Selasa, 11 Agustus 2015

Menapaki Jogja (Part 2 - finale)


Hualo!

Akhirnya saya nulis lagi.

Padahal. cuman gabut di rumah. (Gak deng gak gabut, tapi rasanya tuh gabut gimana gitu ya... tapi weh kok jadi curhat?!) pokoknya, saya berada di situasi di mana saya gak gabut tapi ngerasa gabut, namun akhir-akhir ini saya ngerasa gak gabut karena Tugas PPSMB, wahai Jagadhita, sudah turun dari bumantara dan membuat jari saya agak pegel ngetik jawabannya. Ehe.

Ok. Maaf ya sempet curhat ga penting di atas kayak gituh. (O iya, saya nulis ini jam 2:12 AM tanggal 26 Juli................... tentu saja karena habis MENGERJAKAN TUGAS PPSMB. #nguap) (note: dan sekarang udah 3 September LOL HAHA)

Mumpung lagi numpang wifi hiks gamodal dan saya pernah janji akan mengunggah catatan #seniseni saya ketika di Jogja, maka saya pun memutuskan untuk membuat entri. Mungkin kamu sudah rinduh kepada keberadaankuh, para pembaca yang anjir-saya-pengen-tau-yang-baca-blog-saya-siapa-aja-WOY.

Ok. Here we go... I present my endless journey in Jogja, Menapaki Jogja Part 2, BAGIAN SENI-SENI! (dan bukan air seni. catat itu. hmph.)

1. Jogja Art Weeks
(now playing: Mountains by Hans Zimmer)

Cerita ini bermula di suatu hari yang cerah, tatkala saya baru saja menyelesaikan Tes TPA dan saya melihat siluet seorang lelaki. Nampa'nya mirip dengan seseorang yang waktu itu chat saya dan salah satu penghuni pertama Grup Line Antropologi UGM 2015.

Karena saya gak tau diri, dan gak tau malu. Akhirnya pula saya tegur orang itu. Ternyata benar! Dia adalah orang yang sama dengan yang waktu itu ceting sama saya! (Saya memang hebat, padahal dpnya waktu itu pake masker diving. Coba kalo waktu itu pake masker yang dipake nenek-nenek pengusir setan di Insidious, (Radiation Mask btw namanya) saya pasti gak akan mengenalinya #lha #hubungannya #apa?)

OKE FOKUS, SHABIA!

Pokoknyaaa, saya dan dia sempat ngobrol dikit, bersama temannya yang juga lelaki. Tapi saya ngobrol berempat kok, sama teman saya yang satu lagi, namanya Sekar atau Echa belum bisa nentuin manggil kamu siapa, Kar, kalo kamu baca ini :( (btw, nama Sekar atau Echa akan saya sebutkan beberapa kali di bawah, dan nanti akan saya kenalkeun. ehe ehe.).

Kita waktu itu ada rapat Antro sebentar. Abis itu, kan pada pulang. Terus akhirnya saya dengan gak tau malunya ngajak si cowo masker selem ini (ya ok nama dia Alwan btw), karena jujur ya waktu itu saya gak ada kenalan terus kan saya rada jiper sama orang baru, nah si Alwan ini salah satu orang yang udah pernah ngobrol via Line selain Sekar, jadi nggak kagok. Dia juga ngerti ARTJOG WHAW! Dan si alwan ini memberitahu bahwa kalau saya suka artjog saya juga pasti suka Jogja Art Weeks. Lalu berlangsunglah percakapan awkward seperti ini:

S: "HEYO WTF!"
A: "YO MY SUPER NIGGA!"

ea ngelawak. nih deh yang bener:

A: "Di PKKH (nyebutin nama tempat yang saya gaada bayangan dimana) juga ada pameran lho. Nanti malem openingnya."
S: *lemot* "Haa? Pameran apa? Seni juga?"
A: "Iya seni." (note: semua cowo kalo jawab irit banget. ) "Aku sama Adi *nunjuk temennya* mau ke situ"
S: "OOOO"
A: "....."
S: "PKKH itu dimana? Emang kamu panitia?"
A: *gak inget jawabannya* "Ituu dekett.. PKKH deket Graha Sabha Pramana itu loh."

Lalu saya terdiam. Kemageran saya membuat saya berpikir, PKKH yang nama tempat itu huruf konsonan semua itu pasti bagaikan di luar planet (jing gue lebay banget. maksudnya jauh) dan akhirnya saya memutuskan buat pulang................ setelah Alwan kasih Art Map.

DAN SAYA TOLOL. HARI ITU SAYA GAK KE OPENING JOGJA ART WEEKS, YANG JELAS JELAS ADA MBAK FRAU. DAN ADA ANOTHER TRIP TO THE MOON-NYA MAS MAEL. BESOKNYA SAYA JUGA BARU NYADAR.........................

..................PKKH UGM itu depan Grha Sabha Pramana. Persis. Kalo jalan gak nyampe 15 menit, kalik. Hati saya bagaikan tertohok. (Kalo ini beneran geregetan sama diri sendiri, karena saya oon banget heu emang. Hilang sudah kesempatan saya bertemu mbak Frau)

Akhirnya di suatu malam yang cerah itu saya bilang Sekar saya minta ditemenin keesokan harinya ke PKKH UGM ;__; beruntung, Sekar mau menemaninya. Dan besoknya, ternyata banyak ugha yang mau ke PKKH. Ada Sekar atau Echa, ada Yaya, dan ada Iin.



INI NEH PKKH mas bro #masihgondok

tentang harapan, yang menggeliat du abtara mimpi dan kenyataan: tentang rindu pulang, menanti engkau datang,
cepat reda, sembuh, bertemu, sehari bersama kakek, jangan tebang kami, terbang, dst.
oleh Dian Mayang Sari


Tentang Sebuah Yin dan Yang dan bagaimana kita menjungkirbalikkan persepsi hitam,
menjadi putih, melalui ruang gelap atau mungkin proses menjadikan
film negatif menjadi warna asli. Dharma-Adharma, tentang perbedaan yang mengatur keseimbangan dunia.
- I Nyoman Putra Purbawa
Give us more space!!!

One of masterpiece which I like the most.  "Sebuah eksperimen, yang bisa menyenangkan,
bisa melelahkan, bisa menginspirasi... tentang ayah dan anak yang bertemu di media rekam..
terlempar ke masa lalu dan berpikir: seperti inikah aku dulunya? how time flies?
time stand still? anda, saya kita?"
He truly had and trying
to give us a hint about feminism, masculinity, gender, patriarchy, identity, rights and many more
from this picture.

teman baru yang Insa Oloh sejiwa, Aliyah Sekar!

Emang kamu kira cuma kamu yang boleh nyokong tetek di publik?
"... bahwa di balik sekedar isu ketubuhan ... kita masih punya hal lain yang lebih berharga:
our mind... our soul..."
BESARNYA tetek hanya sebuah BONUS. Kamu toh akan menjadi seorang ibu, yang
m e n y u s u i anakmu, itu sudah cukup?

RI-SAIKEL (recycle)

kisah tentang seorang supir angkote

have we see our truest reflection?

kisah si gundul

#okelah

ketika penis
bertemu vagina,
lalu persetubuhan menjadi kelaziman
mungkin juga onani, pemerkosaan?
atau bahkan semacam yang sodomi?
apakah Halal?
Kita mengeksekusi kemanusiaan,
dan yang terbit merupakan bahaya kesusilaan
(p.s: tulisan Arab di atas itu Ha, Lam, dan Lam, dibaca Halal.)


bagaimana melukis keluarga yang Alhamdulille,
Sakinah Mawaddah Warohmah!

focus on your subconsciousness and hear the voices that ears cannot fathom

Ojo Mlaku Mlaku
2. ART JOG
(now playing: Sevenchords - Lagu Tidur

Daaan, itu baru JAW! Ada lagi Art Jog, dan karena saya gak mau berlama-lama ngetik, saya langsung pamerin foto aja yah. Intinya saya waktu itu nemenin si kucrit Smita Tanaya ke Art Jog berdua doang kek lesbong padahal lusanya dia Utul :)) untungnya sekarang  ia udah menjadi #MabaCantiqueJPPUGM2015, #YokGANdiFOLLOW!

kepada congklak, yang lobangnya sudah jarang dimainkan (eh lha kok terdengar salah ya...)

#SalonGRATIScyin
Rocking Shave.

ayo bekerja keras,
mengayuh asa, juga mimpi
Saksikan lentera cita-cita nyala, juga mati
Tidak ada Tidur Untuk Hari Ini:
No Bed Rest for The "Wicked"

kepada Padi dan Agrikultur Endonesa~

The Tree of Hope, Yoko Ono.

Meditative Space
kamu bisa shalat di dalam sini, dengan diiringi sarkasme tentang Spiritualisme.

The Hidden Life of Things,
untuk melihat kepala Sang Wayang dan melihat latarnya.

selamatkan situs boedaja.
History N Destiny. J A S M E R A H

PIPO BOCOR!
negeri ini subur dan kita hidup di atas air. Namun mengapa air diprivatkan?

untuk kekreatipan, rangqai idemoe di zini.

aTAS NaMA gRAMMar, atas representasi.

no more boundaries

sebuah proyek, dimulai dari Titik Nol Jogja, untuk memaknai
sebuah perjalanan.

orang terbalik sama dengan agitator. anjing ialah perlambang loyalitas, namun sirnanya individualitas.
"Stempel agama, ras, politik, budaya, terus melekat pada kita."
Memorial Landscape #2
ko-d e.

Atas Nama Daun (Ganja), mari memuliakannya. Bukan sebagai kriminalitas,
tapi sebagai sebuah pemaafan atas nama Hak Asasi.

moeterrrr moeterrrr

Para Pencari Kehebatan tidak lagi mencari info dan referensi di dunia realitas, tapi dunia virtual.
Fermentation of Nose, hidung P I NO K I O.

Atas Nama Agrikultur Endonesa, sebua paradok'z

ATAS NAMAAA GANJHAAA

perspektif monoton?

menginjeksi berbagai warna kepada wadah: kita.

i.....
.........C.......
....u

sALAM DarI PluTO!
esensi sebuah karaoke, mengevaluasi kedekatan.

jalasveva jayamahe, kepada jaring jejaring maritimue

sistem binokular?

untuk selalu bermimpi, yang bergerak dan takkan alami stagnansi
(p.s: maaf apabila terlalu banya muka saya, karena itu Smita anjeng yang kasih ke saya. Huh.)

Saya suka Art Jog. Banget. Kalau dipikir-pikir, pameran lain yang juga turut mengendap di hati saya, Aku Diponegoro tidak semasif ini, meski telah mencengangkan saya juga. Kedua pameran ini menyentuh saya dengan cara mereka sendiri.

Art Jog, karena diciptakan begitu dekat dan interaktif dengan pengunjung: menawarkan semacam hubungan yang tercipta antara karya seni dan pengunjung, agar menikmati. Dari mulai No Bed Rest for The Wicked yang bisa dikayuh, Pipa Bocor yang kalo pipanya diteken airnya muncrat entah dari mana, History N Destiny yang punya bunyi Gong yang gaungnya menembus batas-batas spiritual saya yang hipokrit dan tamak, untuk lebih peka mencermati budaya yang nyaris punah.

Bergerak dari hati saya yang tersentuh oleh karya-karya di sini, saya tak menyesal ngunjungin Art Jog dua kali. Untunglah saya akan tinggal di Jogja, kota seratus pameran seni :))

baik.
sudah final.

Intinya, terima kasih Allah karena saya kini sudah menetap di Jogja. 
Terima kasih juga untuk pembaca mau membaca entri, walaupun saya tidak akan pernah tahu siapa saja yang mengarah direksi ke sini.

Saya sayang kalian!

Kamis, 06 Agustus 2015

It's Okay To Be A Versatile Misfit

Kertas Kosong

Padaku ada sebuah kertas kosong
Yang padanya tak lagi menjelma kata atau tanda
Hanya putih, putih, putih, dengan bekas yang pudar
Pernah ada padanya penolakan dan derita

Padaku ada sebuah kertas kosong
Yang hampir letih menguntai makna
Telah digunjingkannya sebuah cela
Yang dikatakan di belakang dan yang di muka

Padaku ada sebuah kertas kosong
Bukan hanya ada sunyi melompong
Sudah ditunggunya pembaca
Yang setia memahaminya

13.55 // Jurnal Janterahasia
- Jangan berhenti berharap -
(dikutip dari jurnal puisi saya)

Memijak Bumi

Memijak bumi nampaknya opsi yang paling hakiki
Kala langit terlalu tinggi untuk dijunjung
dan bintang jatuh bagai puing-puing

Mungkin di bumi ada semacam penghiburan
di bumi langit terasa seperti kubah yang penuh janji-janji
Diam tak geming; menyatu bersama konstelasi
dan kita tak perlu tinggi untuk meraih -- hanya untuk terhempas
kita hanya perlu merekamnya dalam benak
dan memijak bumi.

11.20 // 20 Juni 2015
(dikutip dari jurnal puisi saya)

It's okay to being alone.
Kedua puisi yang saya kutip tadi, tak lain dan tak bukan adalah sebuah manifestasi dari rasa minder tiada ujung dan kesepian yang kadang mendera. Kenapa bisa begitu? Saya tidak tahu. Saya ini melankolia ulung. Tetes hujan, jika jatuh di saat yang tepat dapat turut mengundang air mata saya.

Well, saya gak tau harus mulai dari mana... but I will try to make this simple to explain. Honestly, terkadang saya merasa sepi. dan bodoh. Saya merasa terperangkap sama jiwa saya sendiri, entah karena saya terlalu tertinggal dengan intelektual dan kapabilitas yang manusia-manusia lain punya, atau saya punya semacam ketidakmampuan untuk mengutarakan apa yang saya pikirkan, bagaimana saya berfilosofi soal hal-hal dalam hidup ini, dan analisa saya pada suatu kondisi.

Saya sering liat ask.fm, dan blog orang. How people interact with global/universal issues and try to speak their minds through their words. How they look as a smartass by putting the theories and thesis and any cool stuffs as their resource. Ada yang pernah berkoar-koar dengan bahasa tinggi dan memadukan Freud, Koentjaraningrat, lalu Sartre. Ada lagi yang mengutip tokoh-tokoh nasionalis Indonesia. Melihat hal ini, saya pun menjadi merenung. Saya pernah ada di titik di mana saya ngerasa sepinter mereka, saat saya masih antusias untuk bersikap kritis, memberontak, filosofis, dan terus bertanyaaaaa tanpa kenal lelah.

Tapi, bagian dari saya itu hilang. I no longer could speak through verbal words. Apa yang mau saya ungkapkan, mandek. Saya jadi gak bisa debat. Mungkin kurang pengetahuan, atau hanya semacam perasaan ngga enak buat membantah orang lain. Lalu saya kembali merasa bego. Dan bego. Dan begooo...

Oke, yha, terus, apa kaitannya sama kesepian ya? Hehe, kesepian bisa datang dari mana saja. Karena tidak terbiasa untuk mengungkapkan apa yang saya pikirkan lagi dan mengajak teman-teman untuk berdebat, saya jadi agak menarik diri dan berkonsentrasi untuk menjadi lebih sederhana. Tapi pemikiran tumpul tersebut ternyata malah membawa saya pada rasa kesepian dan debil itu.

Lalu, beberapa bulan yang lalu saya mulai menyadari ketertinggalan saya. Saya mencoba membaca buku. Tentang Tan Malaka. Tentang Gestapu. Saya juga mulai membaca National Geographic, intinya mengekspansi intelektual saya apapun itu ranahnya. Saya mencoba untuk menghidupkan kembali intelektual saya. Tapi emang ada beberapa hal yang susah sekali diubah. Saya tetap memiliki hambatan untuk speak out my minds and my thoughts, and i feel less creative too. Saya masih ngerasa sedih, kenapa saya gak bisa kayak dulu: kritis, kreatif, antusias.

Lalu saya melihat ada beberapa orang yang menulis di blognya bahwa mereka punya hambatan seperti saya. Cannot speak in a verbal language. People could not understand what they are trying to say while they can explain it specifically too. Dan saya ngerasa lega........ ternyata saya gak sendirian.

Jadi, saya pun mikir. Pasti ada cara untuk lebih berbicara. Dan salah satu blog tadi menyarankan untuk berbicara melalui tulisan dan gambar, dan saya sadar. Saya sudah di jalan yang benar.

Tiba-tiba, saya merasa sudah tidak terlalu sendiri.

Saya masih harus berekspansi, tapi--

bukan berarti saya menyerah atas diri sendiri.



This Bad English Phrases Belongs to You

There are a thousand thoughts that I wish to realize it with you. From the tiny things that we could do as soon as possible, while another is too big to dream about.
                I like to imagine these things before I go to sleep at night. I always love how they gently whisper at my ears, fleeting like an ode’s rhythm, shimmering like a feebly fluorescent. And finally, after these things are just too heavy to be imagined, I start to fall in a deep sleep, with a last thought: you and me, do whatever we want, whatever scenarios which have come to my mind.
                There are so many things, scenarios, and thoughts swirling in my cerebrum, but one thing I keep imagine all days—or at least once a week—is the thing that I always try to realize. The thing that always fulfilled my fiddle-faddle time to be something worth, something which thrived as an ending of a bedtime stories on the tip of my last consciousness.
                I always dream about you and I, lie upon the shoreline of an unknown beach, which has a breathtaking and enchanting scene. Or sometimes, when I was too melancholy and missing high places—I dream about laying on the top of mountain, me and you—take a sight at the flickering lights of city landscapes. Whatever it will be, and where ever it might take place, the main idea will always same: there was you, and there was me, and we were going to have some inner peace or just sharing our time together from this vacation.
                We were drive to meeting point together by my favorite car—a jeep, even I know none of us are capable to buy a jeep in this time—with a big front, blue color. I was busy with my stuff: I’ve already packed a picnic basket, (with sandwiches, light champagne (and to me, mango juice), fettuccine, banana, and chocolate), and I brought two pillows, a red-striped cotton based matrass, and a medium-sized blanket. And you, who is always being a simple and in-necessary person I've ever known, were only brought a box of cigarettes, lighter, and a pack of  unassembled binocular. After all of these things, we’ll start our journey and make some light conversations in the car—mostly about our daily and stupid things that we’ve been through in that week.
                After an hour or maybe two hour completion of our journey, finally we reach the starting point of our final destination. We took our stuffs from the baggage and we were help each other to bring all of these to our destination.
                And after a walking session, we finally arrived. I will open the matrass and set the pillows in the most comfort position, and you will start to set up the binocular. Even dark was surrounding us and night creatures were put their gazes upon us, I will never be afraid because I’ll too happy to see your focus-on-your-work-fella! expression. When the binocular finally stand as a complete tool, you will lay beside me, take my hand and kiss slowly below my fingers, and finally we have our pillow- talk session as a preface. I will put my hand at your cheeks, make some movement to cheer you up, and you will trail your fingers over the curve of my spine (you don't have any idea how it makes me feel a warmth inside). In a brief moment, you steal a smooch, or if you become too sweet or naughty, you will kiss me until our breath give up and begging to get some air.
                At midnight, we will stop our pillow talk and move our eyes to an enormity length of the skies. Because we are laying down in a huge dome of unlimited black canvas, we could see stars everywhere, and we are too speechless to say anything, but we both know we are happy to see that magnificent panorama.
               The things I try to explain you in this long phrases is, I want to tell you the thought which is always been a most beautiful things that I could imagine as my bedtime-stories. If fairy tales always have a lesson-learnt, this thought will have its lesson-learnt. 
                Here is the lesson learnt: I always dream to be with you in my highest expectation: to be together in a beautiful place, to spent our time in our quiescent moment. And after all, I want you to know I've always wanted to stargazing with you, because I want you to feel the feelings that occupy my heart whenever the Stars appear to show its warmth, love, and a little bit of loneliness.




sorry for bad grammar.