Rabu, 31 Agustus 2016

#LagiHepiNich

kontras ya sama post sebelum++nya? heheheheheh maafin ya saya akhir-akhir ini lagi galau. :(  tapi kalo kata orang, selama galau kita membawa keproduktifan, seperti membuat puisi atau daur ulang tisu bekas airmata gak deng atau melukis bagi saya bukan masalah. saya udah pernah bilang, makin saya galau saya makin gila-gilaan saya workout dan nari-nari (yang sekarang berakibat lutut kanan saya harus pake knee support gara-gara pemanasannya salah. huw. doakan sendi saya yah teman-teman.)

OKE, mungkin temen-temen bertanya-tanya, selain galau Bia itu ngapain? HEHEHEH. aku masih sering jalan-jalan kok. Jogja lagi rame fky, dan saya sedih ga dapet kuota workshop Joko Pinurbo di efkayeee huhuhuhu meninggal :" tapi kemaren ku baru saja ke Paperu, Pameran Perupa di TBY, silakan temen-temen domisili jogja bisa mampir ke sana! HEHEH.


Nah. Dan saya juga masih baca buku serta menulis serta nyari-nyari pinterest dan sesekali nonton film 18+ (padahal bulan depan baru 18 tahun HAHA). Kalo kalian mau rekomendasi film semi-blue tapi tidak berkualitas porn dan memiliki alur cerita yang #wow silakan kontak saya.


Oke, jadi apa yang sedang Shabia lakukan selama beberapa bulan galau belakangan????


SATU!
Saya lagi gencar-gencarnya hidup sehat.

Yah, ga juga sih. Saya masih suka bandel makan cireng dan kemaren baru beli makaroni kriting yang mecinnya enak mampus. Tapiiii, saya emang lagi hunting restoran-restoran organik dan restoran-restoran vegetarian di Jogja. Saya bakal nulis tentang restoran serta pasar-pasar yang saya kunjungi dalam mensupport project pribadi saya ini. Saya udah ke Letusee YK, Mimpi Lama Sekali, dan Warung Kita, loh! Semuanya recommended. Saya memacu diri saya untuk ke restoran/pasar itu at least seminggu sekali (yang mana saya juga jadi sering bokek). Sekarang saya juga makan buah dan sayur hampir setiap hari. Dan sangat mengurangi asupan MSG. Lalu saya workout dua kali seminggu, tentunya biar badan sehat dan pantat saya naik dikit HAHAHA sad. Terus sekarang I'm currently going to yoga course and deepen my meditation ability. Doakan yah. Dan tunggu post saya tentang hidup sehat, ketika hp saya udah lebih mumpuni nanti.

tuh milas. tempat favorit saya. tapi siap2 rogoh kocek gede.


DUA!
Saya numpuk bacaan.

Bayangin aja, saya lagi baca Children Within Anthropology, terus Close To The Stone Far From The Throne, terus kemaren tiba-tiba temen saya bawain bacaan menarik Memahami Marxisme - Untuk Pemula yang mana saya gak kiri-kiri amat tapi itu KOMIK jadi saya suka heeeeuuu, saya juga belum menamatkan Larung serta Mereka Bilang Saya Monyet.

TIGA!
Saya lagi banyak neliti.

Neliti soal biokulural nich, makanan mahasiswa jogja, pengaruh timbal balik dari segi kultural dan fungsi tubuh. Saya juga pengen ikut lomba essay tapi kok males???!!!?? yha. lihat nanti yha.

EMPAT!
Saya desperate project buku saya belom jadi-jadi
Dah itu doang. 
Gak ada progress.
Di prolog terus. Hiks.
Tapi Alhamdulillah udah bikin karakter sih. tapi ga tau bagaimana mempertemukan cinta mereka karena saya sendiri sedang lemah dalam mencintai HHHHHHHH bapeur.

LIMA!
Tapi saya tiba-tiba lagi pengen berbisnis

Jadi mohon bantuan ya sist. Saya currently lagi mau bereksperimen sama tutup botol, mau saya cat akrilik, saya jadikan pin, saya jual 5-10rb. Murah, bukan? TENTU SAJA. Saya juga sedang mau bermain-main bersama resin yang resik, harganya brisik tapi masa 2 L 50REBU?! dan di dalam resin itu, akan saya selipkan bunga-bunga kering. Saya juga lagi kolek bunga-bunga yang saya temuin di jalan, saya keringin. Selain resin, saya mau buat jadi pembatas buku. Kenapa bunga kering? Saya suka filosofi dan bentuknya sih. Bahwa kecantikan yang pudar, kebaikan yang pernah wangi, tetap aja masih bisa bermanfaat selama kita tau bagaimana memanfaatkan ia dalam bentuk yang baru. Pretty much it resonances my condition rn. Dan gak lepas dari bahasa bunga ... saya cinta hanakotoba!


Tutorial on how-to make a dried, pressed flower book marker.  Would make a nice gift with a card.:

Hasil gambar untuk tumblr bottle cap pin jacket




ENAM!
S4Y4 M4W J4DY N4X ARTZIE NE

ya gitu. tolong ridhai saya dalam mengubah citra sastrawati saya yang gemblung ini
gak deng saya becanda, saya mau kombinasiin sastra sama saikedelik sama artsy sama emo gitu deh, kan gemash banget????!!!???


dah gitu aja. 
dan minta bantuan dong ini hati saya dicubit dikit biar ora mellow setiap saat.

Senin, 29 Agustus 2016

-




.
.


last night was cold.
and i dreamed about something which terrified me a lot.
i was standing at long, black alley


i felt a strange feeling inside my vein
that i no longer could open my heart to anyone
except for someone
who already gone

Selasa, 16 Agustus 2016

Bibirmu

"Seperti apa rasanya mengecupku?"
"Seperti mencium malam hari."

Lelaki itu terdiam. Perempuan itu juga. Kemudian.

"... seperti mencium malam yang gelap tak berbintang. Yang mendung dan kelam. Pada bibirmu aku merasakan kata-kata yang tertahankan, pikiran yang seringkali tak jadi kau utarakan, semesta yang enggan kau tunjukkan, karena engkau takut pengecupmu akan terenggut dan tidak memagut malam-mu lagi. Akhirnya kau menjadi kanvas hitam. Bibirmu menyimpan sejuta bintang-bintang yang tak terlihat dalam-dalam."

Tak ayal ia tercekat. Laki-laki itu diam seribu bahasa sebelum melanjutkan, lirih. "Lalu mengapa kau tetap mengecup bibirku ... di bagian bawah?"


Gadis itu tersenyum sedih menatap kekasihnya.

"Karena aku terlalu takut untuk menciummu di bibir atasmu. Aku akan merasakan Semesta yang luas dibebani di punggungku yang ringkih."



Dengan tetap di bawah, aku masih bisa merangkul khazanah hitam-mu yang diam-diam ringkih, karena apa jadinya jika seluruh manusia melakukan perjalanan ke luar angkasa, ke malam yang hitam, lalu merasa kecil, dibandingkan duduk di sini menatapmu, merasa sepadan? Paling tidak, aku bisa memeluk cakrawalamu.

Orang-Orang di Emperan Persimpangan Jalan

Orang-Orang di Emperan Persimpangan





Aku menghidu bau napas letihmu
Dalam udara malam
Ketika mobil-mobil mewah berjengit
Dari kehadiranmu yang pinggir

Kau tilas tapak
Di batu tempat kaki-kaki yang mapan bersemayam:
Pada pagi hari
Dalam alas tidurmu yang papa:
Pada malam hari

Tapi kau tak jemu jua, kau sandarkan tubuh ringkihmu
Bersama istrimu, lalu gerobak rentamu
Berdua, terpana, hening tak bersuara.

Sementara itu
Ada genta yang merdu melagu
Namun kosong, kopong, menyongsong—
Kutahu indramu tetap tabah,
Mendengar nada palsu lagu yang gegabah,
17 Agustus tahun empat lima
Indonesia kita
Yang jarang singgah pada tempatmu: emperan persimpangan jalan.



Pinggir Galleria, Yogyakarta
00:05, ketika Lagu 17 Agustus diputar
Berasal dari kejadian langsung

Selamat 17 Agustus, PR kita masih banyak.

Senin, 08 Agustus 2016

Re: Re: Jadilah Sebuah Rumah dan Hands, Time, and Letter

Hai, Arum. Telah aku dapati bahwa kamu telah membaca apa yang aku tuliskan dalam kata-kata pada surat Jadilah Sebuah Rumah-ku yang semu, mencoba mengaplikasikannya, lalu terjadi sebuah hasil ... dan menuliskan balasannya. Telah aku lihat seorang perempuan kuat yang mungkin ingin hatinya agak sedikit abai terhadap “cinta” – entah siapa itu atau apakah ia pantas untuk disebut dengan “cinta” itu – namun tetap menyayangi hingga akhirnya konsep afeksi itu membawa ia pada refleksi.

                Pertama-tama, Arum, maaf. Maaf karena aku tidak bisa menjadi cerminan suratku. Maaf karena aku harus menghancurkan konsepku sendiri. Aku merasakan apa yang kamu rasakan, pada akhirnya. Rumahku kini tengah kosong, kalau tidak porak-poranda – mungkin itu metafor yang tepat untuk melambangkan apa yang kurasakan sekarang. Kami berdua sama-sama sedang tidak berada di dalam rumah. Ia yang pertama pergi.

                Arum, aku tidak akan mengatakan bahwa suratku itu sepenuhnya salah. Aku tetap ingin memahami kehidupannya, ingin menjadi lebih tabah dengan kesibukannya, tetap ingin menjadi yang terbaik untuk dirinya, ingin memberikan dirinya kelonggaran. Percayalah juga, Arum, aku mencoba untuk membangun rumah dan menjadi rumah itu sendiri. Aku mencium keningnya sehabis aku marah karena aku tidak puas dengan perbuatannya, hanya agar ia merasa aku mencoba untuk memahami.  Tetapi ternyata, Arum, aku hanya memenjarakan diriku dengan konsep rumah itu sendiri, karena aku tidak pernah mengerti apa itu rumah, apa artinya diriku dan relasiku dengan rumah itu, apa arti dirinya dan rumahku, atau bahkan mempertimbangkan inginkah juga ia membuat rumah dengan proses kreatif-nya sendiri? Aku benar-benar tidak pernah bertanya, dan seenaknya saja melabeli apa yang aku pikirkan dengan sebuah simbol yang rigid. Namun aku juga bersyukur, kesalahanku mungkin tidak akan membawa aku pada refleksi sekarang ini. (Oh ya, makasih juga kamu telah menyadarkanku dalam re: -mu.)

               Aku mendapati diriku membuat tiga kesalahan besar, Arum. Yang pertama, karena aku membangun rumah ini untuk dirinya. Bukan diriku. Padahal aku pun tidak akan bisa menyelaraskan konsep rumah tersebut atas apa yang aku mau dan apa yang ia mau, karena kami tumbuh di rumah yang berbeda, dengan ekspektasi yang berbeda. Mungkin aku butuh rumah dengan estetika Belanda dan Indonesia kuno, sementara ia ingin rumah yang bergaya Persia. Dan ketika aku mencoba membangun rumah Persia, aku akan mendapati ia tak puas, karena aku membangunnya dengan tafsirku sendiri, sementara aku juga semakin terkungkung dengan kemarahanku karena aku tidak membuat rumah yang aku inginkan – dan ia pun juga tidak menyukainya. Jadi mengapa aku tidak membangun rumah untuk diriku sendiri dahulu? Lalu mungkin ia akan menemukan keindahan rumahku sendiri dan mau bertandang.

                Yang kedua. Seperti yang kukatakan padamu, aku terpenjara pada konsep rumahku sendiri. Bagiku rumah adalah tempat yang rigid, yang dibangun di atas sebuah lahan. Yang konkrit. Aku tidak memahami bahwa manusia telah membawa-bawa sebagian dari rumah mereka di hati mereka kemana pun mereka pergi, kepemilikan dan bentuk abstrak dari wujud rumah itu sendiri. Aku tidak pernah berpikir bahwa saat mereka pergi – saat lelaki kita pergi – sebenarnya mereka tidak akan pulang, bukan karena mereka tidak akan pernah kembali, tetapi bahkan dalam langkah pertama mereka, selalu ada rumah yang mereka bawa di hati mereka. Mereka selalu pulang, ke dalam rumah di diri. Api kecil dari pendiangan yang akan menuntun mereka kembali. Dan tetap merasakan kehangatan itu hingga mereka pergi jauh.

                Dan aku terlalu mengagung-agungkan mereka. Serta rumahku sendiri. Itu kesalahanku yang ketiga. Mungkin kamu sudah menyadari, Arum, bahwa bukan lelaki kita saja yang mengembara? Kita, perempuan, juga mengembara dengan cara kita sendiri. Kita tidak seperti dia, tentu – mungkin dia akan pergi ke laut dan gunung, ke orang-orang yang tidak beruntung, seperti katamu, menyelami buku, dalam kasusku, sementara kita akan lebih banyak pergi ke padang bunga, ilalang di bawah bintang, kertas-kertas puisi, mengais hidup di antara orang-orang dibanding teori-teori (Oh ya, bukan berarti kita tidak bisa ke gunung dan demikian sebaliknya). Kita juga mengembara. Dan kita membawa rumah juga dalam diri kita.

                Tentunya, orang yang bertandang ke rumah kita ini harus lah orang-orang yang sudah memiliki keinginan untuk sedenter, dan bukanlah seorang nomad. Dalam kasusmu, mungkin ia adalah nomad, Rum. Mungkin lelakimu itu seseorang yang bahkan masih mencoba membangun rumahnya dan ia pergi ke seluruh penjuru dunia mencari bahan-bahan material. Jadi aku harap kamu juga tidak menyerah mencari atau menunggu seseorang yang sudah memiliki rumah dan akan jatuh cinta pada rumahmu. Kamu itu sudah “lebih” dari dia, aku melihatmu telah menyelesaikan sebuah rumah (dan dia belum), meski kamu juga terus-terusan mencari ornamen dan bahan untuk menghias rumahmu.

                Jadi, aku lega aku sudah tau apa yang harus kulakukan, Arum. Kamu membuatku menyadarinya (bersama seorang sahabat yang menghiburku kemarin). Aku harus membuat rumah untuk diriku sendiri dahulu. Ia juga. Lalu, saat kami siap, kami bisa memutuskan akan pindah ke rumah yang mana (atau mempertahankan keduanya). Toh rumah bisa direnovasi, dan renovasi bisa melibatkan kedua arsitek – tetapi yang terpenting, kami telah mengetahui baik-baik rumah kami sendiri. Dan, yang terpenting lagi bukanlah menjadi sebuah rumah utuh tempat ia berpulang, tapi untuk menjadi rumah yang bagiannya bisa ia bawa-bawa dalam hatinya.

                Lalu, Arum. Tentang serpihmu yang Hands, Time, and Letter, aku mau berterima kasih. Aku akan mengingat kata-katamu yang ini—

                 “...The back of this hands has not been fully painted with the universe. It has been painted only with what these eyes has seen. It is not much, perhaps it is less than what you have seen. So with this letter come a plea: please paint this hands with experiences, heartbreaks, loss. I am not hoping and I am not asking for you to stay. I want you to travel, I want you to go. To come back with more sights I could not even direct my eyes at. To come back with stories that sings sweet songs to my ears. I want you to remember me as the hands who would let you go when you feel like it. I don’t want to be the hands that hold you back.

—seperti aku ingin berkata padanya. Tapi, Rum, aku akan berkata: kau boleh mencintai pasir. Serta belajar untuk merelakan mereka. Tapi aku akan mendoakanmu, agar suatu hari kerang-kerang putihlah yang akan menyelip dalam tanganmu dan bisa kau bawa pulang. Kau juga boleh mencintai ombak – karena ia akan selalu ada di sana. Tetapi aku sudah mempelajari bahwa laut adalah sebuah pelajaran tentang hal-hal yang tak abadi dan bergerak dalam suatu ritme. Aku, seperti dan tidak seperti Alchyon yang menunggu Keix untuk kembali dari samudera, ingin kembali ke rumah dan menyalakan pendiangan. Karena pada akhirnya, lelakiku bukanlah pasir. Atau kerang-kerang. Atau ombak. Atau bahkan samudera. Lelakiku tetaplah seorang manusia yang membutuhkan rumah. Demikian juga lelakimu – kuharap. Suatu saat nanti.

Jadi. Aku mungkin tidak akan pernah memahami sepenuhnya pikirannya seperti ia takkan pernah merasakan sepenuhnya perasaanku, karena kenyataannya memang seperti itu. Tapi bukan tanpa alasan orang yang sangat berbeda bisa saling jatuh cinta. Aku sangat berharap, mungkin kami bisa mempelajari, bahwa saling mencintai adalah berdamai pada dua perbedaan, dengan jemari yang masih saling mengikat dan diri yang saling menguatkan. Dengan kedamaian itu lah, aku rasa, dan yang sedang tengah kupelajari, aku hidup bersamanya selama-lamanya – dalam morfologi apapun. Dan percaya lah, Arum, aku sedang hidup untuk memupuk rasa cinta itu, mengembangkan diriku untuk diriku dan pada akhirnya untuk dirinnya. Terakhir, dalam penutup surat ini, aku telah melingkar kelingking pada Father’s Time, atau Waktu (dalam bahasaku) yang berjanji akan membuktikan semuanya.




Salam sayang,
Shabia.


P.S: Arum, kamu bukan satu-satunya subjek yang aku kirimi surat ini. Kamu pasti mengerti, dan tidak keberatan, kan? 

P.S.S: Aku sayang Arum!