Senin, 27 Juni 2016

farji tak pernah lupa


cr: Samarel
 
Sungguh aneh seorang perempuan itu: ia mengingat bagaimana dulu ia merasakan empati atas Ibunya yang terpaksa merenggut cinta bayinya yang tulus pada rahim dengan mengeluarkannya ke dunia, membuat liangnya tercabik, dan kini, saat bayi itu tumbuh menjadi perempuan dewasa yang matang pada raganya, saat lelaki itu dengan sempurna mengisi lembabnya, memenuhi liang-liangnya yang selama ini hampa, kemudian membasahinya dengan jutaan sel serupa kecebong yang akan berjibaku pada rahimnya—hatinya meminta agar lelaki itu tidak merenggut gemasnya pada rahim yang akan mengulang kisah ibunya. Ia ingin lelaki itu senantiasa di sana, karena rahim mengingat. Rahim tak berkhianat. Sekali ia tercabik, maka ia akan menyimpan dalam memori. Dan sesederhana itu, begitu lah perempuan itu akan merasa penuh, penuh yang bukan orgasme  melainkan yang suci, dan mulailah ia menangis—ia mengerti percintaan ini akan habis dan lelaki itu akan menyudahi persetubuhan mereka.

Kamis, 16 Juni 2016

Sajakku terinspirasi dari Sajaknya

aku tak ingin mengerti
bahwa sajak yang kelam kali
sajak yang seperti lapis lazuli
sajak yang gugu
yang lugu
yang diam
melagu
adalah sajak yang telah lama kutinggalkan

aku ini gadis manis
yang pahit dalam proses
mekar sebelum waktunya
menyambut identitasnya:
pengembara

maka itulah yang namanya sukar
tersesat dalam sajakku yang hambar
yang penuh diksi yang kosmis
tapi tak sepatah kata kupahami

maka sejak kapan
kunokhtakan
huruf-huruf tinggi tak berarti?
adakah yang namanya pribadi
dalam sebentuk daging tak berdiri?

maka biarlah kau
menjadi saksi
menjadi kunci
dalam tekadku
seperti kata Chairil
aku ingin hidup seribu tahun lagi
tapi tak perlu hidup seribu tahun lagi
aku hanya ingin mati
dan hidup kembali
untuk selama-lamanya



Senin, 13 Juni 2016

Lembah Karmel

ada kata yang harus menahbiskan makna,
tuturnya pada sebuah warna
ada tugas yang harus membaptiskan gegas,
bisiknya dalam sebuah cuaca
ada diri yang minta diisi,
perjalanan yang butuh dimakadamkan
pikiran yang terkais menjadi sebuah arkais
materi yang tetiba muntab menjadi musabab.


aku adalah seorang musafir,
yang ingin bekerja di ladang sendiri,
berdikari dalam sebuah harga diri,
bertualang dalam mencari teori esensi ideologi apapun yang bisa membangun diriku menembus batas memantapkan keraguan melegakan kesakitjiwaan meredakan kegelisahan aku tak tau apa yang terjadi pada diriku aku ingin menangis tapi aku lelah diamuk ritmis aku gila menghabiskan gejala dalam sebuah mala letih untuk menjadi mahapatih dan aku puruk dalam langkahku yang semakin tersaruk, OH, fluktuasi aksi reaksi, audi, vide, tace, si tus vivere, OH! --

wahai, bukalah mataku.

"bangkitlah, dan tenanglah."
(ia mendengar sebuah nada tabla, acta est fabula.)
"relakan, dan biarkan."
(ia mulai bermeditasi, ask receive believe.)
"apa yang ada di masa lalu, biarlah berlalu. apa yang ada di masa depan, itu lah yang kau perjuangkan, sesederhana itu, kau tak bisa berperang dalam medan di mana prajuritmu sudah tumbang, kau bisa membangun kuil di mana duel satu lawan satumu mengantar menuju kemenangan."

tak ada konotasi?
tak ada. tak ada juga diksi dan majas.
"apa yang kukatakan padamu mengakuisisi lebih dari puisi."


ada yang sederhana,
maka adakanlah ia tetap sederhana.
O sancta simplisitas --
-- pada akhirnya kita berdua yang kembali pada liminalitas.

(Lembah Karmel: sebuah tempat di mana orang-orang Kristiani mencari kesembuhan,
lewat retret, penyegaran rohani, konseling, doa-doa penyembuhan.
mereka ingin membagikan kasih Allah. )

Jakarta, 1:11
//dalam sebuah sunyat//