Selasa, 29 November 2016

Panggung Sandirawa



peluk dirimu,
janganlah ragu
sikapmu bukan tabu
meski kadang terlampau kelabu

singkaplah tirai,
langkahkan tungkai
bahkan mereka yang berjarak dari birai
ialah penontonmu yang fana;
dan kau tidak


kau punya kuasa
untuk merangkai naskahmu
dan aku tak percaya:
bahwa sutradara bukanlah pelakon
pelakon bukan sutradara


bila berpeluh, jujurlah
bila bersedih, ungkaplah
bila marah, singkaplah


ajari mereka, bahwa panggung terkadang bukan medan untuk menjamu barang satu, dua, atau ribuan pasang mata. seni peran adalah persoalan membahas pengombinasian harapan sesuai citra diri sejati

kau tahu?
kau bukannya punya kuasa untuk menjadi dirimu sendiri.
ternyata kita tak berbicara soal kuasa
tapi itulah hakikat:
yang seiring babak
dipangkas menjadi hak.


Sabtu, 26 November 2016

a conversation

"Now, let yourself forget your past with him. I know you two had such a very great, lovable time, but now you have to struggle alone, and that's ok. Many people will come to your life. See? As simple as that."

"No." she sighed. "I've erased him and our past together since so long."

"Well, that's good! So?"

The woman looked her best friend right on her eyes, smiled bitterly. "But how could I erase something I want to be happened: he is more than a shadow on my past. He also occupy my future, all I can see is my time with him. Almost 70 % of my future imagination rely on him. You know, I think it takes very long time to erase that thing, longer, longer, longer than erasing your past. Past is accomplished things, and we never know how future will be ended. Future means never ending time; never ending space, and I hope it won't go alongside with my perishable thought of him."

Minggu, 20 November 2016

03.14



Kusaksikan matamu sayu dan agak hampa. Kau lelah mencintai, itu jelas. Kamu tampak selalu sedikit lebih sedih dari orang biasa, bahkan ketika kamu terlalu bahagia. Kegelapan sudah menjadi sifatmu, namun tak dinyana, sifat itu yang menarik manusia-manusia keluar dari langkan, bertanya-tanya, seperti apakah kau ini? Kau setia dalam sebuah emosi yang tabu, kau anggun dalam dukamu, bahkan kau atraktif dalam pandanganmu yang pesimis. Cakapmu adalah sebuah nada jujur, sinestesia yang memaknai kata. Hari-hari bersamamu tak pernah bosan, seperti cerita pengantar tidur yang hanya berujung lelap dalam sebuah buai.

                Aku selalu diam tak bersuara melihat pesonamu. Tak pernah mengakui, karena aku takut kau akan menjumpai, dibandingkan kekagumanku tentangmu; aku bukan apa-apa. Aku sempat yakin kau mencintaiku, tetapi kini aku takut itu hanya ilusi, sebelum aku menyakitimu terlanjur dalam dan setelah semua itu terjadi, tak ada yang tersisa. Dan boleh dikatakan, hal itu memang mewujud menjadi realita.

                Kau punya kemampuan untuk melihat rinai hujan yang berelasi dengan seringanan awan. Kau bisa melihat semesta tidak seperti orang-orang lain melihat semesta. Kau memiliki ketetapan rasa, dan aku paling iri dengan kemampuanmu yang satu itu. Kau tahu, aku takut dengan ketetapan. Aku takut dengan ketegasan. Aku takut dengan penolakan. Maka kau pun sepertinya tahu apa yang terjadi dengan ketakutan itu, segala hal jadi pergi.

                Selamat malam.


the more you sad, the more i love everything about you
November 2016

Jumat, 18 November 2016

Dari Kerabat hingga Kota yang Hebat: A Trip to Surabaya

"Surabaya, Surabaya, oh Surabaya...
... kota kenangan, kota kenangan, takkan terlupa .."

Meski saya tak berjumpa siapa-siapa di sana kecuali sahabat-sahabat baru yang sangat baik dan memberikan saya banyak pengalaman,  pelajaran, saya setuju: setiap kota indah, punya kekhasan masing-masing, dan ingatannya akan lebih lekang dalam sebuah lagu. Untuk kali ini, saya akan selalu terngiang lagu Surabaya versi Dara Puspita ketika saya teringat akan kota kenangan ini.

Oke... mari kita mulai kisahnya. Jadi, saya berkesempatan ke Surabaya untuk acara Sarasehan Jaringan Kekerabatan Antropologi Indonesia (JKAI). Acara yang sangat menarik, karena saya banyak berjumpa banyak teman-teman dari seluruh kota di Indonesia dari jurusan antropologi! Kami bersebelas: Alwan, Rugun, Ana, Okta, Liesta, Juan, Anggia, Ocal, Adi, dan Mujahid menjadi delegasi dalam acara ini. Kami berangkat dari Jogja pada hari Minggu, 6 November dan sampai di Surabaya Gubeng pukul 15.00, kemudian langsung bertemu Bayoghanta dan diajak halan-halan ke Universitas Airlangga.

Di Surabaya, kami berproses selama 7 hari penuh, walaupun rombongan Rugun, Muji, Liesta, Anggia, dan Juan harus pulang duluan pada hari Jumat. Agenda kami memang banyak terbuang untuk kongres, tapi kami melewati berbagai pengalaman menarik dan pemuasan gizi di sini. Mungkin karena saya lagi malas ngetik dan dua pos sebelumnya panjang-panjang semua jadi pembaca pasti bakal bosen ngeliat rentetan kata, saya akan sedikit curhat-curhat aja ya soal Surabaya!


Intinya, ketika baru sampai di Surabaya, saya dan anak yang bukan dari Surabaya adalah yang cukup banyak plonga-plongo, karena Surabaya 11 12 sama Jakarta tapiiii jalannya lebi lowong :) gak macet :) dan orang-orangnya pakai bahasa Jawa :) ada Bakmi A-Fung, Carl's Junior, dan mall-nya kayak Kelapa Gading, namanya Tunjungan Plaza, ada lima jilid. 


Kami diinapkan pada sebuah wisma bernama Islamic Center dan kamarnya enak, kasurnya tingkat, saya pun mendapatkan inspirasi untuk beli kasur tingkat nanti kalau dah punya rumah sendiri. Kami digabung dengan delegasi dari UB, alhasil langsung kenalan aja deh kita sama Vili, gadis Ambon yang ekspresif sekali dan Kak Ifa yang kalo lepas jilbab seksi (hehe).


Jadwalnya asik-asik. Hari pertama kita langsung diajak jalan-jalan ke Museum Kesehatan dr. Adhyatma atau lebih terkenal dengan Museum Kesehatan Surabaya. Isinya menarik banget! Karena membahas biokultur dan pengobatan di Indonesia sampai seluruh dunia, di museum ini sampai terbagi tiga segmen: kesehatan kultural, kesehatan alat-alat, dan kesehatan...... saya lupa. Di hari kedua sampai kelima, kami cuma kongres, kongres, kongres, dan kongres, 3 x 24 jam, Bro. Tapi AD/ART selesai dan Sekjen pun terpilih.  Pada hari Sabtu ketika hampir seluruh acara selesai, delegasi UGM dengan cueknya melanglang buana ke Situs Trowulan, tapi malah kejebak 6 jam di perjalanan karena ada jalan sehat 10.000 orang dan kami kelempar sampai ke Jombang (wakaka). Alhasil, kami gak ikut inisiasi deh :( Belum sampai di situ saja, hari Minggu kami nekat ke Madura, ke pantai, lalu balik ke Surabaya, ke Jalan Gula niatnya mau cari kota tuanya Surabaya. Eh, salah alamat :( jalan gula isinya gedung-gedung tua, tapi bukan yang monumental. Saya sendiri sedih karena gak sempat ke Hotel Yamato. sekarang namanya Hotel Majapahit, yang fenomenal itu. Candi Jalatunda juga harus luput, padahal sejak saya baca buku Manjali dan Cakrabirawa-nya Ayu Utami, saya pengeeeen banget ke sana.


Sebenarnya kalau ditanya, delegasi UGM ini kerjaannya jalan-jalan mulu, sih. Kita juga ke Toko Es Krim Zangrandi yang jual es krim enak, lalu ke C2O perpus yang oke banget, ke Carl's Jr, dan selalu beli makanan dan cemilan yang lebih banyak dari delegasi lainnya. 


Delegasi UGM!
kI-Ka: Muji, Alwan, Okta, Anggia, Shabia, Liesta, Ana, Rugun. Yang motoin Jvan



di Surabaya, emperannya cukup estetik dan ngingetin saya di sudut kota bagian Jakarta Pusat arah Utara. Pacenongan apa ya atau apa saya lupa. Yang jelas, banyak pedagang buah sampai majalah. Itu idung Juan. 


MUSEUM KESEHATAN! 


Herbarium, yang menurut saya menarik sekali.


Komodifikasi atau Inovasi?


foto aura tipe 3000 sebagai objek seluruh tubuh. Bapaknya sangat psychedelic jadi mi luvs 
Anggia dan proses penyunatan
kalau ini, Museum Etnografi Antro Unair.

koleksinya oke punya (thumbs up!)


i found many good books here. liek Bebetei Uma aja ada,
terus di rak penyewaan ada buku Centhini............ hu.

DVDNYA KENAPA BAGUS BETUL. ada mustache and beard dan silampukau.

sebuah cinta kasih bernama C2O 

Pantai Siring Kemuning :)

Jalan Gula, ini ada area pasar pagarnya berkarat tp estetik.
In frame: Ana


Masih di Jalan Gula.
In frame: Okta

Kugy?

Alwan dan Candi Brahu. Indah, indah, indah sekali! (candinya, bukan Alwannya)

Sisi lain dari Siring Kemuning.

Anak-anak, bermain.

Ada satu cerita yang pengen saya bagikan di sini. Saya jadi sayang sama Surabaya, soalnya banyak menemukan orang-orang inspiratif dan mereka semua mendalami ilmu antropologi. Dan banyak orang-orang hebat, pemikirannya prok prok banget pokoknya. Saya kenalan sama Gus Adhi (nama dia Ida Bagus Adhi, keturunan Brahmana) dan dia banyak menjelaskan ke saya soal tradisi di Bali, upacara-upacara, dan keinginan dia untuk mendalami post-modernisme. Saya juga ketemu Pace, yang sudah menginspirasi saya. Di hari di mana tiap delegasi maju presentasi makalah biokulturalnya, di akhir power point Pace, ia melampirkan gambar bendera Free West Papua. Saat punya kesempatan ngobrol sama dia, ternyata Pace baik sekali (awalnya saya kira Pace galak -- sebuah stigma yang tidak bagus, sebenarnya). Pace banyak menjelaskan tentang situasi di Papua, banyak nanya sama saya kebijakan apa yang patut menurut perspektif saya sebagai orang Indonesia dan dia juga bilang bahwa pendidikan memang sangat diperlukan. 

"Pergilah ke Papua," katanya. Saya langsung berkaca-kaca. "Pasti, Pace ... pasti." karena saya sendiri memang sangat ingin membaktikan diri untuk anak-anak yang membutuhkan saya sebagai Bu Guru :")

Di malam itu, Pace menyalakan lilin di hati saya yang mungkin sudah agak padam.

Selain Pace, ada juga Bang Hafis dan Bang Ade dari Andalas, yang banyak menjelaskan saya soal daerah asal masing-masing plus areal tempat mereka biasa melakukan etnografi, yakni tentang Minangkabau dan Mentawai. Ternyata mengambil antropologi memang banyak manfaatnya :-)



Saya dan Gus Adhi
KERABAAAAAT! love



makan es potong sebelum panas2an




Saya dan Pace :)


saya dan Alvon

DAN TIM TRAJET-nya ADI!
makasih untuk semuanya ya gengs i really had fun with y'all!


Selain itu, saya jadi banyak bercita-cita: 
Pertama, saya akan beli kasur tingkat sewaktu saya hidup bersama keluarga saya nanti. Banyak inspirasi muncul kalau tidur di atas. Kedua, saya akan bikin perpustakaan, saya akan mengumpulkan buku-buku dan mengarsipkan pelbagai surat cinta dari berbagai penulis serta perasa. Dan ketiga, saya menemukan keindahan sastra di atas kereta. Bahwa hidup bisa saja indah begitu saja, terima kasih Surabaya. :D




Rabu, 16 November 2016

jangan dibaca; ini buat saya.

begini saja rutinitasku:
bangun pagi dan melepas kantuk sembari menghapus sisa-sisa mimpi yang jarang sekali kuingat namun tetap kurasa aftertaste-nya, memaksa diri untuk mandi karena akhir-akhir ini Yogya dingin, kuliah, terkadang pergi dan pulang di kedai kopi tempat aku bekerja paruh-waktu, kemudian ngendon di kamar, menulis, mengetik, mendengarkan lagu, mengerjakan tugas, lalu tidur.


kadang enak saja begini, semuanya realistis, tak ada waktu untuk bermimpi. waktu mengalir dengan cepat dan aku produktif, tapi diam-diam aku jenuh dan kosong, hingga suatu saat; aku mendengar sebuah alarm yang sayup-sayup berbunyi, nadanya memeringatkan seperti dentang sebelum tsunami: hati-hati, sepi sedang menuju ke sini! lantas aku pun takut dan mulai introspeksi diri. kok mau-maunya sepi main ke sini, padahal aku tak mengharapkannya?


diam-diam wahyu datang, lamat-lamat aku tahu aku telah mematikan mimpiku. bodoh, ini karena seseorang pernah berkata padaku jangan berekspektasi terlalu tinggi, shabiatapi aku tolol karena mengikuti sarannya yang tolol, aku tidak hanya membunuh ekspektasiku tapi juga mimpi. untunglah masih ada mimpi-mimpi yang sakaratul maut dan masih bisa diselamatkan. sekarang mereka masih koma, tapi beberapa sudah mulai pulih, aku sedang mengontak rumah sakit sistem internal emosi seorang Shabia Nur Asla untuk menyembuhkan mereka. katanya, mereka akan berusaha yang terbaik.


pada akhirnya aku sadar, aku kurang menikmati dan menghargai hidup. kini tambah tiga rutinitasku: melamun, galau, dan memaksimalkan. aku dapati diriku dalam mode pesawat terbang kapanpun aku berada dalam kesendirian dalam pergerakanku: jalan kaki sendiri, lari pagi sendiri, bahkan naik motor sendiri. pernah satu ketika aku tak sadar nyetir malam-malam dan berujung di masjid kampus UGM padahal sudah jam 11 malam. aku tidak melulu melamunkan cinta (yang mana aku bersyukur), tapi sekarang topiknya lebih ngeri: diriku dan hidup.


tapi percayalah, dalam proses melamun itu, aku seperti merasakan orgasme. dalam pekikan nafsuku yang hening, aku menemukan refleksi-refleksi diri dan sebuah kedamaian, serta keinginan untuk merealisasikan sesuatu. ada yang berubah, memang: kini aku lebih sendu dan selalu sedikit lebih sedih. tapi dalam waktu yang sama, aku menemukan semangat. bukan semangat yang konstan, kadang ia masih gampang diredupkan, tapi, ya, ia sering hidup lagi, kok.


dan dalam galauku aku menemukan diriku yang dulu berkelindan pada sastra. aku mulai membeli buku puisi dan menulis banyak puisi lagi. aku mulai membaca blog-blog orang. aku mencari kebahagiaan dalam hal-hal kecil: kemarin ini aku main hujan, minum susu di balkon jemuran sambil melihat bulan, mencium bau-bau lapuk bukuku lagi, hal-hal aneh yang biasa aku lakukan sendirian, dulu, dulu, duluuuuu sekali. aku teringat aku ingin menyelami dunia spiritual dan seksual. aku menabung untuk beli Mahabharata dan Serat Centhini. aku kembali mendalami bebungaan.


dan yang terakhir, tentang memaksimalkan. dari seluruh rutinitasku, seringkali aku hanya mengerahkan 60 % dari usahaku untuk menikmati satu momen pada satu waktu. dan itu lah sebabnya aku sering kehilangan fenomena, bahkan manusia. aku tak ingin mengulangi kesalahan yang sama. maka aku mulai disiplin pada diriku sendiri. kesempatan datang, terjang!


maka jujur saja, walaupun aku belum cukup berani berkata bahwa hidupku bahagia, kujumpai akhir-akhir ini hidupku mulai berdinamika. kini aku telah memercayai ini: kadang sebuah perubahan akan memaknai pembelajaran, dan pada akhirnya semua akan indah. naif memang, tapi percayalah. indah memang ada.


membeli bunga mawar dan nyempil di lubang

satu buket (Awalnya) dinikmati sendiri

surga dunia sederhana:
rental buku dan dvd, peminjaman di bawah 2000.

ketika main hujan #1

ketika main hujan #2




Senin, 14 November 2016

Di Birai



Di birai pintu kita cuma punya waktu sekitar dua menit, sebelum sunyi hambar dan tumpah seperti susu basi.

Kau berbicara seolah-olah akhir tiada. Dan saban hari, Satre pernah berkata padaku bahwa akhir memang tak pernah ada. Kau ceritakan soal difabel yang mengkeret pada trotoar dimana fasilitas tak berpihak padanya. Dan kau ceritakan juga struktur pada tetes hujan, bahwa di dalamnya ada banyak air mata hewan, tumbuhan, manusia, bahkan Tuhan. Satu menit meriak, dan bahkan celotehmu belum mencapai refrain.

Hampir tiga puluh detik tersisa, sampai di kejauhan aku mulai mendengar ilalang dilibas purnama. Dan sebelum semuanya selesai, aku mengeluarkan setangkai lili putih, agak sedikit layu, namun bisa mengusir aura-aura kematian.


Tapi di birai di mana aku dan kau cuman punya dua menit, tak ada yang tersisa selain ketiadaan pintu, ketidaknyataan, sosokku, dan tanah merah. Lalu aku akan tahu bahwa masa penghabisan kita telah datang, sebab azan subuh telah berkumandang, menghapus sisa-sisa kabut makam pada dua menit di ujung hari itu.


ada hal-hal yang tak bisa dipisahkan bahkan oleh kematian
— Kereta Logawa, November 2016