Minggu, 27 Juli 2014

Renungan (Menjelang Aidil Fitri)


Ratus kali hamba lupa
Padahal rizki-Mu limpah segala
Tiada habis ia mewarta
Tak juga ku tadahkan tangan

Juta kali hamba berserapah
Tak sikit pun ucap hamdalah
Atas netra yang masih mampu berproyeksi
Atas wicara yang masih bisa bermelodi
Malah keluh kesah yang hamba rajang:
“Aduh Gusti, ini masih kurang!”

Hikmah-Mu datang perlahan
Saat yang limpah segala kini remang tak bersisa
Saat gemuruh cobaan hempas raga hamba
Menuju samudera tanpa harsa—
Yang ada hanya sengsara

Hikmah-Mu datang perlahan
Tatkala paras hamba tundukkan
Menelangsa sesal tiada guna
Malah kau buka kelopak yang selama ini menutup
Malah kau tengadahkan telapak yang selama ini telungkup
Katamu: “Masih ada jalan”

Lalu sesederhana itu
Aku muntab

S.N.A // 4:23 // sudut ungu selepas Ashar

.
.
.

Apa yang tertulis di atas bukanlah keseluruhan yang aku rasakan Ramadhan ini.

.
.
.
 
Malam ini aku tepekur. Sendirian di dalam kegelapan kamar, meminta izin kepada saudara-saudara di ruang depan sana—Bia ingin merenung, kataku. Biar saja mereka tertawa. Tapi toh tak ada yang melarang.

Saat sudah sendiri, kulakukan kilas balik ke 30 hari yang sudah kulewati dalam rangkulan Ramadhan ini.

Aku berefleksi.

Ya Khalik, apa yang telah aku lakukan, ya, selama sebulan ini?

Jawaban kosong menyahuti. Memang tak ada yang perlu dijawab, karena nurani telah tahu di dalam sanubari. Ramadhan ini, seperti yang sudah-sudah—masih sama. Dalam banyak hal. Tapi ada satu hal, satu hal yang umpama bara api yang menempel di sudut-sudut rerantingan; memang mungil rupanya, tapi hanya dalam satu sengatan ia bisa membuat ranting itu terbakar.

Pada Ramadhan ini, aku ditampar.

Tidak. Adalah sebuah wacana munafik apabila aku berkata: YA TEMAN-TEMAN! LEBARAN INI AKU TERLAHIR KEMBALI! MARI SEMUANYA MULAI DARI NOL LAGI!

Aku tidak sehipokrit itu. Ditambah, aku tidak sesuci itu. Mereka yang reinkarnasi dan lepas dari samsara tentulah mereka yang bukan hanya mengalami tamparan layaknya aku, tetapi ditendang. Benar-benar ditendang sampai terjungkang, sudah itu masih terguling dan mengonggok di jurang. Namun nyawanya enggan merenggang. Kesengsaraan abadi.

Mari beralih ke topik utama, aku tak akan membuang kata. jadi, ini ceritanya:

Malam itu adalah malam yang biasa. Namun sejak Maghrib menjelang, dorongan hatiku untuk menunaikan Tarawih (yang memang belum kulakukan sejak awal puasa) terasa sangat kuat. Sempat terselip rasa segan karena tak ada teman yang mengiringiku. Tapi kupikir, untuk apa ditemani. Alasanku klise sekali.

Maka aku berangkat. Shalat. Bersama jamaah lainnya. Hari itu hujan, gerimis, seakan Allah menjahili hamba-Nya yang sering tergoda oleh nafsu duniawi ini. Tapi tidak, aku menggeleng ketika tetes pertama membuat wajahku tercoreng. Aku harus tarawih, setidaknya sekali.

Lalu, ya, sampai juga aku di surau yang sepi. Dan setelah beberapa jamaah telah memadati saf, aku mendengar keresak mik dibetulkan oleh imam.

(OH ya, aku tarawih sehabis membaca Rembulan Tenggelam di Wajahmu, sebuah karya Tere Liye ttg kehidupan, indah sekali. Nanti akan kuceritakan.)

Kemudian azan Isya berkumandang.

… apa yang terjadi setelahnya benar-benar membuatku malu. Aku menggigil. Seperti layaknya Umar bin Khatab membaca naskah yang ia kira surat—ternyata penggalan ayat Al-Quran. Aku menggigil mendengar azan itu.

Ya Khalik, kapan terakhir kali aku shalat jamaah dan merasa sendiri?

Tetes air mata pertamaku jatuh ke mukena. (sumpah, aku tidak bermajas hiperbola. Aku sungguh, sungguh, sungguh, mengalami hal ini.) aku menahan isakan. INI YANG AKU CARI! Ini. Tetes air mata kedua, ketiga, keempat menyusul. Kuusap tak kentara, lalu aku menoleh kepada barisan saf di kanan-kiri mereka.

Mereka semua—adalah saudaraku. Mereka adalah muslimin dan muslimah, yang, sedang menabung kebaikan kala itu di surau, sepertiku.

Hari itu aku ditampar. Tuhan menjawab rinduku yang selama ini aku tak tahu harus lampiaskan ke siapa.

Ya ayyatuhan nafsul mutmainnah, Irji’ I ila Rabbiki radiyatam mardiyyah.
Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhamu dengan ridha dan diridhai. (QS Al Fajr: 27 – 28)

(Aku ridha, Ya Allah, dan semoga aku juga diridhai Mu.)

Malam itu, aku bertahan hingga Imam mengucap tahlil.
.
.
.

Lalu, kini.

30/30. Syawal yang lain. Ramadhan-ku belum sempurna. Tapi ia telah pergi. Aku tak mau munafik: aku masih bau kencur. Kejadian di atas hanya sentilan sentilun, aku masih butuh yang banyak yang seperti itu. Bisa jadi, sehabis aku menulis ini aku kembali lupa, lalu berubah menjadi manusia merugi—lagi.

(Tapi aku mau bersyukur.)

Malam ini aku tepekur.

Setelah setengah jam yang lalu baru saja kukayuh sepeda keliling kampung. Khusus untuk melihat bocah-bocah main petasan. Menabuh gendang takbiran, bersuara keras meneriakkan takbir seakan Tuhan tak mendengar yang pelan. Lalu  Mendengar gema itu tergaung di mana-mana, lafadz kebesaran Allah.

Malam ini aku tepekur. Masih banyak yang harus kuperbaiki. Shalat tak boleh bolong. Al-Quran harus khatam. Ramadhan yang akan datang, harus kujemput Lailatur Qadar. Dan masih banyak lagi, dan masih banyak lagi.

Sehabis ini, aku akan menyalakan lampu. Kembali bercanda bersama saudara-saudaraku, bermain letupan bersama-sama (oh ya, itu euforia yang lain lagi).

Satu kesimpulan: Ramadhan ini, memang aku belum dalam tahap reinkarnasi. Aku masih kotor. Tapi Allah, Allah telah membuka mataku atas apa yang selama ini kucari: Islam itu indah, Shabia. Kamu tidak perlu merasa kesepian. Pergilah ke masjid, shalatlah, lalu selesai shalat tengok kanan dan kiri. Salami mereka dengan tulus. Mereka saudara saudarimu. Aku tak perlu reinkarnasi. Aku hanya meminta kepada Allah, sering-seringlah menamparku seperti ini.

10:13. Aku masih duduk tepekur. Takbir masih tertutur di luar sana.

(Kubaca ulang dari awal. Ah, lagi-lagi, apa yang kutulis memang tidak mewakili apa yang kurasakan secara menyeluruh. Biar saja lah. Waktuku sudah habis tepekur di sini.)

Akan kunyalakan lampu, dan semoga esok hari ketika kubaca kembali entri berikut, diriku yang ‘ini’ masih terpatri. (karena memang tujuannya aku mempublikasi ini)

Sampai berjumpa lagi. Dan Oh, mohon maaf apabila selama ini hamba terlalu melankonli dan banyak omong kosong :)

.
.
.

(PHET! Lampu nyala.)
Minal Aidin Wal Faizin.
(Semoga kisah ini bisa menginspirasi)




SELAMAT LEBARAN, TEMAN-TEMAN!!! :D