Kamis, 22 Desember 2016

Refleksi 1

2016 is almost over, and I decided to post my reflection(s) from a few months ago. It's kinda expired, but It's still relatable with my life now, so:

here you go. my first reflection after my break-up.

===



Evaluating things and making much of reflections are my current work recently. Really exhausting, of course, but I’ve learned this really help me encountering a new lesson and a better life.

                I’ve been EXTREMELY devastated these last two months. Probably people won’t see it on the surface because I looked happy and cheerful as usual, giving my best to perform an okay Shabia, and always try to offer people my help, my shoulder, my time, but inside, it’s always a little bit ruined. Because of what, perhaps some of you can guessing. But one day in the morning I woke up from my tiring sleep and I realized I couldn’t be this weak any longer. I have to DO SOMETHING. Accepting weakness and being sad is one of human’s way to heal trauma and also included in 5 stages of loss and grief, and I have no problem going through that (as for conviction i will go out from this fucking period, EVENTUALLY) but if I didn’t make any movement, there won’t be change after all.

                So, yes. I woke up one day and I took my pen, I wrote many things which already happened lately. I swallow all of bitter things: my mistakes, my bad behaviour, my lame manner, because I’m not a santa and i have to admit I can be bad sometimes, but everyone is. I accepted people left me because of ME and there’s nothing very wrong about it. But also, I praise myself for positive and good things I’ve been doing, also appreciate myself to do two of them: the bad one and the good one, because life is about doing things from both poles and balancing it, right? People probably leave you because you are a bastard but IF, just IF, they were resistent enough to help you they will stay. But some of them are not. And now I have to thank them because if they didn’t “hit you and run”, hurt you and leave, I won’t be able to reach this point.

The different things after all is, i suggest myself to become more aware to not do the same failure and to take many lessons from one’s failure. And after that, I let go. I let go all things. And then, this is the hardest part, I’m trying to forgive myself. And gladly i could do that even it only goes over 70 percent. At least i make progress. I will still making new progress, aku mah apa, bahkan masih belum 50:50 sama progress hidup aku.

                Now, instead of putting myself in anguish (well honestly i still do it sometimes HAHA hey nothing wrong with it asal gak sering-sering) and suffering for nothing, i do many things i couldn’t do in the past. Life beyond limit and border—last Saturday i went to Gunungkidul riding my manual motorcycle while I haven’t mastered the parsneling and I SURVIVED. I’m scatheless. I painted my inner hair with purple tint (and soon, green) and I felt fancy, I’m now putting lipstick and applying powder and painting eyeliner, I’m taking yoga class, going to vihara, learning tarot, I also take dancing class—something i want to do since junior high school but my first debut on the contrary happened just a few weeks ago—and I hang out with many friends. I feel nice. Sometimes I still feel empty and sad and I still pour out my tears on my loneliest night, but back then, it’s about balancing your emotion and your life: sad and happy things at the same time, you will inevitably face that. Dont worry, two of them will give you lessons. Now my intention is not about doing something perfectly, but maximally. Maximal in grasping something new from it.


                Now it’s your turn. 

Jumat, 16 Desember 2016

Kepada Tuan Sungging Senyum


tak tahu akan pergi ke mana
atau menjadi apa
begitu pula ketika kita terpaku pada definisi
apakah kita?
atau, siapakah kita?
tak apa.

tapi ku tahu pada serambi
kamu telah beri aku sebuah kisi-kisi
dan terima kasih, telah hidupkan rasa
sekarang biarkan waktu dan Semesta
mengarahkan
dan walaupun nantinya bertepuk sebelah tangan,
tak mengapa.

mari berjalan
bersamaan
sebagai teman
sebagai kawan
atau lebih
tapi jangan jadi lawan!
kemana tujuan?
akankah pisah di persimpangan?
tak ada yang tau pasti

tak apa.
asalkan bersamamu,
saya tak pernah takut lagi.


kamu tahu kamu menyayangi seseorang saat membaktikan sebuah seni untuknya.
Desember 2016.





Senin, 05 Desember 2016

Malam Dingin dan Waktu yang Melambat



rasa apa ini?
diam-diam merasuk
semayam pada rusuk
tak tahu apa cuma membakar
atau lanjut berkobar


awalnya sebagai kawan
dan tak tahu nantinya
dimulai dari kelakar,
angin malam yang mekar
terbitlah rasa, mematahkan ikrar...



aku simpan saja diam-diam,
Desember 2016






Selasa, 29 November 2016

Panggung Sandirawa



peluk dirimu,
janganlah ragu
sikapmu bukan tabu
meski kadang terlampau kelabu

singkaplah tirai,
langkahkan tungkai
bahkan mereka yang berjarak dari birai
ialah penontonmu yang fana;
dan kau tidak


kau punya kuasa
untuk merangkai naskahmu
dan aku tak percaya:
bahwa sutradara bukanlah pelakon
pelakon bukan sutradara


bila berpeluh, jujurlah
bila bersedih, ungkaplah
bila marah, singkaplah


ajari mereka, bahwa panggung terkadang bukan medan untuk menjamu barang satu, dua, atau ribuan pasang mata. seni peran adalah persoalan membahas pengombinasian harapan sesuai citra diri sejati

kau tahu?
kau bukannya punya kuasa untuk menjadi dirimu sendiri.
ternyata kita tak berbicara soal kuasa
tapi itulah hakikat:
yang seiring babak
dipangkas menjadi hak.


Sabtu, 26 November 2016

a conversation

"Now, let yourself forget your past with him. I know you two had such a very great, lovable time, but now you have to struggle alone, and that's ok. Many people will come to your life. See? As simple as that."

"No." she sighed. "I've erased him and our past together since so long."

"Well, that's good! So?"

The woman looked her best friend right on her eyes, smiled bitterly. "But how could I erase something I want to be happened: he is more than a shadow on my past. He also occupy my future, all I can see is my time with him. Almost 70 % of my future imagination rely on him. You know, I think it takes very long time to erase that thing, longer, longer, longer than erasing your past. Past is accomplished things, and we never know how future will be ended. Future means never ending time; never ending space, and I hope it won't go alongside with my perishable thought of him."

Minggu, 20 November 2016

03.14



Kusaksikan matamu sayu dan agak hampa. Kau lelah mencintai, itu jelas. Kamu tampak selalu sedikit lebih sedih dari orang biasa, bahkan ketika kamu terlalu bahagia. Kegelapan sudah menjadi sifatmu, namun tak dinyana, sifat itu yang menarik manusia-manusia keluar dari langkan, bertanya-tanya, seperti apakah kau ini? Kau setia dalam sebuah emosi yang tabu, kau anggun dalam dukamu, bahkan kau atraktif dalam pandanganmu yang pesimis. Cakapmu adalah sebuah nada jujur, sinestesia yang memaknai kata. Hari-hari bersamamu tak pernah bosan, seperti cerita pengantar tidur yang hanya berujung lelap dalam sebuah buai.

                Aku selalu diam tak bersuara melihat pesonamu. Tak pernah mengakui, karena aku takut kau akan menjumpai, dibandingkan kekagumanku tentangmu; aku bukan apa-apa. Aku sempat yakin kau mencintaiku, tetapi kini aku takut itu hanya ilusi, sebelum aku menyakitimu terlanjur dalam dan setelah semua itu terjadi, tak ada yang tersisa. Dan boleh dikatakan, hal itu memang mewujud menjadi realita.

                Kau punya kemampuan untuk melihat rinai hujan yang berelasi dengan seringanan awan. Kau bisa melihat semesta tidak seperti orang-orang lain melihat semesta. Kau memiliki ketetapan rasa, dan aku paling iri dengan kemampuanmu yang satu itu. Kau tahu, aku takut dengan ketetapan. Aku takut dengan ketegasan. Aku takut dengan penolakan. Maka kau pun sepertinya tahu apa yang terjadi dengan ketakutan itu, segala hal jadi pergi.

                Selamat malam.


the more you sad, the more i love everything about you
November 2016

Jumat, 18 November 2016

Dari Kerabat hingga Kota yang Hebat: A Trip to Surabaya

"Surabaya, Surabaya, oh Surabaya...
... kota kenangan, kota kenangan, takkan terlupa .."

Meski saya tak berjumpa siapa-siapa di sana kecuali sahabat-sahabat baru yang sangat baik dan memberikan saya banyak pengalaman,  pelajaran, saya setuju: setiap kota indah, punya kekhasan masing-masing, dan ingatannya akan lebih lekang dalam sebuah lagu. Untuk kali ini, saya akan selalu terngiang lagu Surabaya versi Dara Puspita ketika saya teringat akan kota kenangan ini.

Oke... mari kita mulai kisahnya. Jadi, saya berkesempatan ke Surabaya untuk acara Sarasehan Jaringan Kekerabatan Antropologi Indonesia (JKAI). Acara yang sangat menarik, karena saya banyak berjumpa banyak teman-teman dari seluruh kota di Indonesia dari jurusan antropologi! Kami bersebelas: Alwan, Rugun, Ana, Okta, Liesta, Juan, Anggia, Ocal, Adi, dan Mujahid menjadi delegasi dalam acara ini. Kami berangkat dari Jogja pada hari Minggu, 6 November dan sampai di Surabaya Gubeng pukul 15.00, kemudian langsung bertemu Bayoghanta dan diajak halan-halan ke Universitas Airlangga.

Di Surabaya, kami berproses selama 7 hari penuh, walaupun rombongan Rugun, Muji, Liesta, Anggia, dan Juan harus pulang duluan pada hari Jumat. Agenda kami memang banyak terbuang untuk kongres, tapi kami melewati berbagai pengalaman menarik dan pemuasan gizi di sini. Mungkin karena saya lagi malas ngetik dan dua pos sebelumnya panjang-panjang semua jadi pembaca pasti bakal bosen ngeliat rentetan kata, saya akan sedikit curhat-curhat aja ya soal Surabaya!


Intinya, ketika baru sampai di Surabaya, saya dan anak yang bukan dari Surabaya adalah yang cukup banyak plonga-plongo, karena Surabaya 11 12 sama Jakarta tapiiii jalannya lebi lowong :) gak macet :) dan orang-orangnya pakai bahasa Jawa :) ada Bakmi A-Fung, Carl's Junior, dan mall-nya kayak Kelapa Gading, namanya Tunjungan Plaza, ada lima jilid. 


Kami diinapkan pada sebuah wisma bernama Islamic Center dan kamarnya enak, kasurnya tingkat, saya pun mendapatkan inspirasi untuk beli kasur tingkat nanti kalau dah punya rumah sendiri. Kami digabung dengan delegasi dari UB, alhasil langsung kenalan aja deh kita sama Vili, gadis Ambon yang ekspresif sekali dan Kak Ifa yang kalo lepas jilbab seksi (hehe).


Jadwalnya asik-asik. Hari pertama kita langsung diajak jalan-jalan ke Museum Kesehatan dr. Adhyatma atau lebih terkenal dengan Museum Kesehatan Surabaya. Isinya menarik banget! Karena membahas biokultur dan pengobatan di Indonesia sampai seluruh dunia, di museum ini sampai terbagi tiga segmen: kesehatan kultural, kesehatan alat-alat, dan kesehatan...... saya lupa. Di hari kedua sampai kelima, kami cuma kongres, kongres, kongres, dan kongres, 3 x 24 jam, Bro. Tapi AD/ART selesai dan Sekjen pun terpilih.  Pada hari Sabtu ketika hampir seluruh acara selesai, delegasi UGM dengan cueknya melanglang buana ke Situs Trowulan, tapi malah kejebak 6 jam di perjalanan karena ada jalan sehat 10.000 orang dan kami kelempar sampai ke Jombang (wakaka). Alhasil, kami gak ikut inisiasi deh :( Belum sampai di situ saja, hari Minggu kami nekat ke Madura, ke pantai, lalu balik ke Surabaya, ke Jalan Gula niatnya mau cari kota tuanya Surabaya. Eh, salah alamat :( jalan gula isinya gedung-gedung tua, tapi bukan yang monumental. Saya sendiri sedih karena gak sempat ke Hotel Yamato. sekarang namanya Hotel Majapahit, yang fenomenal itu. Candi Jalatunda juga harus luput, padahal sejak saya baca buku Manjali dan Cakrabirawa-nya Ayu Utami, saya pengeeeen banget ke sana.


Sebenarnya kalau ditanya, delegasi UGM ini kerjaannya jalan-jalan mulu, sih. Kita juga ke Toko Es Krim Zangrandi yang jual es krim enak, lalu ke C2O perpus yang oke banget, ke Carl's Jr, dan selalu beli makanan dan cemilan yang lebih banyak dari delegasi lainnya. 


Delegasi UGM!
kI-Ka: Muji, Alwan, Okta, Anggia, Shabia, Liesta, Ana, Rugun. Yang motoin Jvan



di Surabaya, emperannya cukup estetik dan ngingetin saya di sudut kota bagian Jakarta Pusat arah Utara. Pacenongan apa ya atau apa saya lupa. Yang jelas, banyak pedagang buah sampai majalah. Itu idung Juan. 


MUSEUM KESEHATAN! 


Herbarium, yang menurut saya menarik sekali.


Komodifikasi atau Inovasi?


foto aura tipe 3000 sebagai objek seluruh tubuh. Bapaknya sangat psychedelic jadi mi luvs 
Anggia dan proses penyunatan
kalau ini, Museum Etnografi Antro Unair.

koleksinya oke punya (thumbs up!)


i found many good books here. liek Bebetei Uma aja ada,
terus di rak penyewaan ada buku Centhini............ hu.

DVDNYA KENAPA BAGUS BETUL. ada mustache and beard dan silampukau.

sebuah cinta kasih bernama C2O 

Pantai Siring Kemuning :)

Jalan Gula, ini ada area pasar pagarnya berkarat tp estetik.
In frame: Ana


Masih di Jalan Gula.
In frame: Okta

Kugy?

Alwan dan Candi Brahu. Indah, indah, indah sekali! (candinya, bukan Alwannya)

Sisi lain dari Siring Kemuning.

Anak-anak, bermain.

Ada satu cerita yang pengen saya bagikan di sini. Saya jadi sayang sama Surabaya, soalnya banyak menemukan orang-orang inspiratif dan mereka semua mendalami ilmu antropologi. Dan banyak orang-orang hebat, pemikirannya prok prok banget pokoknya. Saya kenalan sama Gus Adhi (nama dia Ida Bagus Adhi, keturunan Brahmana) dan dia banyak menjelaskan ke saya soal tradisi di Bali, upacara-upacara, dan keinginan dia untuk mendalami post-modernisme. Saya juga ketemu Pace, yang sudah menginspirasi saya. Di hari di mana tiap delegasi maju presentasi makalah biokulturalnya, di akhir power point Pace, ia melampirkan gambar bendera Free West Papua. Saat punya kesempatan ngobrol sama dia, ternyata Pace baik sekali (awalnya saya kira Pace galak -- sebuah stigma yang tidak bagus, sebenarnya). Pace banyak menjelaskan tentang situasi di Papua, banyak nanya sama saya kebijakan apa yang patut menurut perspektif saya sebagai orang Indonesia dan dia juga bilang bahwa pendidikan memang sangat diperlukan. 

"Pergilah ke Papua," katanya. Saya langsung berkaca-kaca. "Pasti, Pace ... pasti." karena saya sendiri memang sangat ingin membaktikan diri untuk anak-anak yang membutuhkan saya sebagai Bu Guru :")

Di malam itu, Pace menyalakan lilin di hati saya yang mungkin sudah agak padam.

Selain Pace, ada juga Bang Hafis dan Bang Ade dari Andalas, yang banyak menjelaskan saya soal daerah asal masing-masing plus areal tempat mereka biasa melakukan etnografi, yakni tentang Minangkabau dan Mentawai. Ternyata mengambil antropologi memang banyak manfaatnya :-)



Saya dan Gus Adhi
KERABAAAAAT! love



makan es potong sebelum panas2an




Saya dan Pace :)


saya dan Alvon

DAN TIM TRAJET-nya ADI!
makasih untuk semuanya ya gengs i really had fun with y'all!


Selain itu, saya jadi banyak bercita-cita: 
Pertama, saya akan beli kasur tingkat sewaktu saya hidup bersama keluarga saya nanti. Banyak inspirasi muncul kalau tidur di atas. Kedua, saya akan bikin perpustakaan, saya akan mengumpulkan buku-buku dan mengarsipkan pelbagai surat cinta dari berbagai penulis serta perasa. Dan ketiga, saya menemukan keindahan sastra di atas kereta. Bahwa hidup bisa saja indah begitu saja, terima kasih Surabaya. :D




Rabu, 16 November 2016

jangan dibaca; ini buat saya.

begini saja rutinitasku:
bangun pagi dan melepas kantuk sembari menghapus sisa-sisa mimpi yang jarang sekali kuingat namun tetap kurasa aftertaste-nya, memaksa diri untuk mandi karena akhir-akhir ini Yogya dingin, kuliah, terkadang pergi dan pulang di kedai kopi tempat aku bekerja paruh-waktu, kemudian ngendon di kamar, menulis, mengetik, mendengarkan lagu, mengerjakan tugas, lalu tidur.


kadang enak saja begini, semuanya realistis, tak ada waktu untuk bermimpi. waktu mengalir dengan cepat dan aku produktif, tapi diam-diam aku jenuh dan kosong, hingga suatu saat; aku mendengar sebuah alarm yang sayup-sayup berbunyi, nadanya memeringatkan seperti dentang sebelum tsunami: hati-hati, sepi sedang menuju ke sini! lantas aku pun takut dan mulai introspeksi diri. kok mau-maunya sepi main ke sini, padahal aku tak mengharapkannya?


diam-diam wahyu datang, lamat-lamat aku tahu aku telah mematikan mimpiku. bodoh, ini karena seseorang pernah berkata padaku jangan berekspektasi terlalu tinggi, shabiatapi aku tolol karena mengikuti sarannya yang tolol, aku tidak hanya membunuh ekspektasiku tapi juga mimpi. untunglah masih ada mimpi-mimpi yang sakaratul maut dan masih bisa diselamatkan. sekarang mereka masih koma, tapi beberapa sudah mulai pulih, aku sedang mengontak rumah sakit sistem internal emosi seorang Shabia Nur Asla untuk menyembuhkan mereka. katanya, mereka akan berusaha yang terbaik.


pada akhirnya aku sadar, aku kurang menikmati dan menghargai hidup. kini tambah tiga rutinitasku: melamun, galau, dan memaksimalkan. aku dapati diriku dalam mode pesawat terbang kapanpun aku berada dalam kesendirian dalam pergerakanku: jalan kaki sendiri, lari pagi sendiri, bahkan naik motor sendiri. pernah satu ketika aku tak sadar nyetir malam-malam dan berujung di masjid kampus UGM padahal sudah jam 11 malam. aku tidak melulu melamunkan cinta (yang mana aku bersyukur), tapi sekarang topiknya lebih ngeri: diriku dan hidup.


tapi percayalah, dalam proses melamun itu, aku seperti merasakan orgasme. dalam pekikan nafsuku yang hening, aku menemukan refleksi-refleksi diri dan sebuah kedamaian, serta keinginan untuk merealisasikan sesuatu. ada yang berubah, memang: kini aku lebih sendu dan selalu sedikit lebih sedih. tapi dalam waktu yang sama, aku menemukan semangat. bukan semangat yang konstan, kadang ia masih gampang diredupkan, tapi, ya, ia sering hidup lagi, kok.


dan dalam galauku aku menemukan diriku yang dulu berkelindan pada sastra. aku mulai membeli buku puisi dan menulis banyak puisi lagi. aku mulai membaca blog-blog orang. aku mencari kebahagiaan dalam hal-hal kecil: kemarin ini aku main hujan, minum susu di balkon jemuran sambil melihat bulan, mencium bau-bau lapuk bukuku lagi, hal-hal aneh yang biasa aku lakukan sendirian, dulu, dulu, duluuuuu sekali. aku teringat aku ingin menyelami dunia spiritual dan seksual. aku menabung untuk beli Mahabharata dan Serat Centhini. aku kembali mendalami bebungaan.


dan yang terakhir, tentang memaksimalkan. dari seluruh rutinitasku, seringkali aku hanya mengerahkan 60 % dari usahaku untuk menikmati satu momen pada satu waktu. dan itu lah sebabnya aku sering kehilangan fenomena, bahkan manusia. aku tak ingin mengulangi kesalahan yang sama. maka aku mulai disiplin pada diriku sendiri. kesempatan datang, terjang!


maka jujur saja, walaupun aku belum cukup berani berkata bahwa hidupku bahagia, kujumpai akhir-akhir ini hidupku mulai berdinamika. kini aku telah memercayai ini: kadang sebuah perubahan akan memaknai pembelajaran, dan pada akhirnya semua akan indah. naif memang, tapi percayalah. indah memang ada.


membeli bunga mawar dan nyempil di lubang

satu buket (Awalnya) dinikmati sendiri

surga dunia sederhana:
rental buku dan dvd, peminjaman di bawah 2000.

ketika main hujan #1

ketika main hujan #2




Senin, 14 November 2016

Di Birai



Di birai pintu kita cuma punya waktu sekitar dua menit, sebelum sunyi hambar dan tumpah seperti susu basi.

Kau berbicara seolah-olah akhir tiada. Dan saban hari, Satre pernah berkata padaku bahwa akhir memang tak pernah ada. Kau ceritakan soal difabel yang mengkeret pada trotoar dimana fasilitas tak berpihak padanya. Dan kau ceritakan juga struktur pada tetes hujan, bahwa di dalamnya ada banyak air mata hewan, tumbuhan, manusia, bahkan Tuhan. Satu menit meriak, dan bahkan celotehmu belum mencapai refrain.

Hampir tiga puluh detik tersisa, sampai di kejauhan aku mulai mendengar ilalang dilibas purnama. Dan sebelum semuanya selesai, aku mengeluarkan setangkai lili putih, agak sedikit layu, namun bisa mengusir aura-aura kematian.


Tapi di birai di mana aku dan kau cuman punya dua menit, tak ada yang tersisa selain ketiadaan pintu, ketidaknyataan, sosokku, dan tanah merah. Lalu aku akan tahu bahwa masa penghabisan kita telah datang, sebab azan subuh telah berkumandang, menghapus sisa-sisa kabut makam pada dua menit di ujung hari itu.


ada hal-hal yang tak bisa dipisahkan bahkan oleh kematian
— Kereta Logawa, November 2016

Senin, 24 Oktober 2016

Mengutarakan Hujan

apa yang kelewat indah dari hujan? rinainya yang selalu akrab dengan tawa anak-anak, harumnya yang membawa berkah, dan tetesnya yang akan membuat para petani menari melibas padi-padi pada sawah yang ranum hijau dalam sebuah gurau? atau kah hujan pada sendirinya memang indah, tanpa perlu kita tahu fungsi dan harmoninya yang merasuk dalam sebuah desau, mengikis emosi-emosi yang tak kita biarkan keluar pada hari yang cerah dan matahari menusuk mata? hujan, yang memancing refleksi-refleksi yang tak kita biarkan orang lain tahu dan bentuknya yang seperti air mata seakan mewakilkan tetes-tetes yang tak kunjung jatuh pada piringan bumi itu.


hujan jatuh saja seperti itu, jujur dan manis, sembab dan lembab, tanpa perlu menimbang-nimbang ia akan terurai menjadi banyak butir tatkala menyentuh tanah. lalu menyusul lah dingin sesudahnya, padahal hujan tak pernah meminta. tapi di sana lah hujan, dalam emosinya: kadang ia marah, kadang ia lelah, kadang ia sendu, kadang ia sedih, tapi kadang ia hanya hujan. h-u hu, j-a ja, n, h-u-j-a-n, sesederhana itu, dan kita lah yang memaknainya.


di sana lah hujan, dan di sini lah kita memandangnya, berjuta tanya yang tak pernah tertuang dalam cakap, pada cerah hari yang fana.



Minggu, 23 Oktober 2016

Tentang Saya, Anak-Anak, Mau Jadi Guru, dan Sekolah Senja






“The soul is healed by being with children.” 

Mungkin kutipan di atas hanya segelintir kecil tentang makna anak-anak di hati saya. Saya sejak dulu suka dengan anak-anakbukan suka secara seksual, ya―akan tetapi lebih kepada saya suka berinteraksi dengan anak-anak dan juga melihat mereka saling berinteraksi dengan sesama anak-anak lainnya.


Saya anak semata wayang. Gak punya adik. Gak punya kakak. Padahal saya suka main. Mungkin ini lah salah satu hal kenapa saya merindukan sosok adik atau anak-anak yang bisa saya ajak main. Abah dan Mama saya, keduanya juga menyukai anak-anak. Pokoknya kalo ada bayi, kami mainin sama-sama! Hehehe gak deng, dari dulu Mama sama Abah udah menginternalisasikan bahwa anak-anak itu lucu, pokoknya.


Saya memang tidak punya adik bayi, tapi di umur saya yang ke-8 tahun, Tuhan memberikan saya seorang adik sepupu lucu, gembil, dan pintar bernama Attar! Rambutnya kriwil, badannya semok. Saya sering main sama adik laki-laki saya ini. Lalu menyusul kelahiran Maleeq, adiknya Attar. Kami juga makin sering main bareng. Dan terakhir, ada Hana, adik saya (sampe-sampe saya nyebutin mereka udah gak pakai sepupu lagi) yang jahilnya minta ampun, sekarang umurnya masih 5 tahun. Ketiga-tiganya punya tempat khusus di hati saya (hihi) walaupun mereka suka saya gangguin dan saya bentak-bentak sampai nangis :( tapi saya sayang mereka. Namun sayang sekali, sekarang Attar sama Maleeq sudah gede, makin gengsi mereka cuddling sama saya (plus, mereka juga udah pada sunat hihi).




Intinya, saya seneng deh main sama anak-anak! Setahun yang lalu habis UN saya, Tata, dan Prita, kedua teman perempuan saya main ke Pondok Si Boncel, dan saya senang sekali gendong-gendong anak yang lucu dan cakep-cakep. Sedih juga soalnya mereka tinggal sama suster-suster panti, bukan sama orangtuanya ... akhirnya saya main sama mereka seharian sampai pas pulang rasanya beraaaat banget. Lalu ketika saya ke Petungkriyono, saya juga melihat banyak anak kecil, ini sih karena saya gak bisa Bahasa Jawa aja saya jadi kurang dekat sama mereka. Tapi saya tetep seneng ngobrol-ngobrol sama mereka. Dan yang terakhir, di tempat makan sehat langganan saya, Letusee, selalu ada bayi kecil di belakang counter kasir. Biasanya sembari Mamanya nyatet pesanan saya, saya main sama si adik bayi yang ternyata belakangan saya ketahui berusia 5 bulan.


1. Keinginan Jadi Guru

Berbicara tentang anak-anak, saya pikir menjadi guru adalah salah satu impian saya yang masih relevan dengan kesukaan saya pada anak-anak. Saya tidak tahu mengapa dulu saya suka sekali ngajarin orang (terlepas dari saya orangnya emang sotoy dan suka menggurui LOL), tapi saya emang suka menjelaskan sesuatu ke orang lain, membimbing mereka,  membuat mereka mengerti, terutama ketika objek pengajaran saya adalah anak-anak dan dulu mantan juga hehe. 


Saya ingat pas TK, pas main guru-guruan, saya benar-benar niat bikin lembar soal, saya ambil kertas dan majalah Mombi dan Bojun (Bobo Junior) terus saya bikin tarik garis, cari kata, acak kalimat, dll sbgnya. Dan temen-temen saya seneng banget, meskipun mereka jadi bosan dan bilang mau main petak umpet saja. Tapi jawaban mereka penuh satu majalah, lalu mereka kumpulin ke saya dan saya kasih nilai (Yeay!) Pas saya SD kelas 2 atau 3 kalau gak salah, saya juga pernah bikin lomba mewarnai dan yang menang saya kasih hadiah tempat pensil pakai uang tabungan saya :""") jadi bakal-bakal ngajar sebagai guru udah saya dapat sejak kecil, tapi saya gak sadar aja.


Menginjak SMP, saya baru menemukan mimpi saya. Waktu itu saya ingat saya sedang menonton televisi, menyaksikan salah satu berita tentang daerah T3 (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) kemudian saya menyaksikan si pembawa berita mengatakan di daerah perbatasan, tenaga kerja pendidik masih sangat kurang. Edukasi dipandang sebelah mata, anak-anak disuruh kerja. Orang-orang di perbatasan yang tidak diperhatikan negara dan kurang disosialisasikan untuk lebih mencintai Indonesia dan menjaga hasil sumber daya alam, kerap menjual hasil sumber daya mereka ke Malaysia karena di sana lebih dihargai. Menonton itu, saya jadi sedih. Dan hati saya tiba-tiba saja tergerak untuk berbuat sesuatu dan saya langsung membayangkan diri saya ada di sana, mengajar untuk anak-anak di perbatasan, atau anak-anak di pedalaman hutan. Ini lah yang menyadarkan saya bahwa saya harus menjadi guru, atau jika tidak, saya ingin menjadi relawan dari suatu organisasi yang "Diturunkan" di daerah-daerah tersebut. Dahulu saya berpikiran mungkin UNICEF bisa membantu saya (maka dari itu saya sempat berpikiran untuk masuk HI biar kerja di PBB gampang #stereotyping), tapi ternyata setelah melihat Butet Manurung (yang lulusan Antropologi Unpad), saya sadar menjadi pengajar itu bisa melalui banyak jalur, kerja di NGO atau LSM, dan sebagainya. 


Justru hal yang paling utama adalah memahami bagaimana edukasi dan masyarakat yang ada di perbatasannya. OLEH SEBAB ITU, saya mengambil antropologi. Saya ambil kelas etnografi daerah-daerah yang pengen saya kunjungi. Saya ambil kajian konflik, kajian anak, agraria ... biar saya ngerti juga dinamika masyarakat yang  berpengaruh pada pendidikan anak di daerah tersebut. Dan saya juga baru menemukan, karena saya tidak mendalami edukasi sebagai jurusan kuliah saya, saya bisa mendapatkannya melalui keikutsertaan komunitas mengajar. Saya senang sekali di Jogja cukup banyak komunitas ngajar, dan saya berencana untuk melamar di Sekolah Gajahwong tahun depan.


Soalnya, tahun ini saya sedang sibuk dengan dua hal: kerja dan Sekolah Senja.


2. Sekolah Senja: Semoga Ini Awal!




Tepatnya sekitar September awal, saya dan anak-anak FIB Mengajar pergi ke Playen untuk menunaikan ibadah mengajar! Hehe, program yang diinisiasikan oleh Sosmas ini memang baru saja diluncurkan sekitar tanggal 3 September 2016 lalu. FIB Mengajar ini perdana dilakukan di Playen, Gunungkidul, sebuah desa yang mirip desa binaan FIB. Kami dulu pernah melakukan program Masyarakat Budaya yang ingin menghidupkan campursari di desa ini lagi. Alm. Manthous, seorang "master" campursari lahir dari Playen.


Program FIB Mengajar ini adalah program dwimingguan dan pesertanya adalah anak-anak kelas 3-6 03 Playen. Kami kebagian tempat di Balai Desa. Sekolah ini sudah diadakan  tiga kali dari total 8 pertemuan, saya sendiri baru ikut dua kali. Misi kami cukup sederhana, kami ingin mengajarkan hal-hal yang tidak diajarkan sekolah dan fun-learning. Kami sudah mengadakan kelas lingkungan hidup dan kelas budaya berkarya. Setiap kelas, ada tiga sesi yang temanya related dengan tema besar dari kelas yang diselenggarakan!


Sementara untuk sistem belajar, anak-anak dibagi dalam kelompok-kelompok yang berasal dari tiga angkatan, tujuannya biar membaur. Saya sendiri membimbing Kelompok Dewi Sinta bersama Berli, dan nametag kita Apel. Di pertemuan kedua, kami dan anak-anak menyusun nama untuk sekolah kami. Dan terbentuklah ide untuk menyebut mereka Laskar Senja; dan disebutlah nama sekolah ini Sekolah Senja; karena tiap kali kami pergi untuk mengajar, kami akan pulang senja hari dan kalau beruntung, sinar matahari di pematang ladang dan hutan di samping balai desa akan membias dengan indahnya. Hihi, sudah dapat anak-anak yang pintar-pintar walau begajulan, Gunungkidul yang asri juga membuat saya betah.


ni salah satu anak iseng nih

Tantangan tersendiri adalah menyusun kurikulum dan mengajar anak-anak dengan berbagai karakter. Di Sekolah Senja saya berlaku sebagai koordinator pengajar, menggantikan Mbak Fia. Tugas saya mengoordinasikan pengajar dan bekerja sama dengan koordinator kurikulum untuk membuat kurikulum pengajaran setiap harinya. Untunglah sistem per sesi itu ditanggungjawabi seorang PJ (Penanggung Jawab), jadi kami bagi-bagi tugas. Lebih sulit lagi me-maintain anak-anak yang notabene energinya besar sekali, masih sering bandel dan suka main sendiri kalau bosan, bahasanya Jawa kasar dan mereka sering mutung kalau tidak dikasih penganan manis. HHHH nyebelin, alhasil kami harus selalu membawa hadiah manis seperti biskuit atau permen untuk mereka. Selain kurikulum dan sifat anak-anak, jarak tempuh yang memakan waktu hampir 2,5 jam dan harus dilakukan pulang pergi jadi perjuangan kami sendiri. Sudah gitu kalau kami pulang, jalur Gunungkidul yang meliuk-liuk pasti akan penuh bus-bus besar yang mau pergi ke pantai atau motor-motor yang mau malmingan di daerah pesisir. Halamak, bikin ngeri deh, mereka!


saya, Risma, dan anak-anak tengah menonton video tentang manfaat pohon.
saya dan anak-anak Dewi Sinta. saya agak lupa mereka yang mana, tapi ada okta, putri, akbar, lalu HWA siapa lagi ya?!

Jihad, koordinator FIB Mengajar sedang menjelaskan pentingnya pohon.

"Ayo, kita tos, ya!"
saya dan pengajar lainnya, berusaha menggapai mimpi 

Semua proses di atas ini saya jalani dengan semangat walau terkadang patah arang dan gak fokus karena saya punya seabrek aktivitas lainnya. Tapi saya harus menjalani ini semua, karena saya yakin kalau saya memang pengen jadi guru, saya sudah harus merintis peran guru kecil-kecilan dengan serius. Saya pengen belajar lebih bersabar, tegas, dan menarik dalam menyampaikan materi.


Intinya, doakan saya bisa menggapai mimpi untuk buat sekolah sendiri bersama anak-anak dan saya bisa ikut program Indonesia Mengajar ketika saya lulus nanti, ya! Saya cita-cita pengen ke perbatasan Kalimantan, pedalaman Papua, atau Atambua. Semoga Semesta memang merencanakan untuk memenuhi rencana saya menjadi ibu guru, amin! 


#AMIN
++ saya akan nulis soal Sekolah Senja, tapi lagi kumpulin niat. Nantikan ya!











Minggu, 16 Oktober 2016

tari




menyebut gentala
yang lahir di antara kala
pada sebuah masa
ketika hari ialah asa



yakni yang merona pada bajik,
yang biru pada bijak,
naif dan fana; ia tak bernama


meski tanpa nama
adakah sebuah kesah
dalam bayang-bayang resah?
karena sejak awal, puan,
musabab layaknya jawaban
yang tak pernah ditanyakan.
hakikat seperti larik
yang tak pernah dilaik

,
sudah kelewat tengik, rupanya
terlewat, tampaknya,
sudah berjewantah, kelihatannya,
menjelantah, sialnya


tapi ini angkara
hidupkan dinakara
dan bak ketidakpastian,
lahir tanpa pemberhentian



tapi ini jiwaku
yang kau umpamakan!
kau tahu, kan
ia hanya tarian
bukan pelarian
berjiwa sederhana
terus berlarian


Senin, 10 Oktober 2016

Baris Berbaris, Hajar Mengajar!



tapi ini kepal
lupa ritual
telah lamat menghajar
sekaligus mengajar


perlahan dibariskan
ini tertahbiskan


lalu ini tungkai, punya tekad--
ini gegas, punya lekas--
ini hati, punya pekerti--
ini cinta, berhak amarta
hidupku muda, wajib kawula!

Sabtu, 08 Oktober 2016

Mari, Nak!



Kisahmu adalah usia
dan alurmu adalah kerut
yang berjajar pada pipi yang kempot keriut
yang lapuk dilarung zaman


"Dahulu saya memercayai sebuah langit!"
katamu. Di langit banyak janji-janji
(dan kesempatan)
tapi kakiku masih saja kaki manusia
yang terbelenggu barang satu depa
aral, lintang, atau pukang
kadang begitu saja terentang
sampai tak ayal kau menabirnya
hingga apa daya kau tersungkur
"Tapi, Nak, aku telah terpangur!"


Maka di sudut ini
aku mengabdi
apa yang dulu adalah sebuah landas pacu
bagi sanak, anak, dan cucu
dan kisahku ini, 
mari dibagi dengan sebuah penganan mini.