Kamis, 12 Februari 2015

Kepada: Perempuan Penyemai Senyum

Selamat malam, paramita!

Sejenak aku gugu. Aku bingung harus memulai darimana, karena kita berdua adalah dua sahabat yang biasanya tidak saling bertukar dalam metafora atau kata-kata kiasan ketika berkomunikasi satu sama lain. Bagiku kamu adalah realita, jadi untuk berbicara padamu hanya diperlukan sepatah dua patah kata yang modern padahal kini kita sama-sama tahu: sebenarnya kita telah begitu jauh diperdayakan keindahan puisi, dan tak bisa bangkit dari indahnya. Kamu yang mengajariku Jawa Kuna. Dan di dalam puisimu, aku menjumpai dirimu yang selalu sulit dipahami orang lain. (Sama seperti Kuna yang begitu kuno meletakkan dirinya dalam digdaya pemahaman orang awam. yang belum pernah belajar bahasa Jawa. :))

Nah, mari bertolak dari satu problema: kamu.sulit.dipahami.orang.lain. Bukankah problema selalu menjadi awal yang tepat untuk meletakkan batu pertama sebuah refleksi? Melalui problema kita diajarkan untuk revaluasi. Mengapa Archimedes bisa menemukan hukum massa jenis? Karena ia begitu tenggelam dalam masalahnya yang tak terpecahkan dan memutuskan untuk sejenak berendam, memikirkan masalahnya, kemudian: EUREKA! air dalam bakinya meluber kemana-mana, sebanyak beratnya. Dan, ya, kamu--aku, dua entitas yang sulit dipahami orang lain. Di dalam itu kita bisa berempati. Di dalam itu kita bisa saling berevaluasi.

Kamu masih ingat ketika kita kelas 10? Saat aku begitu kesal padamu yang pamer kemampuan, bergerak di sana-sini dengan menunjukan jurnalmu yang berisi coretan-coretan artsy-mu. Aku membatin, bah. pongah sekali gadis ini. Dan mungkin, secara tak sadar kamu menampikku.

Lalu dunia Sekolah Menengah Atas mulai membuka tabirnya yang berbeda dengan dunia sekolah menengah pertama, dan aku agak tertatih. Kelas 10, setahun lebih muda daripada individu di angkatan kita, aku mendapatkan perkara dalam ekstrakurikulerku. Dalam kepanitiaan. Dalam pertemanan. Aku benci sekolahku. Aku mau pindah. Aku tak punya sahabat. Tapi di dalam papa, aku malah semakin sering mengobrol denganmu, dimulai dari topik cuping yang tak penting, kemudian berlanjut hingga masalah-masalah kita yang serupa dan tak sama. Tunggu. Ada satu hal lagi. Ternyata di dalam problematika juga, kita selalu bisa menemukan zat-zat yang menolong kita untuk bangkit.

Sesederhana itu, kita menjadi dekat. Pembawaanmu yang ceria dan berpengetahuan luas membuat kita bisa leluasa berbicara. Kita sering bertengkar, sungguh, dan yang paling kuingat adalah saat kamu membeberkan warna pakaian dalamku di depan Seminaris (Sungguh, Tanaya, ini Seminaris. Dan mereka laki-laki. mereka akan, atau sepertinya akan, dikaruniai kaul hidup selibat. dan ini tentang pakaian dalamku yang kamu bicarakan. Aku perempuan. Wajar gak, kalau aku marah?! Hah.) dan aku meledak. Kamu kudiamkan sehari. Message-mu di Twitter kubalas dengan kata-kata yang agak lebai, dan kamu membalas "gue kira lo beda dari orang-orang yang nge-judge gue selama ini. cuma masalah kecil, bi, gue janji gak ngulangin." BAH. kemudian keesokan harinya, saat aku akan memulai sikap jutekku, aku luluh. Kita maafan. Dan aku berkata yang sejujurnya, kali ini lebih halus dan tertata, supaya kita tidak berantem-berantem lagi.

Kita belajar untuk mengingatkan satu sama lain. Aku, menjinakkan tingkahmu yang serampangan dan seenak pantat. Kamu, menjinakkan tingkahku yang bossy dan mudah lupa teman.

Kalau kujabarkan satu-satu, rasanya kisah kita akan panjang, bahkan lebih panjang dari kisahmu dengan kekasihmu (eh, maaf, udah punya belom ya?) atau kisahku dengan kekasih-kekasihku (perhatikan, itu kata benda yang ganda.). Intinya, satu hari menuju hari kasih sayang, aku mau menyampaikan padamu sesuatu.


Aku mau kamu tahu, saya selalu menganggap kamu gadis yang kuat. Gadis yang hebat. Telah banyak perjuanganmu melawan hambatan-hambatan di luar sana, telah banyak kamu bangkit dan mengolesi luka-lukamu sendiri tanpa bantuan orang lain. Kamu ingat saat pertama kali kamu membuka rahasia-mu? di situ yang menangis bukan kamu. Tapi aku. Aku malu selalu merasa lebih darimu, padahal kamu menyimpan sabar seluas entah-apa di dalam dirimu. Kamu yang selalu sayang keluargamu.


Kita pernah sama-sama berteori, rasanya lebih mudah menjadi orang yang fana dan tidak menganggap dunia itu susah, karena mereka tidak perlu repot-repot bersosialisasi. "Mengapa, sih, aku susah sekali diterima orang?" tanyamu waktu itu. Pertanyaan yang juga menghantuiku.

Aku tak punya pikiran filsuf. Tapi kamu harus yakin, kita dipersiapkan untuk sebuah dunia yang akan memahami dan menerima kita lebih daripada diri kita sendiri. Agamamu, Buddha, percaya hukum karma, dan aku sedikit sedikit juga mengadaptasi hukum karma. Apa yang kita tanam, akan kita tuai. Entah ia akan agak tergopoh dalam prosesnya, yang penting ia bisa melahirkan sebuah pucuk yang mumpuni untuk berperan di semesta. Di dalam agamaku, ada sebuah surah: Al-Zalzalah. Ayat 7 dan 8:

"Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya. dan Barangsiapa yang berbuat kejahatan seberat dzarrahpun niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula. "

Yang harus kita lakukan sekarang cuma: sabar. berikan yang terbaik. fokus. integral--eh, integrasi dengan apa yang kita inginkan. Ujian adalah tamparan terbaik dalam proses menuju visi. Bila ada kegagalan (kamu mungkin tidak masuk ITB, atau nilaimu jelek, atau aku yang gagal dapat summa cum laude tahun ini), Tuhan telah membelokkan kita ke sebuah pencabangan yang brutal namun akan mengantar kita ke jalan utama dengan lebih dekat. Yang penting kita telah berusaha. Biar Tuhan yang bekerja melihat labirin nasib kita, kemudian memprogram apakah usaha kita sudah di tempatnya.


Smita, semangat ya. Aku tahu kamu akan jadi orang hebat. Dengan bakat melukismu, kecintaanmu pada humanisme, talenta-talentamu, kerianganmu, kekuatan fisik dan batin, bakat alamiah seorang Batak (HORAS!), kamu pasti bisa menjadi sesuatu. Kamu pasti akan menjadi orang yang ditaruh di dunia yang sudah dipersiapkan padamu. Yakin sama dirimu sendiri. Saya tau itu susah, tapi kita perlu percaya sama diri kita di saat Semesta sedang berpaling dari kita. (omong-omong, saya juga sedang berusaha percaya sama diri saya juga.)

Sukses untuk semuanya. Tetaplah menjadi Smita Tanaya, anak perempuan yang menyemai senyum. Jangan takut gagal. Kamu itu lebih.

Eh, dan Selamat hari kasih Sayang!
(Dan aku ogah lagi ya, menulis bahasa puitis ini untukmu, Bodat.)
Salam sayang,
Bia.

(our best photo! kita gak kayak lesbong, kok, nggak.)


Minggu, 01 Februari 2015

Yang Bikin Dingin Pas Ujan

1. https://soundcloud.com/nosstress/kita
aftertaste: pengen main becekan sama gebetan
2. https://www.youtube.com/watch?v=5jw8kPlaA2w
meliputi:
a. adithya sofyan: Adelaide Sky
aftertaste: "kamu lagi mikirin apa sih? pernah gak sesaaattt aja, aku singgah di pikiranmu?" eak galaw
b. agustin oendari: Selamat Pagi, Malam
aftertaste: kita gak sendiri, di balik ujan ada juga yang lagi ngeliat luar jendela nonton gerimis :)
3. https://soundcloud.com/aumdayu-1/la-vien-rose-ukulele-cover
aftertaste: mau bobok aja ah
4. https://soundcloud.com/wawankurni/efek-rumah-kaca-lagu-kesepian
aftertaste: yah ilah anjing sepi amat ni hati


selamat dengerin!