Sabtu, 25 April 2015

Gunung Papandayan 2661 mdpl (17-18 April)

            Papandayan telah mengajarkan saya banyak hal. Banyak sekali.

            Pertama-tama, halo teman! Udah lama gak post seputar pengalaman ya :)) Setelah berhibernasi dari udara ancala selama hampir … coba kita lihat, berapa bulan terentang antara Juli hingga April? Okay, 9 bulan—akhirnya saya kembali mencecap kemewahan udara bersih di gunung, dan gunung itu adala Papandayan :)

P A P A N D A Y A N

            Hari itu tanggal 17 April. Dua hari seusai UN. Saya, Dinta, Marissa, Kenny, Eka, Jose, Nono, Raka Hutomo, Raka Pranaya, dan Nono memang sudah merencanakan akan naik Papandayan sejak sebulan yang lalu. Dan, saya nekad. Walau Mama melarang saya naik gunung sebelum menunaikan SBMPTN dan Ujian Mandiri, saya sudah bandel menyiapkan segala hal untuk naik, dan baru mengabari di saat terakhir dengan surat singkat (yang mana, merupakan benang awal malapetaka nanti. Hehe)

            Maka berangkat lah kami ber-10 hari itu menggunakan Bus Primajasa dari Cililitan! Perjalanan cukup panjang sehingga bikin pantat saya pegel dan rada encok di bagian leher, belum lagi rasa laper karena lupa beli ganyeman, 5 Jam akhirnya mengantar kami ke Terminal Garut. Dan tanpa ba-bi-bu lagi (kecuali intermezzo kecil yang tolol: ada tukang dodol maksa nawarin dodol, nama dodolnya Dick. Nama. Dodolnya. Dick. DICK. Dodol kan panjang dan … oke, cukup lol.), kami segera turun, nyari charter-an angkot, dan yuhuuu! Kami meluncur menuju kaki Gunung Papandayan J

full cream in angkot


            Di kaki gunung, saya dan teman-teman yang lain sempet ke warteg untuk beli perbekalan dan makan siang yang sudah telat beberapa jam dari jam normal. Setelah re-packing, kami pun melanjutkan perjalanan dengan cara … NYARTER PICKUP! Wihi!

            Tapi, serius loh—saya paling suka naik pickup. Mungkin perasaan naik pickup akan tergantikan hanya dengan perasaan naik landrover HAHAHA. Mungkin rasanya 11 12 sama naik mobil hedona atap terbuka, dan waktu naik pickup saya bisa liat berbagai pemandangan, merasakan mountain breeze, sampe akhirnya saya berdiri khusus buat nyangklong di atep kabin (ceile kabin) depan, padahal jalannya ju gi ja gi jug.

            Singkat kata, setelah kita melewati gardu pendaftaran yang kayak pos satpam, dan membayar Rp 5000, kami pun dibawa pickup sebentar, terus berhenti, dan dari sana kami ke Camp David untuk pemanasan dan buang air.

            Nyampe Camp David, saya kaget.

            Kok…

            Rame banget …

Hehe, ternyata Papandayan sudah biasa ramai kalau hari Jumat. Tapi, menurut Eka, itu termasuk sepi, loh! Pengunjung Papandayan bisa membludak kalo emang lagi musimnya.

            Setelah pemanasan, akhirnya kami memutuskan untuk segera memulai perjalanan. Dan, wuoh, Bro, kita mulai jalan itu sekitar pukul 16.15 WIB. Tipis sekali waktu yang tersisa untuk mencapai tempat camping sebelum gelap meraja, tetapi saya toh mikir gak ada gunanya dipikirin dulu capeknya gimana, jadi ya sudah, jalani saja.

            Dan sekedar curhat sejenak, saya tuh benciiii banget sama kapasitas jasmani saya yang lemah banget kalau disuruh adaptasi.

            Jadi begini. Saya gak tau apa hukum dan teori ini berlaku di gunung dengan ketinggian yang tidak berlebihan seperti Papandayan, tapi sejak saya mendaki di Merbabu, lalu Papandayan, saya sudah menemukan kelemahan saya: yaitu menyesuaikan diri untuk pertama kali. Entah beradaptasi dengan kontur, suhu, ataupun sekedar keletihan yang leluasa merangsang. Kalau gak salah (berarti bener), nama penyesuaian ini aklimatisasi. Dan berarti, aklimatisasi saya itu lamaaaa banget. karena badan saya masih manja dibawa berjalan hingga kita sampai di kawah dengan kontur menanjak dan berbatu-batu.

            Dan imbasnya itu, lho, sangat tidak enak :” pertama, saya jadi ngerasa diri saya gak mampu untuk mencapai puncak. Kedua, saya malu karena “ini” cuman Papandayan. Ketiga, mata saya jadi kunang-kunang, napas saya putus-putus, dan kepala saya nyut-nyutan. Keempat, SAYA MULU YANG MINTA ISTIRAHAT! Saya kan malu, tapi saya juga inget di gunung gak boleh gengsi kalau kita gak mau membahayakan kelompok dan diri sendiri. Kalau capek, bilang. Eneg, bilang. Haus, bilang. Kangen pacar, bilang. Yeah, gak gitu juga.

            Karena hari juga semakin gelap, rute pendakian pun juga semakin sepi karena pendaki sudah gak boleh mendaki lebih dari jam lima lewat rute yang banyak kawah dan jackpot sulfuria binti belerangoso, saya pun jadi rada keki karena gak bisa berhenti sejenak untuk menikmati pemandangan. Plus, sekalinya istirahat paling hanya bisa mandang sekeliling satu-dua menit, sisanya buat ngatur napas, lemesin jempol kaki, dan mimik air cucu. Air putih deng.

            Sudah begitu, gerimis turun rintik-rintik membasahi. Rindu, pelangiku datang lagi. Maaf, jadi nyanyi.Tapi, memang hujan waktu itu sempat menghambat sedikit. Tapi apa gunanya windbreaker dan ponco dan carrier cover kalau bukan untuk menghalau itu semua? J

            Intinya, setelah melewati jalur yang kawah kecil-kecilan (sebenarnya bukan kawah, tapi lebih seperti lubang-lubang umm kepundan (?) yang mengeluarkan mofet dan air belerang) di sisi kiri, jalur berbelok ke kanan, menuju jalan yang lebih hijau, dan pasir pun perlahan digantikan rerumputan. Alhamdulillah.

            Saya gak begitu ingat rute perjalanannya selain naik turun bukit yang berpohon dan bersemak-semak, tapi saya paling suka pas nyebrang sungai! SAYA SUKA BANGET SUNGAI OH TUHAAAAN, meskipun kaos kaki dan sepatu jadi basah dan becek serta dinginnya setengah mati, tapi saya suka aja gitu. Adem, seger, dan menantang. Ehehe, padahal hanya sungai kecil, ya?

            Skip lagi, pokoknya setelah perjalanan panjang dan hasrat untuk merebahkan tungkai dan pantat, KAMI SAMPAI DI PONDOK SALADAH! Saya dan kece langsung melihat langit kalau-kalau tempat kemah kami bisa menjadi spot untuk melihat bintang—namun naas, kemilau bintang rupanya tertutup mega mendung. Sedihnyaa.

            Jadi, akhirnya ketika para Adam mendirikan Lafuma (tenda), Dinta menyiapkan trangia dan nesting, saya dan Kenny matras, dan Marissa ransum. Setelah carrier pindah ke dalam tenda masing-masing, kami pun makaaan! Sempat sebal sedikit karena ransum yang dimasak Marissa hambar karena terlalu singkat untuk dijerang air panas dan rupanya banyak mecin, tapi kami sedikit terhibur karena nasi bungkus tadi cukup mengganjal perut J kami pun masak energen juga hot cocoa merk Delfi (ahaha hafal, saya paling suka ini soalnya), lalu berbincang-bincang sejenak.

            Fyi, kalian gak perlu khawatir kekurangan makanan di Pondok Saladah. Sudah ada dua warung yang siap memenuhi kebutuhan perut, di sana mereka jual gorengan: tahu isi, pisang, minuman sachet-an yang bisa diolah jadi seruputan hangat, bahkan kita bisa nyewa sendok :))
            Setelah makan dan bercapek-capek ria, akhirnya sleeping bag dan tenda yang hangat sudah memanggil-manggil untuk ditiduri. Saya menyerah pada kantuk dan malam itu Papandayan sedang dingin-dinginnya, meski tak sedingin yang biasanya (ADUH kalau dingin “Seperti biasanya” kayak apa ya? Buat temen-temen yang mau stay di Papandayan sampai malam, jangan lupa bawa baju hangat, ya. Windbreaker kalau perlu.), kemudian saya segera beringsut untuk bobok. Kemudian disusul yang lainnya.
            Usailah hari pertama.
.
.

Saya gak bisa tidur.

Pertama, saya kedinginan hingga gigi gemeletukan dan gak ada yang meluk saya. Uhuk, maaf, bukan kode.

Kedua, tenda kami ini persis diparkir (diparkir?!) di samping jalan masuk para pendaki yang mau singgah di Pondok Saladah, alhasil berisik banget! ada suara-suara pendaki yang ketawa-ketiwi (atau jangan-jangan itu bukan pendaki …), teriakan-teriakan, becandaan, bahkan sekali ada suara motor trail……… jangan heran ya, Gunung Papandayan sudah familier ditanjaki sama pengendara motor yang nekat-nekat itu.

Ketiga, saya nyesel matras saya, saya pinjamkan ke Nono. Punggung saya serasa diganjal :(

Pokoknya, saya jadi kebangun terus dan mimpi yang mengisi tidur saya itu aneh bin ajaib semua. Hingga pada akhirnya …

“WOI! Bangun, bangun! Liat bintang, sini! Bintangnya bagus banget!” tiba-tiba terdengar entah suara Jose atau Eka, yang penting saya yang pertama bangun di dalam tenda dan saya segera menyuruh Kece, Dinta, Marissa, untuk bangun.

Dan ketika saya keluar pintu tenda untuk melihat langit malam …

Ya. Tuhan. Subhanallah.

aslinya, jauh lebih cantik. :)


Bintangnya … cantik banget. Tuhan, saya gak pernah benar-benar bisa bersitatap sama Orion, Waluku, Scorpio, Ursa Mayor, Ursa Minor, Betelgeuse, Alfa Centauri, serta teman-temannya yang lain seperti kala itu. SAYA GAK PERNAH LIAT BINTANG SEBANYAK INIII DALAM WAKTU YANG LAMA. Bahkan, Subhanallah (saya bener-bener ngucapin ini berkali-kali, sampe mau nangis), saya bisa ngeliat Galaksi Bimasakti. Sekarang saya memahami mengapa rakyat Jawa Kuno melihat langit sebagai wahana pertempuran antara Bima dan sebuah Naga, karena jika kamu memasang mata lekat-lekat, kamu bisa melihat siluet Maha Naga, berjumbai surainya, sedang bergulat dengan sesosok selayak Bima yang tinggi besar dan brewok. Indah, indah, sekali. Saya melihat lengan Bimasakti yang berdebu dan ada di sisi timur laut.

Saya melihat bintang jatuh, atau meteor sebanyak tiga kali. Saya melihat petir pagi yang menggetarkan puncak-puncak yang gelap. Kalau gak gengsi, saya sudah nari-nari kayak orang gila di tengah-tengah Pondok Saladah. Gak kebayang kalau saya dibawa ke tempat yang jauh lebih mumpuni untuk lebih leluasa memandang bintang…

Pokoknya, hari itu saya menjadi Putri Langit. Puas ngeliatin bintang, nyoba nerka yang mana yang Orion, Scorpio, Pari, Biduk—hehehe. Tapi, karena leher pegal dan saya ingat kamera yang bisa digunakan untuk mengabadikan momen, saya gantian ngatur ISO dan shutter speed biar bisa moto, yeay! Habis itu saya bantuin Marissa masak mie, nyiapin makanan sebagai bekal untuk nanti pagi. Habis makan, kami beberes untuk melanjutkan perjalanan. Waktu menunjukkan pukul 05.00 kurang sedikit.

Nah, di sinilah saya mulai ngerasa seru, dan aklimatisasi badan saya sudah full-loaded, CIHUY! Turun dari Pondok Saladah, medan yang menyambut langsung … huek, lumpur! Tapi asik banget, saya sampe ketawa-ketawa sendiri. Saya mencoba menerka yang mana lumpur yang gak dalem, tapi … saya kecele sekali, nyebur ke lumpur yang dalemnya di atas tumit! Sepatu yang saya pinjem dari Renata langsung berubah warna, dari abu-abu muda jadi coklat gelap. Ngakak.

TERUS ADA SUNGAI LAGI! Cuci-cuci sejenak, lalu jalanan rada menanjak menuju … entah apa itu tanjakan apa. Tapi saya pribadi menamakannya Tanjakan Jurik, karena hampir mirip tanjakan setan di Gunung Gede, bedanya gak ada rantai (Saya belum pernah ke sana sih), dan sombong dikit—saya gak jatoh sama sekali loh HAHAHA padahal keenan, cowok terjangkung yang ada di depan saya (saya urutan ketiga dari depan karena saya kelewat semangat mau ngeliat sunrise dari atas) matahin pohon dua kali dan bikin saya jantungan … malah Jose, yang jauh ada di belakang saya, katanya hampir terguling? Saya gak begitu ingat. Tapi saya agak nyesel kenapa harus buru-buru ngincer puncak, padahal udah tau gak keburu karena medannya makan banyak waktu, dan saya bukannya memerhatikan teman saya yang lain.

Tapi, the show must go on, pabila Ambo inda biso melihat mentari terbit di puncak, RANCAK BANA! Mari melihat dari Tanjakan Jurik. Sinar matahari menerabas bahareksa yang dihiasi daun-daun, dan … saya terhenyak. Kalau kalian pernah liat pemandangan dua gunung mengapit jalan di tengah, awan-awan gelap semacam cumulus kelabu dan halimun tipis yang berbayang, serta berkas-berkas surya yang mengintip dari balik awan, nah itu dia pemandangannya. Tapi mungkin lebih keren, ya? Dan hari itu, saya berganti lagi menjadi Putri Matahari Terbit. Hehehe.

saya gak sempet atur focusnya karena gak pake autofocus. namun, begini lah warna langitnya


Akhirnya kita sampai puncak! Kata Eka, sih, kita anak Gonz yang pertama sampai di puncak itu. Karena kita gak tau apa namanya dan emang gaada plang nama, kami namain puncaknya: Puncak Cang Cimeng. Bukan karena kita bawa cimeng, loh, ya! Tapi tetua suku kami, Agustinus Eka yang nyampe paling awal, dan nama Morespiiip dia tuh Cangcimeng, jadi yaudah, deh :p

Aslinya pas di gunung ga secantik ini kok. (Bia & Kenny)

mataharinya udah segini pas kita sampe di puncak :(

Sahabat: naik gunung bersama (Marissa & Dinta)


Dari puncak … setelah mengambil foto persahabatan, kami turun menuju: TEGAL ALUN!

kenangan genangan

seperti Edelweiss, cinta abadi

Upil di dalam genangan (Raka)

Gusti Nur Asla Shabia, 16 tahun.

Tegal Aluuun! 


Nah, kalau Soe Hok Gie begitu terpukau sama Mandalawangi, saya terpukau sama Tegal Alun. Padahal saya udah pernah melihat Sabana di Merbabu, tapi … gak tau, hati saya tertawan di Tegal Alun. Semak-semak popcorn yang ada runjung edelweiss-nya, genangan air menyerupai danau yang langsung saya cemplungin bareng temen-temen, padangnya yang luaaaas, dan warnanya yang biru, hijau, coklat—saya cinta Tegal Alun, deh J

Teruuuss, lanjut aja ya. Dari Tegal Alun, kami menanjak kembali untuk turun ke arah Hutan Mati yang sangat terkenal itu. Senangnya, saya turun dengan menggunakan teknik lari menclak-menclok sana-sini ala-ala pendaki. DAN SAYA LANCAR, gak kayak pas Merbabu yang teguling 10 kali sampe pantat kargo saya bolong…

Hutan Mati juga gaada dua-nya deh, saya suka a a a a banget kalo kabut lagi turun dan membuat saya merasa seakan terperangkap di Dead Forestnya Snow White and The Huntsman, ngerasa kayak Kristen Stewart (bah, padahal muke 11 12 ama Ronaldowati). Jadi, hutan ini jadi ‘mati’ begini karena letusan Papandayan dulu, gais :3

yang biasa bertanya pada rumput
kini harus mendesahkan bisik pada batang yang tersaput kabut


Danau Kecil di Hutan Mati


Nah, karena perjanjian di antara kita semua itu mau foto pake putih abu-abu di Gunung Papandayan, kita pun mencari spot kewl di Hutan Mati itu. Daaaan pilihan jatuh pada spot di danau kecil yang ada di atas Hutan Mati, tepatnya di pinggir kawah. Di situlah kami foto-foto dan bersantai sejenak, dan hasil fotonya bagus-bagus!

ki-ka: Nono, Bia, Kenny, Eka, Dinta, Jose, Keenan, RakHut/Upil

boys before flower #ngakak

girls generation (kenapa laki difoto dr belakang kita dr depan yah?)


Dari Hutan Mati, kami pun bersiap untuk pulang. Nah, buat teman-teman yang tertarik buat mendaki Papandayan dan menganggap mendakinya itu mudah, tidak demikian dengan turunnya. Turunnya cuapek banget bro, kaki pegel dan kerikilnya gak bisa membendung langkah kita, akhirnya saya terperosok berkali-kali. Sudah itu, saya kedapetan apes. Entah kenapa saya dapet apes, mungkin karena saya gak sengaja ngomong sembarangan di atas, ya? Atau mungkin karena untuk mendaki Gunung Papandayan saya harus bohong dulu sama Mama, jadi karma?



Jadi…

Jaket yang saya pinjam itu ketinggalan di pinggir kawah, ketika kami semua lagi istirahat. Itu jaket kalau gak salah saya iket di pinggang, dan mungkin tanpa sadar saya buka iketannya atau terlepas dari pinggang, intinya, mungkin sudah gak terikat di pinggang saya lagi. Ditambah, saya ditinggal temen-temen karena saya lelet, jadi saya panik. Saya tolol sih, kalo panik jadi gak teliti. Dan gak ngecek sekeliling saya. Ya sudah.

Dan gunung ini memang baik. Saya yang biasanya jarang jatuh atau kepleset, pas abis istirahat di pinggir kawah itu kepleset terus sampai terkilir, dan saya udah berfirasat “Wah, ada yang gak bener nih.” Benar saja, pas sudah sampai di akhir jalur berbatu, saya baru sadar jaketnya ketinggalan. Kelak di Jakarta nanti, saya akan sangat menyesal menyadari sangat berharganya jaket itu dan berapa nominal harga yang menuntut saya untuk bekerja keras menggantinya.

Tetua suku kita, Agustinus Eka!


Jadi, intinya, Papandayan tuh mendewasakan saya banget. saya cinta sekali Papandayan: saya suka “wahana-wahana” yang Ia sajikan: kawah yang eksotik sama selang-seling warna pasir dan putih, anak-anak sungai, bau belerang yang khas, kubah bintang di Pondok Saladah, lumpur hisap, Tanjakan Jurik, Puncak Cangcimeng, Tegal Alun, Hutan Mati.

Ia juga yang berpesan sama saya untuk lebih menjaga serta menghargai barang, tidak sembakur, serta selalu jujur meminta restu dari orangtua :)

maka dari itu, saya persembahkan, sebuah puisi tentang Papandayan

 Papandayan

pada benakmu yang terjal, ketika bahu bersikeras menggelincirkan kerikil
kawah tak hentinya terbatuk. halimun turun dengan mengantuk
kamu di sana, dengan gagahnya
ada seratus pendaki mau mencuci muka

kasihku telah bergumpal di Tegal Alun
saat bayu tak ubahnya rintih yang mengalun
serta sebaris batang mati yang menjelma menjadi hutan
di setiap celahnya, tumbuh susah payah sekwatrin pelajaran

terima kasih sudah membaca :)


Jumat, 03 April 2015

Puisi dari Mereka (yang saya simpan)

Spasi
oleh Dee Lestari

Seindah apa pun huruf terukir, dapatkah ia bermakna apabila tak ada jeda? Dapatkah ia dimengerti jika tak ada spasi?
Bukankah kita baru bisa bergerak jika ada jarak? Dan saling menyayang bila ada ruang? Kasih sayang akan membawa dua orang semakin berdekatan, tapi ia tidak ingin mencekik, jadi ulurlah tali itu.
Napas akan melega dengan sepasang paru-paru yang tak dibagi. Darah mengalir deras dengan jantung yang tidak dipakai dua kali. Jiwa tidaklah dibelah, tapi bersua dengan jiwa lain yang searah. Jadi jangan lumpuhkan aku dengan mengatasnamakan kasih sayang. Mari berkelana dengan rapat tapi tak dibebat. Janganlah saling membendung apabila tak ingin tersandung.
Pegang tanganku, tapi jangan terlalu erat, karena aku ingin seiring dan bukan digiring.

Jangan Lagi Engkau Berdiri
oleh Goenawan Muhammad

Jangan lagi Engkau berdiri
di jendela-jendela sunyi & kelam kali 
jangan lagi engkau tak mengerti
Sajak apakah yang tinggal sendiri

Sajak yang ada mendengar bumi, bumi yang letih
Sajak ada yang mendengar hidup, hidup yang menagih
Sajak ada yang melihat abad, abad yang bersih
Bagaikan bulan yang timbul: memutih putih

(1963)

Rupanya Kita
oleh Sapardi Djoko Damono

Rupanya kita yang harus menjawab
suara itu. Tetapi bukankah hanya suara dingin
yang bergoyang di bawah lindap langit
bukankah hanya selembar daun yang putus, ke bumi

Bukankah hanya nafas kita sendiri. Rupanya kita
yang masih harus menyebut sebuah nama
di suatu tempat pada suatu waktu
tetapi adakah kita kenal bahasa itu

(sebuah kutipan dari Salwa, kepada Amba)
oleh Laksmi Pamuntjak

Ada sesuatu padamu, pada wanita dewasa & kanak-kanak dalam dirimu, pada mata dan mulutmu, yang sedarimula kutahu cepat meradang tapi juga menyimpan keindahan. 
Kau membuatku merasa berguna. Dan karena itulah aku merasa aman bersamamu.

Kwatrin
oleh Sapardi Djoko Damono

Semalam suntuk suara nafasmu merayap di dinding lalu terjatuh satu demi satu di lantai
Pagi hari kau bangun dan tercium olehmu bau yang mengingatkanmu akan sesuatu yang kini sudah bukan lagi milikmu.
Kau buka jendela
Cahaya matahari meloncat ke dalam dan nampak olehmu seperti ada yang satu demi satu bangkit dari lantai menjelma semacam gas namun kau masih dengar engahnya mendaki
Berkas-berkas sinar matahari

(kutipan dari seorang malaikat kepada Rehan Raujana)
oleh Tere Liye

Kalau Tuhan menginginkannya terjadi, maka sebuah kejadian pasti akan terjadi, tidak peduli seluruh isi langit bumi bersekutu menggagalkan. Sebaliknya, kalau Tuhan tidak menginginkannya, maka sebuah kejadian niscaya tidak akan terjadi, tidak peduli seluruh isi langit-bumi bersekutu melaksanakannya. 



... puisi selalu menyajikan tempat untuk berefleksi, di saat kita butuh untuk mengubur diri, atau sekedar terbenam dalam hiburan sunyi. :)