ilalang dan biarkan ular melata di atasnya.
Hingga suatu ketika, datanglah kami, dua pelesir plonga-plongo
mencoba memahami sepi
Sahara sunyat sunyi
dalam Oase gumuk Parangkusumo

Mulanya hanya mengembara. 
"Di gurun bukannya bisa terjadi fatamorgana?"
benar saja, tak lama...

fatamorgana


Di ujung sana, ada pohon dengan tegaknya menantang pasir yang ada dimana-mana.
"Ada kehidupan! Ada kehidupan!"


"Ho, ho, ho. dan lihatlah sekarang, siapa yang mengemudikan kehidupan di atas pasir setan?"


Dan setelah itu bagai diangkat ke atas kanopi, dihadapkannya mereka pada bareksa. Kisah mereka sudah selesai. Hitam tumpah, dan musik sayup-sayup menyusup bak terompah.
Snow on The Sahara - Anggun C. Sasmi

Hari Ketiga
---

When suddenly, I came up in the joyful morning with flowery pashmina, blue-stripes tshirt, white shortpants, and havaianas sandals. ready to wandering

( Rumah Budaya Tembi )

Ada wayang nangkring di Rumah Budaya Tembi!


Ada wayang, tokoh jahat (aih, lihat kontur wajah nan menyiratkan kelicikan itu) di Museum Wayang Kekayon! 


Iya, wayang aja punya topeng, masa manusia aja gak punya?
Hm, wayang aja tak memakai topengnya setiap saat, masa kamu manusia pakai topengmu setiap saat? 


Wahai jiwa-jiwa yang bebas yang tak pernah kenyang walaupun sudah keluar dari ranah intelektual;

;ku takkan jera walau semilenia museum budaya berbaris minta ditengok sang dara

Hari keempat
---
S bukan untuk Sayap, bukan pula akronim Selfie, bukan pula arti dari Supergirl.
S adalah Seni, S adalah Saya, S adalah S h a b i a.



( Sumur Taman Sari )

Sumu(r)syik pembawa keberuntung(set)an

Lihat! Kainku kopyar kopyor
gembyar gembyor biar lebur dengan warna
biar nyeni peduli amat kata mereka
kainku pelangi, backgroundnya grafitti
kota jogja penuh dengan dinding seni
jadi kita bisa foto haha-hihi!


Syahrini: "I feel free"

 Yah, ilah, ke gep deh?
Makanya, hormati yang wisata jomblo, meskipun saya berdua sama pemandu sih.
lain kali kalo mau pacaran jangan di tempat wisata ya.
apalagi kalo buat maksiat, saya sewain hotel aja gimana?


sajak ada yang menyendiri, mengagumi bumi
sajak ada yang hancurkan dirinya sendiri, menangis di antara puing sepi
dan setelah sejauh ini
saya masih berpikir ingin bersamamu melalui ini

HASNT FINISHED YET

Selasa, 23 Desember 2014

Heterogenitas?

Terlahir sebagai gadis dengan latar belakang suku yang heterogen, yaitu Banjar (Kalimantan Selatan), Jawa (Jawa Tengah), Padang (Sumatera Barat), Sunda (Jawa Barat) dan sedikit darah Belanda sayangnya cuman nurun ke alis dan warna rambut hehe membuat saya mau nggak mau sering merasakan bentrokan budaya dari berbagai keluarga saya. Bentrok yang kadang positif, tapi juga negatif.

Mari ambil dari contoh yang mungkin paling simple, tetapi juga mungkin paling dasar: yaitu gender saya sebagai perempuan.

Nama saya Gusti Nur Asla Shabia. Gusti Nur itu adalah gelar, saya gak tau gimana silsilah keluarga saya dari jaman Kerajaan Islam, tapi Abah (ayah saya) bilang saya adalah keturunan ningrat. Ningrat dari sultan siapa, saya juga malas nyari. Karena Abah nikah sama Mama dan kebudayaan Banjar adalah patrilineal, maka saya menurunkan "Gusti" dari Abah, dan mendapatkan nama "Nur" sebagai bentuk feminin-nya.

Yang mengherankan, darah Minang yang mengalir di pembuluh darah Mama saya pun menjadikan marga Minang saya "Madewa" pun sebenarnya bisa turun ke saya. Tapi, mungkin karena sistem pewarisan kekerabatan yang udah gak terlalu kuat di keluarga mama, kali, ya, nama Madewa itu gak turun ke saya. Bisa jadi juga karena Atuk (kakek saya) laki-laki, jadi gak punya kuasa untuk menurunkan nama -- tapi ternyata Beliau juga menurunkan nama tuh ke keempat anak-anaknya. 


Sebagai Perempuan

Bukan untuk membuat citra buruk bagi salah satu suku, tapi tetiba, saya menyimpulkan bagaimana persoalan perempuan di kedua darah yang mengalir di pembuluh darah saya. 

Saya lahir dalam didikan Abah yang keras dan mau dilayani: hasil sosialisasi dari kebudayaan Banjarnya, dan lahir dalam didikan Mama yang lembut dan terpengaruh banyak modernisasi: kendati Mama orang Minang, mama dari kecil lahir di Jakarta dan metropolis.

di Banjar ini lucu. Kalau saya pulang ke Banjar, fix banget saya jadi seorang gadis baik-baik yang ngelayanin Ayah saya. Mulai dari nyediain piring makan, nyuciin piring, ngambilin sesuatu (bahkan kalau si Bapak lupa menyertakan kata tolong.), bikinin kopi (tapi saya selalu mager kalo yang ini, jadinya udah gak disuruh-suruh lagi buat urusan ini), dan hal-hal lain. Lelaki sangat dituakan di sini. Poligami adalah sesuatu yang juga lazim dan bahkan seringkali ditolerir. Perempuan adalah penyedap rumah tangga dan yang melayani; mengemong; yang harus mengerti, dst. "Ya namanya juga cowok," adalah kata-kata yang biasa diucapkan. Seakan memiliki penis sudah bisa dijadikan rasionalisasi status dan peran.

Nah, di sisi lain saya juga punya pandangan feminis yang mungkin agak ekstrem. Terpengaruh dari Mama yang aktivis perempuan (mama kerja di salah satu Organisasi Non-Pemerintah) dan yang modernis, Mama membuat saya terbuka akan hak-hak perempuan. Saya inget satu hal yang agak lucu dan sebenernya remeh, waktu itu saya buang angin (peringatan sudah diberikan) dan saya berantem sama Abah sampe berapa jam gitu karena Abah saya bilang: "Gak ngehargain banget sih, masa cewe baik-baik kentutnya keras, gak ditahan!" dan saya lawan, "Lah kalo gitu Abah kentut gede-gede, bau lagi, annoying lagi bunyinya, lebih parah dari aku, kubiarin aja? Kenapa jadi ngelibatin jenis kelamin?" dll dsb. Belum lagi Abah yang ngerasa terhinaaa banget kalo nyuci piring dan nyuci baju karena gak biasa dilibatkan oleh kegiatan seperti itu di Banjar.

Saya pun jadi seorang Bia yang merupakan penggabungan dari keduanya. Saya ini Bia yang vokal soal hak-hak perempuan, ngelawan kalo dipaksa bertingkah nano wrimo kalo disuruh-suruh dengan embel-embel "kan kamu cewe". Tapi, saya juga Bia yang sebenarnya senang kalo menjalankan peran ibu rumah tangga, saya suka masak, nyuci piring, bersihin rumah, bahkan kalau saya nginep di rumah teman atau menyediakan rumah saya sebagai inepan teman (?) semuanya pada bawel bilang saya kayak emak-emak.

Dari Segi Budaya

Latar belakang yang heterogen juga membuat saya terbuka sama tata cara dan adat yang kadang-kadang gak lazim sampe butuh waktu bagi saya buat menyesuaikan diri. Misalnya:

Kalimantan, yang terbuka dan blak-blakan, menganggap:
1. Bersendawa sesudah makan adalah bentuk penghargaan terhadap makanan dan Tuan Rumah
2. Makan "ngecap-ngecap" (maksudnya mulutnya dibuka) adalah tanda merasakan kelezatan makanan
3. Orang Banjar tolerir banget soal harta. Mereka selalu memberikan uang atau perhiasan untuk besan mereka yang disayangi. Saya pun mengalami hal itu, saya punya beberapa anting emas dan perak (Martapura) sebagai hadiah. Mereka gak pernah hitung-hitungan dan loyal sekali, bagi mereka tamu harus dijamu dengan baik dan pantas.
4. Cewe gaboleh pake baju seronok :( 

Minang, membuat saya:
1. Ngomong dengan suara kencang yang membuat saya jadi Pemimpin Upacara dua tahun dan ketua kelas tiga tahun, pas masih SMP.
2. Suka sekali dengan sambal dan tahan pedes.
3. Cukup blak-blakan dan dominan (bila diperlukan).

Jawa, kebiasaan unik dan terlalu sopannya:
1. Tidak mampu menolak makanan yang disediakan tuan rumah. Menolak makanan itu pantang hukumnya.
2. Lewat depan orangtua harus menunduk.
3. Percaya takhayul. Sangat-sangat percaya, bahkan saya mikir saya bisa jadi dalang cerita misteri suatu saat nanti (?)
4. Melayani
5. Lewat di depan seseorang di jalanan harus bilang "Permisi Pak/Bu" (meskipun ini saya temukan di banyak budaya)

tapi tentu saja, lahir dan hidup di Jakarta membuat saya juga menjadi kaum metropolis. Tetapi kaum metropolis yang kadang eneg sama situasi Jakarta yang ruwet banget. Saya kadang pengen jadi kembang desa, mandi di sungai, turun ke ladang (?)

nggak deng, saya pengen jadi metropolis yang nggak lupa sama alam raya. Dan saya punya ambisi aneh, saya pengennya nikah sama orang Jawa sih (loh loh loh), tapi married with someone who have a different culture sounds good, seperti hmmm misalnya: Batak, Manado, Dayak, Papua. Tidak ada limitasi.

Yang jelas, saya bangga bisa terlahir di keluarga dengan empat latar belakang budaya. Terima kasih sudah ingin mendengar curahan pikiran dari saya!

Pulkam: Jogja, Pake kain Bali, berwajah Banjar, berdompet Padang (dompetnya gak keliatan)

 

Minggu, 21 Desember 2014

inter mejo

i'm done for the sake poetic life at my blawgs.

CAPEK JUGA LOH JADI PEMBUAT BLOG YANG ISINYA PUITIS SEMUAAA hellyea kemana Shabia yang dulu bodor dan seronok (yah well sampe sekarang masih sih), kenapa semua post gue jadi puitis gini?!!!? Haha i just re-read all of my entry dari atas sampe akhir dan i considered too much bahasa puitis ryt here ya.

Oke, saat ini gue masih memiliki empat entri yang susaaaah sekali untuk dipublikasikan:
1. Newsies (dari jaman jebot belom pernah dipublish karena the story would never be completed kalo gue gak niat nginget-nginget dan nginget2 itu susah men)
2. mmm my trip to Jogja? bahkan archive pun belum punya
3. My #20factsofmine terlalu cheesy kah? atau terlalu nyam self-oriented untuk dipublikasikan? ah
4. VIVA PERFILMAN INDONESIA! (yang terilhami setelah saya nonton film Indonesia dua hari berturut-turut. ga berturut turut juga sih. tp okay then.)

yah, kita lihat saja perkembangan update gue. belom gue nulis soal kaleidoskop 2014 yang pasti bikin askafnkadf bliwEGQE banyak sekali kejadian penting di 2014 dan makan waktu lama buat nulis. belom nulis surat buat mama. belom nulis entri serius dan butuh riset soal perkawinan anak (ya gais, gue baru ikut workshop last week and i feel amazed) dll dst. HAH capeq

yaudin. tunggu ya, mungkin kl niat berapa jam lagi akan muncul archive-archive yang belom diterbitkan. ada yang sepenggal, ada yang seluruh, ada yang minta dipenggal, ada yang cabul (LOH?!) ah. pokoknya gimanapun, ini intermejo. biar gak kontras banget post sebelumnya tentang perasaan melowdramatic saia. dan selanjutnya akan berubah menjadi superluwes. BHAY BHAY! (insert much luvs sticker rait hir)

Tidur Bersama




Di balkon yang tadinya penuh hiruk-pikuk dan ingar-bingar tawa mabuk, perlahan sepi merayap dan mengipas-ngipas sosok-sosok fana: Purnama menjelma menjadi ibu-ibu keriput; tangannya kisut.

Dalam senyap kita bersitatap
Dan kala kelopak-kelopak mata yang sok tabah itu mulai menutup,
tinggalkan cerutu dan asap yang lelamat siup
kita merayap. 

---

Sesungguhnya bila kau pinta aku ceritakan kembali 180 menit yang rasanya terlalu singkat untuk kita
Jemariku terlalu bingung untuk merantai kata, dan memutar memori yang penuh harsa gempita

Aduhai, waktu itu sempat pula tidak kau dengarkan detak jantungku?
Ia bertalu, tahu, saat kurebahkan di samping milikmu

Tapi kau tak tahu saja


Aduhai, waktu itu sempat pula tidak kau lihat mataku yang perlahan terbenam?
Ia tenggelam, tahu, kala kau tatapku dengan pandang Samuderamu

Tapi kau tak tahu saja


Sesungguhnya bila kau pinta aku ingat kembali 180 menit yang rasanya terlalu mimpi untuk jadi realita
Jiwaku terlalu rindu untuk dibaringkan berdampingan…

Kita tidur bersama (ya, kan, waktu itu?)
Tak sisakan serentang jalan bagi bayu untuk berjingkat
Atau mungkin ingar-bingar yang pekat
Karena kita terlalu rapat
Rengkuh, kecup, napas, tatap

entah berapa ya yang kita tempa?


Kita tidur bersama
Dan aku melihat Semesta
Tak ada jarak
Tak ada waktu
Tak ada aku
Tak ada kamu
Hanya kita, ya, kita, dalam tidur kita bersama