Rabu, 28 September 2016

Maungkai




uma ai!
ikam kada kawa barasai,
belum tuntung banar rindu bahari.


tapi ikam tulakan saja na,
kada kawa melihati
rasa apa yang bujur banar ada di hati
ulun di sini ja saurangan

nini ulun bepandir,
kena:
mun ikam lawan ulun
saling jadi binian lawan lakian,
kena jua kita bulikan ke jalan yang sama


ngalih banar, lah
sampai abah sariki ulun jadi lelah
ampih kah rasa ikam lawan ulun?
semalam sebalum baguringan ulun baranai-ranai
manjulung sunyi andai-andai


gugur 'lo, gugur ja lah,
mun ikam lawan ulun
saling jadi binian lawan lakian,
kena jua kita bulikan ke jalan yang sama



sekarang ni na,
bejauhan ja dulu lah,
kadada yang tau tu na,
masa depan sisakan ja saurangan

Senin, 26 September 2016

Tentang Ultah yang Buruk dan Sebuah Pengukuhan: Gunung Andong, 1726 mdpl

Halo! Saya bikin cerita perjalanan lagi! Kali ini, saya akan menceritakan perjalanan saya mendaki gunung yang tak terlalu tinggi, setelah sekian lama saya belom pernah naik gunung lagi.
.
.
.

Sekitar dua hari yang lalu, tepatnya tanggal 24 September, saya dan beberapa orang teman: Mas Aziz, Wisnu, dan Mas Lanang memulai pendakian ke Gunung Andong yang berdiri kukuh di Magelang. Andong rendah saja, tingginya 1726 mdpl, dan waktu tempuh ke atasnya nggak terlalu lama. Kurang lebih sekitar 1,5 - 2 jam lamanya.

Lucunya, motivasi naik gunung ini agak miris (dan di sisi lain puitis HA). Sejak dua tahun yang lalu, saya pengen banget ngerayain ultah saya di atas gunung, dan waktu itu pengennya Semeru. Tapi karena medan Semeru berat dan saya gak cukup kuat, akhirnya saya mikir: ya udah gunung apa aja juga boleh. Lalu muncul masalah lain. Saya punya firasat ultah ini akan jadi ultah terburuk saya. HEHEHE. Tidak ada keluarga (untuk pertama kalinya: tahun lalu saya bahkan sampe pulang ke Jakarta) karena kedua orangtua saya sedang sibuk, saya baru putus dari lelaki terakhir saya, dan teman-teman saya juga sibuk dengan urusannya masing-masing. Saya juga sedang galau (lol saya gak malu mengakuinya) dan dulu saya pernah membuka kegalauan ini dengan gunung, saya juga ingin mengakhiri dengan gunung. Jadi sejak seminggu sebelumnya saya minta ke Mas Aziz yang memang sudah menguasai gunung di Jateng buat nemenin saya. Gak sangka dia mau! Lalu menyusul anak-anak lainnya yang pengen ikut, yang ternyata motivasinya juga lagi galau. WGWG.



Hujan Deras, Ponco Hijau, Wisnu bengong.


Kami berangkat dari Jogja pukul 14.30-an yang sebenarnya sudah sangat telat karena hujan mengguyur Kota Jogja. Kami sempat kering di perbatasan Magelang-Jogja, lalu diguyur hujan yang kali ini diiringi angin sesampainya di daerah Kopeng. Alhasil celana kami kuyup semua, Voye (motor saya) juga becek :( kami sampai di Pos Gogik sekitar pukul 17.30-an, padahal awalnya kami gak berencana mendaki malam. Di sini kami mengurus tiket, istirahat dan mengeringkan diri, lalu minum teh dan makan bakso. Oh ya, Pos Gogik ini bisa dicapai melalui Kopeng kemudian ambil arah ke Dusun Ngablak. Pos Gogik ini merupakan jalur yang paling mudah dan cepat untuk menuju ke atas, tapi emang muaranya Puncak Alap-Alap, bukan Puncak Andong (ada dua puncak, paling tinggi Puncak Andong).

Peta Jalur di Base Camp Gogik

Siap-siap di Base Camp Gogik

KAMI MENDAKI MALAM, sudah gitu harus pakai ponco karena hujan gerimis. Bisa dibayangkan ribetnya kayak apa, apalagi saya. Sudah gitu ketika mendaki, tubuh saya yang memang butuh proses aklimatisasi lama (sekitar 1.5 jam tubuh saya baru bisa adaptasi sama tekanan dan suhu sekitar. Huft.) dan emang karena badan saya tuh lemah, saya pun sering meminta untuk istirahat setiap 15-30 menit sekali. Ketika kami istirahat, kami mendapat pemandangan Gunung Telomoyo yang gelap dan Merbabu nun jauh di sana. Kota Magelang dan Salatiga juga sayup-sayup terlihat. Sekadar mengingatkan, medan mendaki Andong tidak memiliki bonus (jalur datar) walaupun relatif pendek. Jadi, memang sedikit susah. Apalagi medannya tanah-rumput, jadi juga agak licin.


Pukul 21.00 kurang akhirnya kami sampai di bawah Puncak Alap-Alap dan memutuskan nge-camp di bawah puncak saja karena angin gunung cukup berbahaya: frame tenda bisa terbang dan kami bisa menggigil di atas. Kami berempat langsung mendirikan tenda, mengganti pakaian yang basah (bahkan kaos Wisnu bisa diperes ewww), naruh barang-barang, mengeluarkan amunisi memasak, lalu siap-siap makan malam. Hehehe asyik!


Kami baru bersiap untuk tidur pukul 23.00, dan saya sudah malas banget berpikir untuk membangunkan diri saya jam 00.00 karena apa yang harus dirayakan? Ditambah, kaki saya pegel. Ugh. BTW ini lucu banget, saya ngerasa canggung soalnya ini pertama kalinya saya ngedaki sama cowo semua. Tapi ternyata mereka santai-santai aja, malah antusias kalo saya bilang maaf kalo malem-malem saya reflek meluk karena ngira mereka guling :( tapi ternyata saya berhasil ga meluk siapa-siapa HAKHAKHAK.

Kagetnya, pukul 00.20, Emak Bapak saya nelpon saya, ngucapin ultah. Hehe, ternyata sinyal Telkomsel masih kuat sampe puncak, bro! Saya yang ngantuk ini ngangkat dan bilang makasih-makasih aja, lalu tepar lagi. Eh, jam 3.15an saya dibangunin Mas Aziz, ternyata dia bakarin saya roti bakar (ya iyalah) lengkap dengan meises dan lilin yang nyala, lalu ngucapin selamat ultah:"""") Mas Aziz memang kakak yang baik (kita sering dikira kembar kalau di Antro). Yey, saya tiup lilin deh di dalem tenda.

"Selamat ulang tahun, Dek."

Pagi-pagi, setelah saya tewas lagi sehabis dikasih kue, saya bangun karena suara ribut-ribut Mas Aziz yang sudah bangun karena lagi beresin alat-alat masak. Karena saya ngantuk, saya tidur lagi, ngantuk, tidur lagi, sampe Mas Aziz geli sendiri ngeliatnya. Soalnya saya agak sedih! Saya kan punya obsesi (bukan obsesi sih, apa ya ... semacam kecintaan) terhadap matahari terbit, dan ternyata walaupun siluet mentari pagi cukup keliatan di ufuk timur ... ia gak terlalu bersinar karena ada kabut di kaki cakrawala :( sedih deh. Untung pas mataharinya agak naik dan kabut menipis, baru terlihat deh bagusnya. 
Puncak Gunung Telomoyo, pas di samping tenda.

Matahari Pagi


Pemandangan Tenda Tetangga
dan hei, nun jauh di sana, ada Lawu!

dari dalam tenda, pada suatu pagi

PESTA MAKAN!:
Yam Goyeng x Sayur Sop x Nasi 


Setelah puas-puas ngeliat matahari terbit dan embun yang ngebuat rumput-rumput di sekitar tenda kami jadi romantis, Wisnu dan Mas Lanang yang gak lama menyusul kebangunan (?) kami, kami segera masak-masak. Saya bersikeras ngupas wortel, yang ternyata caranya salah. HAHAHAH malu, ya, ketauan deh jarang di dapur. Tapi untungnya sayur sop saya lumayan, lumayan hambar maksudnya. Kami pesta makan, lho. Siapa lagi coba yang naik gunung masak ayam goreng dan sayur sop  + sosis rebus? :>


Habis makan, saya dan Mas Aziz jalan ke arah puncak, kami pengen ke Puncak Alap-Alap, lalu ke Jembatan Setan, dan terakhir ke Puncak Andong. Seperti biasa, saya membawa jurnal saya yang selalu saya tulis sesuatu kalau naik gunung. Puncak bisa bawa inspirasi, soalnya.

Membuat jurnal di sini, melayangkan pandang ke Jembatan Setan dan Puncak Andong di seberang.


1726 mdpl

Kami cukup lama di puncak dan angin menderu-deru di Jembatan Setan, tapi pemandangannya bagus banget ... sampe di Puncak Andong, buset deh, rame! Kami sampai gak punya kesempatan foto di tugu 1726 mdpl. Ya udah deh, saya moto orang, terus turun lagi. Ternyata kabut tipis udah semakin turun. Semakin bergegaslah kami ke tenda.

Cie beberes nih ye

Pukul 11.00, kami mengepak barang-barang kami untuk turun, melipat tenda, dan bersiap-siap memulai perjalanan kembali. Nih yang paling saya gak suka. Sejujurnya saya lebih menguasai teknik mendaki daripada teknik turun gunung. SAYA KEPLESET TERUS :""""( pantat sama paha saya sampe gemetar. Karena Andong bermedan tanah dan batu-batu, makin stress lah saya! Ada satu part di mana saya akhirnya putus asa terus meluncur pake sepatu, alhasil kaki ke bawah penuh tanah coklat. Huft (sampe sekarang kaki saya juga masih pegel banget haaaaa).

kakak ajij

Anthropos Terjang Hujan! HEHEHEHE

TUH MEDANNYA. lalu mas lanang ngetawain saya mulu tiap denger suara "syuut" di belakang: maksudnya saya kepeleset.


Dan pukul 12.35-an setelah gerimis di kawasan hutan, AKHIRNYA SAMPE BASECAMP GOGIK LAGIII... saya langsung ngegelesor minum teh manis hangat, merasa senang sekaligus kesel. Kaki saya sengklek....


Pukul 13.10, akhirnya kami bersiap-siap untuk pulang. Naasnya, baru keluar dari Kecamatan Ngablak, hujan angin lagi! Kami pergi dengan kuyup, pulang dengan kuyup. Tapi, pemandangan di kiri kanan sangat indah (walau diselingi rintik) karena kami lewat Ketep Pass dan persawahan warga. Kami sampai di kosan saya pada pukul 15.30, dan saya langsung tepar.


Pada akhirnya, apa? Andong, seperti Merbabu, membawa saya terhadap kesadaran yang pernah saya tulis di suatu post atau di satu surat dua tahun yang lalu. Gunung tidak pernah memberikan jawaban. Ia hanya mengukuhkan. Ia cuma memberikan pertanda kalau kita terlalu buta. Dan ya, turun gunung, hati saya masih kosong. Tapi ada yang baru di sana—pengukuhan. Saya sudah setinggi ini! Masa saya gak mempelajari sesuatu?

sendirian dan kedinginan, tapi toh merekah sempurna.
latar belakang: Gunung Merapi dan Merbabu.

Dan mengutip jurnal saya:
Awal bisa menjadi apa saja.
Dan, laut memang berisi hal-hal yang tak pasti. Debur ombak akan pergi dan kembali. Kau mau menunggu? Silakan. Tapi untuk saat ini, beralihlah ke gunung. Masih ada mimpi-mimpi yang patut diwujudkan. Masih ada puncak yang menunggu sebuah harapan untuk direalisasikan. Masih ada lereng yang membawamu dari titik terendah menuju titik tertinggi. 
Dengar ini:
Laut bisa menunggu.

Gadis 18 tahun :)


Selamat ulang tahun, Shabia, dan saya mengirim berkah Semesta untuk kalian semua! :)


Kamis, 22 September 2016

di laut





"Jangan pergi!"
— katanya pada ombak yang berdebur pergi dan kembali


"Kembalilah!"

— katanya pada butir pasir yang meluruh dari genggamannya


Ia menggapai-gapai, lupa caranya bernapas.


"Aku masih di sini ..."
— bisiknya pada sisa-sisa buih terakhir

Jumat, 16 September 2016

Hidoop Sehat (Jilid Satu)

[Hidup Sehat – Part 1]

Hellooo, apakabar!

Sesuai janji, saya menulis post ini! Masih related sama 2 post sebelumnya, akhirnya saya memutuskan untuk nulis cerita perjalanan lagi, nih. Bukan cerita perjalanan sih, lebih kepada ke pengalaman seru mamam dan mimik akhir-akhir ini. Hoho!

Jadi, seperti yang sudah sempat saya omongin di post sebelumnya, saya lagi meniti hidup sehat. Mungkin ini telat dibandingin teman-teman saya yang sekarang udah jadi raw-vegan, vegetarian, makan makanan organik, diet sehat, dan lain-lain sebagainya, tapi at least saya gak cukup telat untuk mengubah sel-sel saya menjadi lebih baik lagi ke depannya lah ya!

Mungkin ada baiknya dulu saya ceritain kenapa saya banting setir dari seseorang yang nggak terlalu merhatiin makanannya dan menganggap makanan sehat itu mahal-mahal, jadi benar-benar niat untuk mengubah hidup saya. Tadinya saya benar-benar setiap hari mengonsumsi makanan-makanan yang banyak mengandung micin. Bahkan, saya tidak mewajibkan diri saya makan buah. Not even mesan jus dan selalu minum serta makan yang instan-instan.

Saya gak pernah sadar ada benjolan yang hidup di dekat kelenjar gondok saya. Sekitar bulan April lalu, saya memeriksakan benjolan itu dan mendapati itu adalah sejenis struma (tumor). Sebenarnya diagnosa awal itu cuman tumor jinak (tadinya). Jadi saya dikasihtau dokter bahwa benjolan itu bukan benjolan biasa, tapi mengindikasikan tumor yang bertumbuh. Nah, maka dari itu saya diboyong ke Jakarta buat diperiksa lebih lanjut. Singkat cerita, kelenjar gondok saya harus dioperasi dan diambil untuk diperiksa. Dan Alhamdulillah banget keputusan “ngambil” itu tepat, karena ternyata tumor itu jenisnya uncertain malignant atau ngarah ke ganas. Kalau gak diambil, akan lebih meluas. Dan sekarang ia telah sirna diambil oleh dokter Em-Em-Si yang sangat tokcer.

Tapi oleh sebab tumor itu disebabkan oleh pola makan, gaya hidup tidak sehat (alkohol, ngerokok, tidur malam), dan genetik, maka saya harus ubah hidup saya. Saya gak boleh tidur malam (makanya sekarang saya jarang tidur lewat dari jam 12 malam – yang mana masih gak sehat) dan makanan saya harus diubah. Saya emang ga sering-sering “minum” juga nggak pernah ngerokok, jadi dua hal itu gak berubah juga, sih. Tapi pola makan sehari-hari saya masih jelek sekali.

Nah! Maka dimulailah healthy journey saya ini. Saya pertama-tama tau Letusee YK, lalu Bumi Langit yang dulu udah sering saya denger, terus Warung Kita, dilanjut Alterjiwo, Kebun Roti, dan Mimpi Lama Sekali (Milas). Sebenarnya masih banyak. Tapi baru itu yang saya catat di jurnal saya. Selain restoran, di Jogja sendiri cukup banyak pasar-pasar yang menjual makanan sehat, bahkan ajang para penjual organik mempromosikan “camilan” sehat mereka. Pasar-pasar itu antara lain Pasar Sagan (setiap Sabtu 2 minggu sekali terakhir minggu kemarin di Loka-Loka Bistro, IFI/LIP), Pasar Kamisan (setiap Kamis, di Pasar Maguwoharjo), dan Pasar Demangan (setiap Jumat, di Demangan dekat Pancake Factory). Dan, saya segera memotivasi diri saya untuk mengunjungi tempat-tempat sehat ini. Tetapi dalam kurun waktu dua bulan ini, baru tiga tempat yang berhasil saya kunjungi. Nah, jadi, ayo kita langsung masuk ke subbab-subbab:

  Letusee YK
     – spesialisasi daun selada yang hijau dan segar!

Saya pertama kali tau Letusee dari teman sehat saya, Rugun Sirait – yang waktu itu ngajak saya ke Pasar Sehat Sagan, tapi naasnya kami ga menemukan stand Letusee. Usut punya usut ternyata Letusee hari itu gak bisa jualan di PSS. Akhirnya, Rugun langsung memberikan ide cemerlang untuk mengunjungi tempat Letusee bersemayam—hitung-hitung biar kita gampang ke sana lagi buat mamam-mamam sehat.

Letusee -- suasananya enaaa


Dan beruntung banget kami decide kayak gitu, karena Letusee asik banget tempatnya. Berlokasi di Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Gejayan (belokan ke kanan atau ke Timur dari arah Jl. Colombo sehabis belokan Jembatan Merah), Letusee bertempat di semacam bangunan terbuka di tengah-tengah hutan buatan. Bangunan ini cozy banget, kebuka, pintunya itu kombinasi antara kayu dan kaca-kaca bening, lalu memiliki beberapa tempat duduk lesehan yang ada bantalannya. Di sisi kiri juga ada lapak jualan makanan dan bumbu sehat (ada produk Bumi Langit juga, loh), sementara di sebelah kanan, ada dapur terbuka beserta kasir. Oh ya, untuk tempat masak dan makannya Letusee ada di lantai 2, jadi jangan bingung ya teman-teman. Bangunannya asik banget – kalo kata saya – lantai duanya cocok buat belajar yoga, sementara lantai satunya – kalo kata Rugun – cocok untuk nyelenggarain gigs. HEHE.

Ternyata Letusee pun sudah berdiri cukup lama. Berawal dari tahun 2011, Letusee yang berdiri berkat Mbak Steffi dan Mbak Nuha yang memang meranjingi makanan sehat, iseng membuka kedai kecil-kecilan. Pada tahun berapa saya lupa, akhirnya Letusee membuka kedai sehatnya di daerah Mrican, Demangan, tepatnya di Amelia Hotel lalu pindah ke Pusat Studi Lingkungan Sanata Dharma Soropadan, Gejayan ini. Sampai sekarang, Letusee makin memvariasikan menunya dan akrab bagi telinga-telinga pecinta makanan sehat.




Sesuai namanya, Letusee ini berspesialisasi dalam menyajikan selada hijau segar (yang saking segarnya saya yang kurang demen selada bisa ngegadoin selada tersebut. Hehehe.). Tapi, Letusee juga mengombinasikan selada tersebut dengan makanan dan sayuran lainnya. Yang menarik nih, produk-produk makanan yang Letusee pakai memang bebas GMO dan MSG, serta berafiliasi dengan produk-produk organik dan sehat, seperti contohnya Mazaraat Artisan Cheese, Bumi Langit, dst.

Sedihnya, foto menu sudah kehapus, padahal saya mau upload ke sini. Range harganya gak terlalu mahal, kok, masih bisa affordable buat kantong mahasiswa. Waktu awal ke sini, saya pribadi pesan vegetarian sandwich, di saat Rugun pesan Cassava Nachos sementara Fatin pesan Classic Potato Salad. Mereka berdua mesan Teh Bunga Telang, sementara saya bawa botol air minum Chuggington sendiri.

Tentu saja kami bertukar makanan, dan setuju: makanannya enak banget! (objektif loh ini, kecuali kalo kamu pembenci sayuran stadium akut). Nachosnya Rugun, yang pakai keju mozzarela dan ternyata dari singkong (bukan kentang loh), serta ada kacang merah dan saos itu enak banget rasanya, menurut saya sih paling enak dari hidangan kami yang lain. Lalu sandwich saya sendiri rotinya enak banget, renyah dan gak mletot (hayo kosakata apa itu), banyak sayurnya tapi gak kerasa sayur yang bikin mahteh, dan UKURAN SEPADAN HARGA, bahkan melebihi. Kombinasi mayonaisnya juga gak berlebihan, daging yang diganti sama kedelai (karena makanan vegetarian, toh) tetap kerasa enak dan mengenyangkan. Saya juga sempat rasain teh bunga telangnya Rugun dan Fatin yang warnanya lucu, warna biru, dan kalau diteteskan jeruk nipis akan berubah warna jadi ... ungu! Hehehe, menarik ya.

makanan Rugun. Nachos. (direpost sama ig letusee loh hehehe #prestise)

Karena keranjingan, untuk kedua kalinya saya kembali ke Letusee, kali ini bersama teman saya yang Vegan, Benedikta Sekar (btw gadis ini penulis juga, silakan cek tulisan motivasionalnya di: Bene's. Ia pesan Veggie Burger yang enaknya ........ aslflsdnfpaef mengalahkan Nachos yang saya nikmatin sama Rugun dan Fatin. Rempahnya kerasa banget, dagingnya juga enak, padahal benar-benar olahan tumbuhan dan kacang-kacangan aja :)) Bene juga pesan kombutcha, minuman fermentasi yang seperti soda, dan rasanya juga gak kalah enak, apalagi kalau disesap pelan-pelan. Di kali kedua saya mengunjungi Letusee saya juga mendapat kesempatan buat ngobrol-ngobrol sama Mbak Nisa, yang cerita banyak soal Letusee sama kami. Mbak Nisa ramah banget loh, dan saya kaget dia juga lagi baca Dunia Sophie. Wekekek.


Makanan saya yang kedua:
Classic Potato Salad
& Minum: Teh Bunga Telang (yang belum dikimiakan)


Maemnya Bene.

berkas sinar mentari dari balkon


Singkatnya, Letusee menduduki peringkat kedai sehat yang paling suitable sama kantong dan pencernaan dan jarak tempuh saya, sih. Selain harganya yang sesuai kantong mahasiswa dan rasanya yang super-sepadan, serta jaraknya yang tidak terlalu jauh dari kosan saya, saya juga suka suasanannya. Alami dan jujur. Kalau senja teman-teman ke sini, teman-teman bisa ngeliat sinar matahari di antara rimbun pepohonan dan masuk lewat ventilasi gedung, terus kalau ada angin pohonnya gerak-gerak syahdu gitu. Juru masak yang pakai celemek, mas-mas yang jaga kasir yang hanya memakai pakaian rumah, dan kehadiran bayi yang selalu digendong mbak-mbak yang duduk di dekat kasir juga membuat saya merasa ini tempat homey banget, jujur dan kekeluargaan. Jangan sungkan ya kalau mau datang ke sini! :)

2.       Mimpi Lama Sekali
– yang memang membuat kita bermimpi

Saya. Suka. Banget. Konsep. Rumah makan. Milas. AAAAA!

OKE maaf pembukannya lebay. Tapi bener, lho.  Berlokasi di Jl. Prawirotaman IV 127 B, yogayakarta 55153, Milas tak hanya berupa restoran vegetarian yang menyajikan hidangan enak Indonesia dan barat yang bebas MSG, organik, dan ramah produk lokal saja, tetapi turut mengusung konsep toko cinderamata dan perpustakaan.

Pas masuk, teman-teman sudah akan disambut gerbang bambu dan parkiran yang bernuansa bambu juga. Konsep Milas memang seperti rumah makan, ada banyak gubug-gubug dan lesehan kayu tersebar di taman hijau, sesekali ditemani suara gemericik air kolam. Suasananya tenang dan artsy. Milas sudah biasa disambangi bule-bule yang memang banyak kita temukan di Prawiropark.

Hasil gambar untuk mimpi lama sekali milas jogja
Saya gak banyak moto, jadi saya ambil dari google ya.
copyright: baltyra.com

Saya ke sini sama Nida Irmanti, teman saya yang pernah menjadi vegan, tapi karena kecintaannya pada daging, ia jadi tobat kembali ke omnivorous diet, sama kayak saya. Tapi Nida masih hidup sehat, masih mengurangi makan-makan sembarangan (kalian harus coba spagetti Nida, ya, teman-teman, catat itu.). Ternyata Nida udah beberapa kali sebelumnya datang ke sini.

Memesan sup jagung dan jamur, sementara Nida memesan nasi kebuli, saya mencermati ada satu rak di dekat tempat duduk kami yang memajang majalah-majalah Bobo, Girls, Femina, pokoknya majalah-majalah yang udah jarang banget saya baca. Lalu, ada setumpuk kartu uno juga, dolanan anak-anak, papan catur, dan bahkan halma. Lalu tepat di samping kami ada toko-toko cinderamata yang lucu banget produk-produknya. Saya jadi penasaran. Milas ini konsep keseluruhannya kayak apa, sih?

Milas berdiri dari tahun 1997. Kepanjangannya adalah  "Mimpi Lama Sekali", dan cita-cita Milas sendiri adalah dunia yang lebih baik dengan memfokuskan diri pada pendidikan kesehatan, dan lingkungan (dikutip dari booklet Milas). Maka dari itu, seperti yang sudah saya bilang, selain restoran Milas juga menyelenggarakan Pasar Organik, Sanggar, Galeri Kerajinan, Perpustakaan, Pojok Organik, dan Playgroup. 

Intinya, kalau teman-teman suka creative space sambil makan sehat, datang lah ke Milas. Daftar lah jadi member perpustakaannya. Milas punya beberapa buku sastra dan filsafat yang bagus. Beberapa masih pakai Bahasa Jerman. Saya nemu buku Psikologi Imajinasinya Sartre dan sedang menimbang-nimbang untuk nabung buat maem serta daftar jadi member dan ke sana lagi. Hiks. Tapi, karena kekurangan Milas terletak pada harganya yang agak tidak ramah mahasiswa, nabung dulu ya gais, ingat NABUNG dulu atau tunggu keluarga Anda ke sini dan seret mereka ke Milas. Makanannya cukup worth it kok, walau variasi lauk dan rempahnya memang kurang beragam :D

(but still, it’s still worthy to be visited.)

3.       Bumi Langit Institute
    – Membumi dan melangit tanpa harus kelewat batas

HYAAA!!

HEHEHEHE.

Saya suka Bumi Langit. Tempat terakhir yang saya kunjungi kemarin adalah Bumi Langit, dapet kesempatan ke sana sama Nida Irmanti juga, peranakan Jawa yang suka dibilang Bali dan INTP (dia udah baca Imagined Society sama buku-bukunya Zizek dari SMA..... terserah.). Saya juga disambut sama Mbak Fatimah Meydina, kenalanku dari acara Do Something Indonesia: Campaign Day Out yang pernah kerja di Bumi Langit.

Ena yaaaa

Ena yaaaa (2)
Butuh sedikit perjuangan untuk mencapai Bumi Langit. Karena berlokasi di Imogiri, tepatnya di (cari alamatnya), maka saya dan Nida harus muter di Ringroad sampai ke Terminal Giwangan, ambil Jalan Imogiri Timur, lurus terus ke arah Makam Raja-Raja Imogiri (sampai ada jalan rusak kita hindarin dan kita malah nemu jalanan sawah tempat syuting-syuting film jadul Indo HAKHAKHAK). Lalu setelah nemu Makam Raja-Raja, ambil jalan ke arah Kebun Buah Mangunan, nemu Bukit Bego (iya namanya Bukit Bego, suka dipakai buat pacaran (APA ITU PACARAN HAH? *masih sensitif*)) lalu ada tanjakan. Di tanjakan ini, harap pelan-pelan dan perhatikan kiri ya, selain kiri itu jurang, nanti teman-teman juga akan nemuin plang sekecil menil bertuliskan: Bumi Langit. Dah tuh belok kiri yak! Nida sama saya sampe njot-njotan gara-gara ngatur gigi, soalnya tanjakannya parah bener, si.

Tapi worth it banget! Pas masuk kami langsung disambut dua pencabangan, satu nanjak ke arah Joglo yang di depannya ada plang “Warung Bumi”, dan satu nurun ke bawah ke jalan setapak yang ada rumah-rumah kecil kayak villa. Saya dan Nida mah langsung ke Warung Bumi.

Tempatnya enak. Kalau Letusee temanya di tengah hutan, Bumi Langit temanya di atas bukit. Lanskapnya langsung menatap Kota Jogja, meski tersaput awan. Karena tinggi di atas bukit, anginnya lebih semeriwing. Tempat makannya terbuka banget, meja-nya dari kayu, naik ke Joglo juga harus copot sepatu. Tidak bermaksud hiperbola, tapi kesan yang didapatkan duduk di Joglo ini kayak sedang makan di Bandung atau tempat-tempat di Puncak, deh. 

Ntu dapurnya

                                        
                                              Makanan saya yang walaupun sederhana, tapi enak.
 Saya dan Nida langsung memesan. Oh ya, range harganya, seperti Milas, memang juga mahal bagi kantong mahasiswa, jadi bawa 50 ribu ke sini udah mepet ya saudara-saudara (karena nanti kalian juga harus isi bensin, ingat itu.). Saya pesan Nasi Campur Vegetarian, sementara Nida pesan Ikan Patin Kuah Asam. Tadinya Nida mau pesan Kombutcha, tapi uangnya ga cukup. Sementara saya senantiasa setia dengan botol Chuggington saya yang merah dan biru. Hanya butuh sekitar 10 atau 15 menit menunggu hidangan kami. Baunya juga sedap loh, soalnya jendela dapurnya langsung ngarah ke area makan. Yeay!




        Karena Bumi Langit itu (deskripsiin Bumi Langit). Saya dan Nida sempat melihat-lihat produk Bumi Langit dan produk sehat serta lokal lainnya kayak Masker Kefir (ea yang diinget cuman itu karena saya jerawatan). Ada banyak produk menarik. Bumi Langit juga menjual produk-produk afiliasinya, loh, contohnya saya melihat deodoran alaminya Banyuripan.



        Balik lagi ke hidangan kami, ternyata makanannya enak banget! Nasi Campur Vegetarian saya yang terdiri dari terong balado, tumis labu, urap Bali, tempe, dan tahu memang terlihat sederhana. Namun, ketika saya ngegigit tempenya, rempahnya kerasa, gurihnya juga. Nasinya sendiri seperti merah, teksturnya nggak lembek tapi juga bukan keras. Gurih. Sayurannya juga enak banget, padahal semua makanan ini tidak mengandung MSG. hmm! Nida juga bilang, Ikan Patin yang ia makan juga tidak berasa amis sama sekali dan kuahnya enak, padahal biasanya ikan-ikan air tawar itu pasti amis (kalau kata Nida). Nah, di atas ini saya melampirkan menu Bumi Langit, mungkin teman-teman sudah tahu harus membawa berapa ribu kalau berkunjung ke sana.

Nida and her pussy, Imam Hambali. (lol that sounds wrong)

me asking y i exist in this universe gadenq


        Tidak hanya makan saja, Mbak Dina mengajak kami keliling Bumi Langit. Oh ya bagi teman-teman yang mau memutari tempat menarik ini, jangan lupa spare 10-15ribu untuk pengelolaan Bumi Langit yah! Karena tempatnya juga gak kalah asik sama Warung Bumi. Bumi Langit yang memang terkenal karena permakultur dan visinya sebagai sebuah sarana untuk menjadi khalifah dalam menjaga buminya, Bumi Langit ini hijau. Di mana-mana ada tanaman budidaya, tanaman buah, bunga, obat, juga ada peternakan dan pengolah biogas. Saya diajak ngeliat-ngeliat tanaman dan ternyata Mbak Dina tahu banyak soal tanaman serta fungsinya, ada bunga telang dan rosella yang bisa dijadiin teh, terus ada arbei yang sering diolah jadi selai arbei (saya nyicipin loh. Enaaaak.). Ada juga kandang sapi dan biogas, tempat budidaya eceng gondok, lalu ada Bunga Matahari! Aih senangnyaa.

      Karena webnya sendiri udah populer dan berisi banyak informasi, teman-teman bisa langsung kunjungin websitenya di Bumi Langit, karena di sana benar-benar dijelaskan visi, misi, dan spesialisasi Bumi Langit. Hehe, ternyata Bumi Langit berlandaskan ajaran-ajaran Islam, loh. Keren banget deh pokoknya.

Saya dan Nida, di depan plang Warung Bumi

saya dan Mbak Dina dan buah arbei!

Ini adalah jembatan menuju musholla kecil yang asik

bagian dalam musholla yang saya panjat ke lotengnya
lalu tiba-tiba muncul tawon

        Dan akhirnya, ketika beranjak sore dan kaki sudah mulai pegal-pegal, kami sama-sama setuju untuk pulang ke kota. Walaupun Bumi Langit jauh, teman-teman, menurut saya seru sekali sih, kalau teman-teman mau belajar dan mencicipi hidangan di sini. Saya sendiri masih berharap akan ke sini secepatnya untuk lebih serius mempelajari permakultur & nilai-nilai Islam dalam melihat lingkungan. Hohoho.

okei, sampai sini dulu yaaa!
Selamat berjumpa di Hidoop Sehat Jilid II. :)

Selasa, 13 September 2016

Untuk:



this letter goes to all of my friends who have endearingly helped me through my hard time. all girls who cheered me up. and all boys who taught me to think logically haha!


untuk Smita, versi matahari yang lain. yang warnanya merah muda.
hai smit. terima kasih atas kesedian ngetuk pintu lalu masuk ke dalam kamarku ya kapan pun kamu mendengar suara-suara anehku di dalam, padahal udah kuredam. terima kasih untuk belaiannya siang bolong itu (ugh, you can be my lesbian friend u kno), terima kasih untuk things i remember from bia yang kamu tulis di note, untuk suratnya, untuk telinga yang bosen kali ya denger negativitasku terus huehue. terima kasih untuk 24/7-nya. 


untuk Adey, versi aku satu tahun yang lalu, survivor, panutanku di masa depan.
thank you for your blog posts, dey. i mean it. terima kasi suda mengajarkan bahwa proses yang kualami ini indah ketika nanti aku melihatnya kembali. you've been in this process a year ago, and you survived. you taught me how to be honest with your feelings and avoiding denial even tho you really want it. thankyou buat balasan chat yang sangat antusias (14 balloons pas aku ngechat kamu lol) extrovert helps extrovert, right? 


untuk Arum, sweetest palms i've ever met, another survivor.
terima kasi sesi ngupi malam yang bikin aku sakit perut. coklat yang gak kunjung datang itu HAHA. satu gambar yang kamu kirim lewat line aku pagi-pagi padahal aku lagi ga ngomongin apa-apa waktu itu (tp intuisimu benar. maaci sangat yey). untuk saran jujur. dan untuk post-post blogmu yang indah spt adey dengan cara yang beda.


untuk Ginan, Wednesday Addams-ku yang gelap tp deep inside penuh cinta,
don't teach me to not falling in love again, ya? aku masih pengen jatuh cinta keles! looool. terima kasi ginan untuk menyadarkanku bahwa anxiety yg sedang aku alami telah kamu alami semua (sampe kamu tau step abis ini. dan kamu pas cerita itu mukanya datar gitu kayak udah bosan) dan pada suatu hari yang baik nanti, akan berakhir. terima kasi untuk tawaran bobo bareng-nya yang gapernah expired dan tawaran untuk menjadi teman lesbi. hem. terima kasi untuk menyadarkanku arti penting keluarga dan ini gaada apa-apanya dibandingin kehilangan keluarga... :)


untuk Nida, my fellow broken-hearted / daddy issue / bitch instinct partner.
i know how INTP works when s/he met someone who need their advice ... so aku gapernah minta saran dari kamu kan HAHAHA. but thankyou for taking me to the places which could cheer me better ... restoran-restoran sehat, wihara, tempat buku, dan kamu janji akan nganter aku ke air terjun, ya. ingat lah untuk tidak sering-sering merancap, pakai n ya nida jangan gak pakai. you helped me with your unique ways kok.


untuk Sekar. pasak yang tumbuh kuat diterjang ombak,
aku kagum sama kamu. apa yang aku alami cuma seprintil dibandingkan apa yang kamu hadapi. dan kamu aja kuat, kenapa aku engga, ya, Sekar? terima kasih telah menjadi jiwa yang indah...


untuk Fatin. si jujur bulat yang menggemaskan.
EHEHEHEHE makasih web-web advide dan vsauce dan school of lifenya nya kamu emang keajaiban virtual deh heaaaaa.


Dan untuk para teman cowo yang tidak kusebutkan namanya demi kepentingan perasaan emosional, hasrat puisi tersembunyi, jiwa pujangga yang gak mau mereka tampilkan di muka publik, dan demi kepentingan kita bersama: THANKYOU YA GUYS.



without you all, i can't heal myself as fast as this.
i love you.


here i attach their beautiful pieces:

words can help. i mean it.
so are they.


Minggu, 11 September 2016

22:30

Have you ever been hurt? Or feel any wound on your body – when your hand accidentally touched something sharp and you were start bleeding, when you got fractured and you couldn't describe your pain? Have you ever thought you will not be so afraid to feel pain until you have felt it over and over again and became 100 %-ly immune?

It sounds strange, but honestly, I really want to feel all pains until I feel familiar with those feelings. The feeling inside and outside after you got hurt. I want to feel it more and more until I no longer be scared with my imagination of being hurt. Because, I inherently get hurt deep down there, and even my unconsciousness already learn how to bear it and just say, “Oh hi. You again. Let's do this together.”

Probably you will say I am crazy. Stupid. Masochist. Or Pathetic. Or perhaps you will understand this is a part of my internal system preventing myself for having a desire to kill "myself" inside.


I want to get hurt. So I can prepare myself whenever I suddenly got another injury, another pain. For example, for my heart. I want to get hurt. Simply because I am a human who have a capability to feel -- and find all emotions are worth to be conceived.

(people will love you and leave you and they give you an open scar.
you can heal that wound, or you can learn how to ignore the pain until it abates.)


Selasa, 06 September 2016

H-18

Jadi segini saja?

Hatiku menoleransi rasa rindu hanya 5 hari. Jiwaku marah hanya untuk 4 hari. Aku sudah tahu, sebenarnya. Aku tipikal manusia yang mudah memaafkan dan melupakan. Kemudian menganggap setiap hari baru adalah pengulangan dan kesempatan dari awal. Ajang untuk kembali berharap dan berimaji. Setiap hari ada matahari. Hangat bisa kembali dirasakan di hati.

 Tapi aku tak pernah merasa seingin ini untuk tidak menjadi diriku yang terlalu optimis, naif, dan banyak berharap. Aku tak pernah merasa seingin ini untuk mati rasa terhadap imajinasi-ku sendiri, karena kedua hal itu akan membawaku pada kesedihan tanpa ujung. Aku ingin sekali jadi pribadi yang tegas dan  pesimis kali ini. Karena semesta sedang tidak baik. Cinta sedang tidak terlalu laik. Hatiku bak gayung tak bersambut. Tercerabut.

Aku rasa sakit hati yang paling hakiki adalah saat kita dipaksa untuk berhenti mencintai padahal hati kita masih ingin. Saat kita dipaksa untuk tidak peduli padahal kita dapati diri kita masih peduli. Saat kita bersemangat untuk mengeksekusikan sebuah rencana namun tak ada sarana. Saat kewajiban untuk menyapa dan memeluk diubah menjadi sebuah larangan keras.

Saat kita ingin tulus. Tapi ketulusan akan berubah menjadi godam.

Tidak rela, itu pasti. Benci? Mungkin sedikit. Kesal? Kecewa? Marah? Ya, itu emosi yang paling kurasakan belakangan. Menyesal? Tidak. Ini pilihanku untuk jatuh cinta sebegitu dalamnya hingga sekarang aku tidak semangat mengerjakan apa-apa. Why do I blame myself of having a capacity to feel? And how can I have a regret for something that I consciously chose?

Tapi aku ingin cepat-cepat keluar dari lubang ini. Aku lelah. Aku sudah bosan tertidur dengan mata bengkak. Aku sudah bosan bangun dari mimpi-mimpi indahku dan melihat kenyataan lah yang sekarang menjadi mimpi buruk. Aku bosan menangis sampai subuh.

Aku akan membiarkan diriku merasakan api-api itu selagi api itu masih ada di sana. Suatu hari ia akan padam. Atau mengecil tapi tetap di sana, karena aku yakin ia adalah api abadi. Mungkin ini lah yang namanya harapan. Tapi aku akan belajar untuk hanya melihat api itu tanpa ada niat mengipasi. Aku akan belajar merelakan.

Merelakanmu adalah pelajaran terberat yang sedang kuhadapi sekarang.

Melemahkan rasa sayangku padamu? Itu juga jauh lebih berat.

Tapi tak ada yang berlangsung selamanya. Demikian pula kita. Yang penting, pada akhirnya aku tetap menunaikan kewajibanku. Aku lah yang tetap bertahan sampai akhir.






Minggu, 04 September 2016

Mama



Kalau kau tanya seperti apa ibuku, aku akan kebingungan menjawabnya. Seperti kau bingung menjelaskan Semesta. Seperti kau bingung menjelaskan Tuhanmu.

                Ibu, yang kupanggil Mama, adalah segalanya bagiku. Mungkin kami memang sering berdebat dan sesekali aku melawan serta abai terhadap dirinya. Kadang Mama juga mengatur-ngatur diriku. Terlalu ikut campur dalam penentuan keputusan sampai aku jadi orang yang labil begini. Tapi di atas semua itu, aku sangat sangat sangat menyayangi Mama.

                Aku tumbuh kebanyakan bersama Mama. Di umur 10 tahun, aku sudah belajar untuk menjadi pendengar dan pemberi saran untuk Mama. Kelas 6 SD, aku sudah belajar untuk berbagi sakit dengan Mama yang tengah menghadapi masalah keluarga. Aku mekar sebelum waktunya. Tapi aku tak pernah menyesal. Mama selalu ada di sampingku dan kami hampir selalu berjalan bersama. (Meskipun Mama selalu berjalan di depan untuk menamengi aku terlebih dahulu.)

                Aku sudah biasa melihat perjuangan Mama.

Di masa-masa SMP, masa-masa di mana hidup dan keluarga menjadi cobaan bagi kami berdua, Mama selalu mengantarku ke sekolah. Kemudian sering mengajakku jalan-jalan bersama teman-temannya. Mama tidak pernah absen mengambilkan rapotku. Ia selalu datang kapanpun aku tampil di muka publik, entah acara itu dibuka untuk umum atau bersifat privat (Mama akan menerobos).  Saat kutanya kenapa ia sebegitu jauh dalam berusaha mengantar-ngantarku atau melihat pertunjukanku, ia selalu berkata agar peran sebagai Ibu terlaksana. Ia ingin aku disupport oleh “satu orang yang tersisa”.

Kalau aku sakit, Mama memelukku. Aku sampai percaya bahwa kunci kesembuhan penyakit yang paling ampuh bukanlah minum obat paling tokcer, tapi dipeluk hingga pagi oleh orang yang bisa memberikan rasa sayang dan hangat kepada kita. Kalau aku sedih, Mama akan meluangkan waktunya kapan pun itu untukku.

Sejak lama, Mama lah pencari nafkah paling utama. Maka dalam proses pertumbuhanku, aku tak bisa seperti anak-anak lain yang mendapat sokongan finansial 100 %. Aku pernah hidup dalam kekurangan. Aku hanya pernah ikut les sekali, itu pun ketika SD saja. Aku jarang jalan-jalan ke luar kota dengan uang kami sendiri. Tapi Mama selalu berusaha untuk membuatku tercukupi secara primer dan sekunder. Kami bukan keluarga yang kekurangan duit. Ia memang sering membatasi pengeluaranku, tetapi aku tak pernah dilarang-larang untuk mendapatkan hak-ku makan dan belajar, malah kadang Mama membiarkan aku menggunakan uangku untuk memenuhi kebutuhan tersier.

Hatiku juga kurang lebih menduplikat pelajaran hati yang selama ini tanpa sadar diajarkan Mama. Aku sudah pernah melihat Ibuku jatuh cinta kepada lelaki lain namun pada akhirnya berusaha untuk tetap bersama keluarganya, berfokus kepada aku, dan mencintai Ayahku lagi. Aku sudah pernah melihat Mama tetap menyayangi orang yang sudah ia janji untuk menyayangi sehidup-semati, tahan dalam penyakitnya, meskipun kadang cintanya tak terbalas. Kalau ada orang yang bertanya siapakah orang yang paling berjuang untuk cinta dalam kehidupanku yang pernah kukenal, maka aku akan menjawab Mama. Mama berkali-kali mengingatkanku untuk tidak terlalu menjadi dia, orang yang menye dan begitu cinta sampai tidak bisa membedakan kapan harus meninggalkan orang. Tapi, aku takut aku juga sudah menginternalisasikan bagaimana cara Mama mencintai seseorang. Aku pernah merasakan di posisi Mama dengan seorang lelaki. Aku meresonansikan apa yang Mama katakan pada Abah saat lelaki itu menyakiti aku dengan kata-kata yang mirip dengan kata-kata yang Abah ucapkan ke Mama. Tapi kalau Mama bertahan dan tetap bersinar, kenapa tidak?

Aku sayang Mama.

Sebegitu sayangnya sampai suatu waktu aku sedih, hatiku sakit, aku akan membayangkan sebuah skenario Mamaku meninggal. Bukan karena aku mau. Tapi karena aku akan merasa sakit yang kurasakan saat ini tidak akan sesakit ditinggalkan Mama yang seperti Semesta bagiku. 

Mama adalah support system-ku yang paling utama. Satu hal yang selalu kuingat dari perkataan Mama, “Bi, jadilah orang baik yang punya hati. Orang dengan hati baik itu memang akan ngalamin cobaan yang lebih berat daripada orang yang hatinya biasa-biasa saja atau jahat. Kamu akan ngerasa lebih sakit hati dan ngerasa lebih sedih kalau disakiti. Tapi itu semua worth it. Kamu bisa bangkit. Kamu sakit sekarang, tapi nanti nggak akan sakit. Dan kamu akan tumbuh.”

Aku mengingat advice itu kapan pun aku merasa down.

Dengan quote itu, serta cinta kasih Mama, aku akan baik-baik saja. Aku menyayangi Mama. Tapi kalau rasa sayangku tidak akan pernah membalas cinta Mama yang tanpa pamrih, aku akan mencintai anakku nanti di masa depan seperti cinta Mama kepadaku.


Mama adalah pengajar yang tepat bagaimana cara untuk menjadi seorang ibu yang baik.


Bia sayang Mama, Ma. Terima kasih untuk pembicaraan kemarin pagi.