Senin, 24 Oktober 2016

Mengutarakan Hujan

apa yang kelewat indah dari hujan? rinainya yang selalu akrab dengan tawa anak-anak, harumnya yang membawa berkah, dan tetesnya yang akan membuat para petani menari melibas padi-padi pada sawah yang ranum hijau dalam sebuah gurau? atau kah hujan pada sendirinya memang indah, tanpa perlu kita tahu fungsi dan harmoninya yang merasuk dalam sebuah desau, mengikis emosi-emosi yang tak kita biarkan keluar pada hari yang cerah dan matahari menusuk mata? hujan, yang memancing refleksi-refleksi yang tak kita biarkan orang lain tahu dan bentuknya yang seperti air mata seakan mewakilkan tetes-tetes yang tak kunjung jatuh pada piringan bumi itu.


hujan jatuh saja seperti itu, jujur dan manis, sembab dan lembab, tanpa perlu menimbang-nimbang ia akan terurai menjadi banyak butir tatkala menyentuh tanah. lalu menyusul lah dingin sesudahnya, padahal hujan tak pernah meminta. tapi di sana lah hujan, dalam emosinya: kadang ia marah, kadang ia lelah, kadang ia sendu, kadang ia sedih, tapi kadang ia hanya hujan. h-u hu, j-a ja, n, h-u-j-a-n, sesederhana itu, dan kita lah yang memaknainya.


di sana lah hujan, dan di sini lah kita memandangnya, berjuta tanya yang tak pernah tertuang dalam cakap, pada cerah hari yang fana.



Minggu, 23 Oktober 2016

Tentang Saya, Anak-Anak, Mau Jadi Guru, dan Sekolah Senja






“The soul is healed by being with children.” 

Mungkin kutipan di atas hanya segelintir kecil tentang makna anak-anak di hati saya. Saya sejak dulu suka dengan anak-anakbukan suka secara seksual, ya―akan tetapi lebih kepada saya suka berinteraksi dengan anak-anak dan juga melihat mereka saling berinteraksi dengan sesama anak-anak lainnya.


Saya anak semata wayang. Gak punya adik. Gak punya kakak. Padahal saya suka main. Mungkin ini lah salah satu hal kenapa saya merindukan sosok adik atau anak-anak yang bisa saya ajak main. Abah dan Mama saya, keduanya juga menyukai anak-anak. Pokoknya kalo ada bayi, kami mainin sama-sama! Hehehe gak deng, dari dulu Mama sama Abah udah menginternalisasikan bahwa anak-anak itu lucu, pokoknya.


Saya memang tidak punya adik bayi, tapi di umur saya yang ke-8 tahun, Tuhan memberikan saya seorang adik sepupu lucu, gembil, dan pintar bernama Attar! Rambutnya kriwil, badannya semok. Saya sering main sama adik laki-laki saya ini. Lalu menyusul kelahiran Maleeq, adiknya Attar. Kami juga makin sering main bareng. Dan terakhir, ada Hana, adik saya (sampe-sampe saya nyebutin mereka udah gak pakai sepupu lagi) yang jahilnya minta ampun, sekarang umurnya masih 5 tahun. Ketiga-tiganya punya tempat khusus di hati saya (hihi) walaupun mereka suka saya gangguin dan saya bentak-bentak sampai nangis :( tapi saya sayang mereka. Namun sayang sekali, sekarang Attar sama Maleeq sudah gede, makin gengsi mereka cuddling sama saya (plus, mereka juga udah pada sunat hihi).




Intinya, saya seneng deh main sama anak-anak! Setahun yang lalu habis UN saya, Tata, dan Prita, kedua teman perempuan saya main ke Pondok Si Boncel, dan saya senang sekali gendong-gendong anak yang lucu dan cakep-cakep. Sedih juga soalnya mereka tinggal sama suster-suster panti, bukan sama orangtuanya ... akhirnya saya main sama mereka seharian sampai pas pulang rasanya beraaaat banget. Lalu ketika saya ke Petungkriyono, saya juga melihat banyak anak kecil, ini sih karena saya gak bisa Bahasa Jawa aja saya jadi kurang dekat sama mereka. Tapi saya tetep seneng ngobrol-ngobrol sama mereka. Dan yang terakhir, di tempat makan sehat langganan saya, Letusee, selalu ada bayi kecil di belakang counter kasir. Biasanya sembari Mamanya nyatet pesanan saya, saya main sama si adik bayi yang ternyata belakangan saya ketahui berusia 5 bulan.


1. Keinginan Jadi Guru

Berbicara tentang anak-anak, saya pikir menjadi guru adalah salah satu impian saya yang masih relevan dengan kesukaan saya pada anak-anak. Saya tidak tahu mengapa dulu saya suka sekali ngajarin orang (terlepas dari saya orangnya emang sotoy dan suka menggurui LOL), tapi saya emang suka menjelaskan sesuatu ke orang lain, membimbing mereka,  membuat mereka mengerti, terutama ketika objek pengajaran saya adalah anak-anak dan dulu mantan juga hehe. 


Saya ingat pas TK, pas main guru-guruan, saya benar-benar niat bikin lembar soal, saya ambil kertas dan majalah Mombi dan Bojun (Bobo Junior) terus saya bikin tarik garis, cari kata, acak kalimat, dll sbgnya. Dan temen-temen saya seneng banget, meskipun mereka jadi bosan dan bilang mau main petak umpet saja. Tapi jawaban mereka penuh satu majalah, lalu mereka kumpulin ke saya dan saya kasih nilai (Yeay!) Pas saya SD kelas 2 atau 3 kalau gak salah, saya juga pernah bikin lomba mewarnai dan yang menang saya kasih hadiah tempat pensil pakai uang tabungan saya :""") jadi bakal-bakal ngajar sebagai guru udah saya dapat sejak kecil, tapi saya gak sadar aja.


Menginjak SMP, saya baru menemukan mimpi saya. Waktu itu saya ingat saya sedang menonton televisi, menyaksikan salah satu berita tentang daerah T3 (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) kemudian saya menyaksikan si pembawa berita mengatakan di daerah perbatasan, tenaga kerja pendidik masih sangat kurang. Edukasi dipandang sebelah mata, anak-anak disuruh kerja. Orang-orang di perbatasan yang tidak diperhatikan negara dan kurang disosialisasikan untuk lebih mencintai Indonesia dan menjaga hasil sumber daya alam, kerap menjual hasil sumber daya mereka ke Malaysia karena di sana lebih dihargai. Menonton itu, saya jadi sedih. Dan hati saya tiba-tiba saja tergerak untuk berbuat sesuatu dan saya langsung membayangkan diri saya ada di sana, mengajar untuk anak-anak di perbatasan, atau anak-anak di pedalaman hutan. Ini lah yang menyadarkan saya bahwa saya harus menjadi guru, atau jika tidak, saya ingin menjadi relawan dari suatu organisasi yang "Diturunkan" di daerah-daerah tersebut. Dahulu saya berpikiran mungkin UNICEF bisa membantu saya (maka dari itu saya sempat berpikiran untuk masuk HI biar kerja di PBB gampang #stereotyping), tapi ternyata setelah melihat Butet Manurung (yang lulusan Antropologi Unpad), saya sadar menjadi pengajar itu bisa melalui banyak jalur, kerja di NGO atau LSM, dan sebagainya. 


Justru hal yang paling utama adalah memahami bagaimana edukasi dan masyarakat yang ada di perbatasannya. OLEH SEBAB ITU, saya mengambil antropologi. Saya ambil kelas etnografi daerah-daerah yang pengen saya kunjungi. Saya ambil kajian konflik, kajian anak, agraria ... biar saya ngerti juga dinamika masyarakat yang  berpengaruh pada pendidikan anak di daerah tersebut. Dan saya juga baru menemukan, karena saya tidak mendalami edukasi sebagai jurusan kuliah saya, saya bisa mendapatkannya melalui keikutsertaan komunitas mengajar. Saya senang sekali di Jogja cukup banyak komunitas ngajar, dan saya berencana untuk melamar di Sekolah Gajahwong tahun depan.


Soalnya, tahun ini saya sedang sibuk dengan dua hal: kerja dan Sekolah Senja.


2. Sekolah Senja: Semoga Ini Awal!




Tepatnya sekitar September awal, saya dan anak-anak FIB Mengajar pergi ke Playen untuk menunaikan ibadah mengajar! Hehe, program yang diinisiasikan oleh Sosmas ini memang baru saja diluncurkan sekitar tanggal 3 September 2016 lalu. FIB Mengajar ini perdana dilakukan di Playen, Gunungkidul, sebuah desa yang mirip desa binaan FIB. Kami dulu pernah melakukan program Masyarakat Budaya yang ingin menghidupkan campursari di desa ini lagi. Alm. Manthous, seorang "master" campursari lahir dari Playen.


Program FIB Mengajar ini adalah program dwimingguan dan pesertanya adalah anak-anak kelas 3-6 03 Playen. Kami kebagian tempat di Balai Desa. Sekolah ini sudah diadakan  tiga kali dari total 8 pertemuan, saya sendiri baru ikut dua kali. Misi kami cukup sederhana, kami ingin mengajarkan hal-hal yang tidak diajarkan sekolah dan fun-learning. Kami sudah mengadakan kelas lingkungan hidup dan kelas budaya berkarya. Setiap kelas, ada tiga sesi yang temanya related dengan tema besar dari kelas yang diselenggarakan!


Sementara untuk sistem belajar, anak-anak dibagi dalam kelompok-kelompok yang berasal dari tiga angkatan, tujuannya biar membaur. Saya sendiri membimbing Kelompok Dewi Sinta bersama Berli, dan nametag kita Apel. Di pertemuan kedua, kami dan anak-anak menyusun nama untuk sekolah kami. Dan terbentuklah ide untuk menyebut mereka Laskar Senja; dan disebutlah nama sekolah ini Sekolah Senja; karena tiap kali kami pergi untuk mengajar, kami akan pulang senja hari dan kalau beruntung, sinar matahari di pematang ladang dan hutan di samping balai desa akan membias dengan indahnya. Hihi, sudah dapat anak-anak yang pintar-pintar walau begajulan, Gunungkidul yang asri juga membuat saya betah.


ni salah satu anak iseng nih

Tantangan tersendiri adalah menyusun kurikulum dan mengajar anak-anak dengan berbagai karakter. Di Sekolah Senja saya berlaku sebagai koordinator pengajar, menggantikan Mbak Fia. Tugas saya mengoordinasikan pengajar dan bekerja sama dengan koordinator kurikulum untuk membuat kurikulum pengajaran setiap harinya. Untunglah sistem per sesi itu ditanggungjawabi seorang PJ (Penanggung Jawab), jadi kami bagi-bagi tugas. Lebih sulit lagi me-maintain anak-anak yang notabene energinya besar sekali, masih sering bandel dan suka main sendiri kalau bosan, bahasanya Jawa kasar dan mereka sering mutung kalau tidak dikasih penganan manis. HHHH nyebelin, alhasil kami harus selalu membawa hadiah manis seperti biskuit atau permen untuk mereka. Selain kurikulum dan sifat anak-anak, jarak tempuh yang memakan waktu hampir 2,5 jam dan harus dilakukan pulang pergi jadi perjuangan kami sendiri. Sudah gitu kalau kami pulang, jalur Gunungkidul yang meliuk-liuk pasti akan penuh bus-bus besar yang mau pergi ke pantai atau motor-motor yang mau malmingan di daerah pesisir. Halamak, bikin ngeri deh, mereka!


saya, Risma, dan anak-anak tengah menonton video tentang manfaat pohon.
saya dan anak-anak Dewi Sinta. saya agak lupa mereka yang mana, tapi ada okta, putri, akbar, lalu HWA siapa lagi ya?!

Jihad, koordinator FIB Mengajar sedang menjelaskan pentingnya pohon.

"Ayo, kita tos, ya!"
saya dan pengajar lainnya, berusaha menggapai mimpi 

Semua proses di atas ini saya jalani dengan semangat walau terkadang patah arang dan gak fokus karena saya punya seabrek aktivitas lainnya. Tapi saya harus menjalani ini semua, karena saya yakin kalau saya memang pengen jadi guru, saya sudah harus merintis peran guru kecil-kecilan dengan serius. Saya pengen belajar lebih bersabar, tegas, dan menarik dalam menyampaikan materi.


Intinya, doakan saya bisa menggapai mimpi untuk buat sekolah sendiri bersama anak-anak dan saya bisa ikut program Indonesia Mengajar ketika saya lulus nanti, ya! Saya cita-cita pengen ke perbatasan Kalimantan, pedalaman Papua, atau Atambua. Semoga Semesta memang merencanakan untuk memenuhi rencana saya menjadi ibu guru, amin! 


#AMIN
++ saya akan nulis soal Sekolah Senja, tapi lagi kumpulin niat. Nantikan ya!











Minggu, 16 Oktober 2016

tari




menyebut gentala
yang lahir di antara kala
pada sebuah masa
ketika hari ialah asa



yakni yang merona pada bajik,
yang biru pada bijak,
naif dan fana; ia tak bernama


meski tanpa nama
adakah sebuah kesah
dalam bayang-bayang resah?
karena sejak awal, puan,
musabab layaknya jawaban
yang tak pernah ditanyakan.
hakikat seperti larik
yang tak pernah dilaik

,
sudah kelewat tengik, rupanya
terlewat, tampaknya,
sudah berjewantah, kelihatannya,
menjelantah, sialnya


tapi ini angkara
hidupkan dinakara
dan bak ketidakpastian,
lahir tanpa pemberhentian



tapi ini jiwaku
yang kau umpamakan!
kau tahu, kan
ia hanya tarian
bukan pelarian
berjiwa sederhana
terus berlarian


Senin, 10 Oktober 2016

Baris Berbaris, Hajar Mengajar!



tapi ini kepal
lupa ritual
telah lamat menghajar
sekaligus mengajar


perlahan dibariskan
ini tertahbiskan


lalu ini tungkai, punya tekad--
ini gegas, punya lekas--
ini hati, punya pekerti--
ini cinta, berhak amarta
hidupku muda, wajib kawula!

Sabtu, 08 Oktober 2016

Mari, Nak!



Kisahmu adalah usia
dan alurmu adalah kerut
yang berjajar pada pipi yang kempot keriut
yang lapuk dilarung zaman


"Dahulu saya memercayai sebuah langit!"
katamu. Di langit banyak janji-janji
(dan kesempatan)
tapi kakiku masih saja kaki manusia
yang terbelenggu barang satu depa
aral, lintang, atau pukang
kadang begitu saja terentang
sampai tak ayal kau menabirnya
hingga apa daya kau tersungkur
"Tapi, Nak, aku telah terpangur!"


Maka di sudut ini
aku mengabdi
apa yang dulu adalah sebuah landas pacu
bagi sanak, anak, dan cucu
dan kisahku ini, 
mari dibagi dengan sebuah penganan mini.


Selasa, 04 Oktober 2016

Maka, HUSH, Pergilah Jauh-Jauh!

[Terinspirasi dari Chicken Soup For The Soul, Pintu yang Tak Pernah Terkunci]
.
.
.

Tak pernah ada yang tinggal lama, maka pemuda itu pergi, setelah sebelumnya ia pernah angkat kaki dan sempat kembali. Membawa semua kepenuhan dan kebahagiaan yang pernah mengisi hari-hari di ruangan itu, hingga rumah itu gelap bermalam-malam karena lilin tak pernah dinyalakan. Dingin juga kian merasuk, karena pendiangan tidak pernah dikobarkan hingga membusuk.

Gadis itu diam saja di sana, menunggu di depan pintu, seperti anjing yang patuh, memasang telinga,  sekaligus harapan, kalau-kalau ada tapak-tapak yang menghantar di setapaknya. Ia bertanya-tanya, apa salahnya hingga pemuda itu pergi dan tetap diam seribu bahasa? Pemuda itu akan kemana? Untuk berapa lama? Ia bertanya-tanya dan tetap memasang telinga.

Tapi berhari-hari – berminggu-minggu – tak pernah ada sosoknya. Hanya kekosongan belaka, hingga musim berganti, hatinya semakin dingin, wajahnya semakin kuyup karena air mata, dan tubuhnya semakin layu karena ia hanya bergerak jika urgensi perut merajalela.

Hingga akhirnya, di malam yang sangat dingin, ia tergopoh-gopoh menyalakan pendiangan dan lilin, kemudian menyadari, ia cukup kuat untuk berdiri sendiri. Ia paksa tungkainya melangkah ke sofa di ujung ruangan tempat pemuda itu biasa duduk dan menatapnya dengan lembut, tempat ia menjanjikan Kota Kincir Angin nun jauh di Negeri Dahlia yang akan mereka datangi dan tempat ia menulis puisi-puisi. Ia hempas sofa itu hingga terbalik, merasa tetiba gusar, lalu ia dorong ke gudang. Ia tak mau melihat sofa itu untuk sementara.

Lalu ia tertegun.

Di balik sofa itu, ia melihat sebuah ransel dan amunisi yang dulu ia pakai untuk pergi jauh, ketika rumah ini masih ia tempati sendiri dan ia tak punya alasan untuk ama-lama menyendiri. Ia tersenyum kecil. Gadis itu menyadari kepergian seseorang bukanlah sarana untuk melupakan dan pergi, tetapi mengingat mereka pernah baik, lalu pergi untuk kembali. Entah ada seseorang yang menunggunya, sama atau berbeda, tapi ia akan kembali dengan bentuk yang berbeda. Maka malam itu ia bereskan ransel dan ia pak beberapa buah baju serta bekal makanan.

Subuh-subuh ia berangkat dengan mantap, setelah terlebih dahulu melempar pandangnya ke bingkai foto di mana ia dan pemudanya tengah memeluk. Ia akan mencoba untuk tidak mengingat pemuda itu. Untuk sementara. Atau selamanya. Entahlah, tak apa. Waktu yang akan menuntunnya.

Kemudian ia pergi. Ke arah yang berbeda dari pemuda itu raib. Memutuskan ia akan mengembangkan dirinya dahulu – bertemu banyak orang, banyak cinta, kemudian letih dan biarkan itu lagi: Waktu yang akan menuntunnya.

[FINISH]
.
.
.
[PLOT TWIST]
Sudah berbulan-bulan atau bertahun-tahun—ia tak ingat—tapi ini setapak yang dulu mengarah ke rumahnya, bukan? Ia tersenyum. Ia rindu rumah. Betisnya kini hampir berotot dan kulitnya bertambah coklat sejak pertama kali ia pergi.

Namun ada yang aneh. Jalan itu seperti bersih dari kotoran dan ilalangnya seperti sehabis diinjak, padahal ia sudah pergi lama.

Gadis itu menyiagakan diri dengan waswas, pergi ke teras, lalu membuka pintu yang tidak terkunci. Pintu membuka dengan lambat dan ia bersiap-siap dengan kuda-kuda untuk melawan  (siapa tau di dalam itu maling!).

Ia membeku. Orang itu juga membeku.

Di depan pendiangan ada pemuda-nya yang telah lama ia lupakan, sedikit lebih jelek dan acakadut dari pertama kali ia pergi, tapi sinar mata dan sikap tubuh yang diam-diam ia rindukan masih sama. Canggung tetapi mantap. Sepi tetapi kuat. Tapi, pemuda itu sedang marah.

“Kamu kemana saja?!”

“Pintu tidak dikunci! Barang-barang berharga masih di sini! Bagaimana kalau dicuri?! Rumah kosong, tetangga tidak tahu kamu kemana, katanya kamu pergi diam-diam! Dan semua orang berpikir kamu cuek saja karena kamu tidak akan kembali ke sini!”

Gadis itu tetap diam terpana.

Pemuda itu menghembuskan napas. “Kalau bukan aku yang kembali tetapi orang jahat, mungkin kamu sudah mati. Kamu masih saja teledor seperti bia—”

“Aku tidak lupa.”

Ia diam sejenak, ragu-ragu.

“Aku memang membiarkan pintunya tak terkunci ...” jawab gadis itu pelan-pelan tersenyum. “Aku akan mengambil resiko kalau itu adalah orang jahat. Sejak kamu pergi, aku tak pernah menguncinya. Aku tahu kamu akan kembali.”

Gadis itu memegang pipi pemudanya, berbisik. “Demikian pula aku.”

[END]

Mereka tetap diam di sana.

“Kalau aku tidak kembali, apa yang akan kamu lakukan?”


“Akan ada plot twist yang lain. Dan kita akan baik-baik saja. Aku pergi untuk mempersiapkan segala kemungkinan. Tapi untuk saat ini, aku selalu memikirkan plot twist itu walaupun peluang nyata dan tidak nyata-nya sama-sama besar. Tapi ini dongeng sudut, kuambil konsekuensinya. Jangan khawatir. Apapun yang terjadi, hidup akan bekerja untuk kita."

Yang ini untuk marcel, teri ma ka sih, Marcel!
(you can visit him here)


Minggu, 02 Oktober 2016

Saya. Perempuan.

Dengar, Jagadhita!
Saya bangga terlahir menjadi seorang perempuan.
Saya bahagia terlahir sebagai seorang perempuan.
Yang dikonstruksikan secara sosial untuk menghayati "keperempuanan"
Yang dikonstruksikan secara biologis dengan rahim, vagina, payudara, dan kumpulan hormon: estrogen hingga progrestron.


Saya dengan senang menantikan peran-peran perempuan,
yang akan dan sudah
Menanti diri saya menjadi seorang ibu (di masa mendatang)
Menanti diri menjadi seorang istri (masih di masa mendatang)
Mengamati perkembangan diri saya kini yang diwarnai rasa
Menghadapi proses-proses perkembangan yang lebih banyak diwarnai jatuh dan terkapar
(tapi dengar, saya bangkit lagi)


Kadang saya berpikir,
enak ya jadi lelaki?
Secara permukaan lebih santai.
Lebih menggunakan logika dibanding rasa.
Lebih memiliki tekanan pertemanan yang ringan, beban yang tidak signifikan,
peran yang lebih menjanjikan--
tapi saya salah.
Seiring saya hidup bersama laki-laki: ayah saya, mantan-mantan saya, teman-teman, dan sahabat-sahabat lelaki saya, mereka berkata:
Tidak enak jadi lelaki.
Apalagi yang ada di bawah kungkungan budaya patriarki
Kamu dituntut untuk berdikari
Tidak boleh menangis berlebih
Menafkahi keluarga
Terlihat baik-baik saja padahal hanya ingin mewek saja
Terlalu sering memikirkan masa depan hingga kepala mau pecah
Terlalu banyak dituntut untuk membuktikan diri
dan dikucilkan jika gagal
atau menerima ejekan jika kelewat flamboyan.


Saya bahagia menjadi seorang perempuan;
yang dikelilingi oleh perempuan-perempuan
yang bangga dan hebat menjadi seorang perempuan


Pada akhirnya saya setuju,
di setiap personalita pasti ada elemen feminin dan maskulin
yang mana yang mau kau munculkan dan tetapkan
tapi, masa bodohlah,
saya memilih menjadi perempuan
dan saya bangga dilahirkan dan akan menjadi seorang:
perempuan.