Selasa, 24 Januari 2017

Pada Bantal di Malam Itu


malam ini
kutinggalkan sebaris puisi
pada bantalmu
sebelum kau lelap

sebab aku biasa mendengar dengkurmu
melalui dinding-dinding yang keropos
desahmu, penuh gelisah, air mata yang hening
disusul suara seprai yang kusut masai
karena mimpi buruk itu tak pernah ada yang usai

maka adakah kau temukan
sebaris puisi
pada bantalmu, sebelum kau lelap?

ah, tapi semestinya tak kuharap tinggi-tinggi
kau dan aku pun sadari
bukan aku, atau puisiku
yang kau inginkan
lelap pada bantalmu
yang merindukan sosok lain:
gema masa lalu

Minggu, 22 Januari 2017

Proyek #KhataminJakarta Part 2


HALO! KAPAN SAYA TERAKHIR NGEPOST POSTAN GAK GALAU? HEHEHEHEHE senang sekali kembali menulis catatan perjalanan, ombak-ombak senewen dan putus cinta telah lewat teman-teman, dan mumpung belum menyapu kembali yuk mari ikut saya nge-review beberapa tempat asyique yang jadi persinggahan saya dalam #KhataminJakarta kali ini. Lha, tulisannya udah macem presenter My Trip My Adventure aja yah.

Okay, jadi #KhataminJakarta saya kali ini seperti biasa diwarnai oleh kunjungan ke galeri-galeri di Jakarta, ka re na lagi banyak pameran! Untungnya, ada satu wisata produktif ke Glodok, agak melenceng dari rencana saya yang mau pelesir ke Pelabuhan Sunda Kelapa dan Pasar Baru. Tapi ndak apa-apa. Saya pun pada liburan ini memang jadi rada mageran dan mentingin ketemu konco-konco saya, bukan halan-halan.


Catatan Perjalanan kali ini mungkin akan singkat, karena seiring bertumbuhnya saya, saya makin mager nulis panjang-panjang. Saya makin paham kalau yang ngetik capek, yang baca juga capek. Ayo  lanjo0t.


1. RUCI's Joint / RUCI Art Space
(saya mau rambling dulu: saya agak sedih nulis proyek Khatamin Jakarta ini. Analisanya tidak menyeluruh karena ketika datang waktunya mevet mevet terus jadi maaf kalau kurang data, ya, teman-teman. Sing penting nulis, sek.)

berjudul "Tough Romance"

RUCI's Joint adalah sebuah joint atau tempat dengan kolektif ruang fungsional yang berlokasi di sebuah gedung di Jalan Suryo Blok S No. 49, Rawa Barat, Kebayoran Baru. UNTUK MENCAPAINYA! Silakan lewat rute Kemang mengarah ke Blok S, tapi jangan kaget, depan Ruci jalannya macet banget bro. Kalau gak tahan mending parkir di daerah Suryo 46 Coffee House, atau Ciniru, terus jalan kaki ke arah galerinya.

Saya sih langsung senang sama lokasinya. Karena Ruci Art Space berada di lantai dua, otomatis kami harus ngelewatin lantai satu dulu, di mana ada warung kopi Tuku. Ugh, harum kopi langsung menguar, dan kalau saya tidak teringat 80 ribu yang baru saja melayang hari sebelumnya karena pajak POND*K IN*DA M*LL sangat la keterlaluan, saya pasti sudah nyangsang di sana, nyesap kopi, karena katanya Kopi Gula Merah-nya Tuku emang enak. Hari itu, saya membuat mental note untuk nyobain ngopi di sini pas balik bulan depan.

Kembali ke tujuan awal, sebenarnya Smita yang pertama kali ajak ke Ruci, karena temannya merekomendasikan pameran yang tengah berlangsung. Saya juga sekali melihat upload-an salah seorang teman yang berkunjung ke Ruci dan buah karyanya memang (terlihat) bagus (kala itu). Alhasil saya, Brigitta, Smita, dan Shelly yang baru saja sleepover langsung berwisata ke sana.

Pameran yang tengah on-showing kala itu berjudul Tough Romance, karya Natisa Jones. Terdengar seperti seniman luar, tapi dia ini orang Indonesia, kok! (baru-baru ini saya baru tahu Natisa juga submit untuk pameran Bali Contemporary Art di LAF Garden Jogja). Di sini saya akan berbaik hati melampirkan secuplik tema besarnya:

"Tough romance refers to Natisa Jones's multifaceted relationship between the conscious self, external influences, and the inner child ..."

Melalui penjelasan ini, kita sedikit bisa menangkap bahwa "romance" yang dimaksud Natisa adalah diri anak-anak dalam diri kita yang seiring bertumbuh, harus berbentrokkan dengan dunia luar; "realita" yang keras; yang menghancurkan romantisme children-self itu sendiri. Di artwork-nya kita juga akan menemukan self-dialog figur-figur di dalam lukisan yang terlihat sedang contemplating things, kata-kata pertanyaan dan pernyataan yang pudar. Saya menangkap ciri khas Natisa tersemat pada  garis-garis linear yang tidak beraturan, tabrakan warna yang kuat, figur sureal, dan tulisan-tulisan pergulatan batin tadi.

sebuah lukisan karya Natisa

Brigitta berpose di depan kedua lukisan yang ada


Nah, menurut opini saya *ehem ehem* ada tiga artwork yang punctum studium-nya mengena untuk saya, yang pertama adalah All The Girls, kedua adalah sebuah gabungan lukisan dan display barang-barang Natisa yang telah di-"senifikasi" sedemikian rupa, dan ketiga, lukisan serial di bagian tengah ruang pameran.

All The Girls, beside me

zoom (up)

most favorite artwork #2

most favorite artwork #1

Intinya, sukak deh sama pamerannya Natisa. Gaya menggambarnya khas banget, gak bisa dibilang beraturan tapi ya gitu lah ya, seni kan bukan soal keteraturan (ya ela sok ngerti banget gue). Kalau untuk bangunannya sendiri, saya suka RUCI's Joint! (terlepas dari lokasinya yang di tengah-tengah kemacetan, yaa... ) S o a l n y a, di bawah ada kafe dengan interior yang unik dan adem, di galerinya, pencahayaan cukup bagus, sinar matahari masuk dengan leluasa ke sini. Mungkin kalau bertandang lain kali, kudu bawa kocek yang lebih mumpuni untuk mampir di Tuku.

2. #proyekbukumonyet Goes to Glodok!

Nah kalau yang ini ...

... impromptu sekali, saudara-saudara, percayalah. Awalnya, berangkat dari keinginan saya ke daerah Pecinan Jakarta karena tergiur sebuah page tentang Petak Sembilan dalam katalog sebuah maskapai penerbangan. Saya pun meniatkan ke Glodok, lalu ngajak Smita dan Wicak. Eh, yang satu gak bisa mendadak di hari itu dan satu lagi kesiangan bangun. Heu.

Akhirnya, saya malah ke Glodok sama Eston, sahabat semasa kecil saya yang baru muncul di idup saya lagi sekitar setaun yang lalu. HAHA. Emang kita aneh ...


Kemudian, berbekal kenekatan, berangkatlah kami berdua ke Glodok, naik motornya Eston! HEHEHE, pegel deh pantat saya. Tapi malah jadi asyik karena akhirnya bisa liat Jakarta lagi dengan terpapar angin kotanya langsung. Kami sampai di Glodok sekitar sebelum zuhur, dan begitu memasuki jalanan Petak Sembilan, langsung deh, situasi padat merayap. Di sana-sini banyak masyarakat berwajah Tionghoa yang sibuk lalu-lalang, berbelanja, atau sekadar berjalan.

PADAT MERAYAAAP

Suasana diwarnai merah, emas, dan kuning, menandakan Imlek akan berlangsung sebentar lagi. Perlengkapan Imlek seperti amplop angpao, koin emas yang besar, lampion-lampion merah, dus-dus berisi kue-kue dan permen khas Imlek bergelantungan di etalase. Ternyata hal-hal yang diulas di halaman jalan-jalan itu benar: bahwa kita akan banyak menangkap percakapan dilontarkan dalam bahasa Mandarin antara penjual dan pembeli. Sesekali, saya juga bisa menyium bau hio yang samar-samar (soalnya banyak orang di Glodok, jadi baunya kalah sama bau terik panas dan bau acem. Hiy!)

lamp (ion)

kuy dibeleee dibeleee

Bernuansa merah, emas, dan kuning. Ini amplop angpao, kan?

Masih merah, kuning, dan emas: cemilan.


Petak Sembilan menarik sekali, terutama toko-tokonya. Saya masih bisa melihat toko-toko yang selain  ditulis dalam huruf kanji Cina selain ditulis dalam huruf Latin. Nama toko-tokonya juga bernuansa Tiongkok. Bahkan Rumah Makan Padang Sepakat (namanya lucu hehehe) yang ngelayanin juga Kokoh Kokoh :))

salah satu plang toko obat
 Paling banyak berjejer di Petak Sembilan tak lain dan tak bukan adalah toko obat. Sayang sekali waktu itu saya dilanda kemageran untuk mengunjungi tokonya satu per satu, ngulik apa saja yang dijual dan nanya-nanya ke penjualnya. Katanya, sih, di dalam toko-toko ini kita juga akan menjumpai obat-obatan Cina, sebut saja yang paling terkenal arak Cina yang sakti bin mandraguna (teman saya pernah keseleo lalu digosok dengan arak itu langsung CLING, udah bisa jalan 15 menit kemudian. Mantap.) Selain toko-toko barang-barang imlek, toko obat, di sini juga banyak dijumpai toko dan etalase pinggir jalan yang menjual manisan. Semuanya disimpan dalam toples dengan isi yang berwarna-warni. Dari mulai permen (permen pedas, permen jeruk, permen susu kelinci yang bungkusnya bisa dimakan), coklat (coklat koin, coklat payung, coklat batang), kacang-kacangan (kacang mede, kacang biasa, kacang pedas), sumpia, abon, bahkan agar-agar yang bentuknya setengah bola. Hehehehe bikin lidah tergiur, euy. Andai saya membawa duit lebih banyak. Aduh, maaf banget ya teman-teman, waktu ke sini saya lagi mager banget, jadinya gak nanya-nanya ke penjualnya hal-hal bersifat antropologis tentang manisan ini. :( heu...

warna-warni sekali, ya!
(....... bikin diabetes, euy)

toko-toko di Pinggir Glodok

Dari Petak Sembilan, kami berbelok ke Gang Gloria. LANGSUNG DEH, semerbak bau mie, gorengan, bumbu, rempah-rempah, langsung menerabas indra penciuman saya. Enak sekaligus pengap (soalnya asep-asep makanan pada tabrakan di gang kecil tsb). Gang Gloria memang terkenal karena kuliner khas Chinese yang nyaris memenuhi toko-toko di pinggir gang. Jangan tanya saya soal babi, ya, soalnya kalau di tempat kayak gini saya udah pasrah gak cari-cari lagi soal kemurnian rasa HEHE. Ditambah, si Eston segitu parnonya sampe gamau makan di sini (NIH CONTOH KENAPA SAYA LEBIH SUKA JALAN-JALAN SENDIRI KE SUATU TEMPAT) jadinya saya gak bisa memberikan opini apa-apa soal rasa:( Saya penasaran pengen minum kopi di Kopi Es Tak Kie dan makan soto betawi di Soto Betawi A Fung. NAMUN, karena Eston parno tadi dan naasnya Tak Kie lagi tutup sementara A-Fung lagi penuh, saya gagal makan apapun di Gang Gloriaaaaaa:" #mewek

Soto Betawi A Fung, popularitasnya sudah tersohor.
salah satu penjaja makanan di Gang Gloria (eh, ibunya senyum...)

pengamen nih, kreatif ya, nuansa Chinesenya ttp ada:B

Untunglah, kami terselamatkan es potong yang juga ramai memenuhi setapak-setapak di Petak Sembilan. Untuk mencegah mood saya terjun bebas, saya dan Eston ngemil es krim seharga Rp 5.000,00 sembari berjalan ke parkiran. Ternyata asik, lho. Temen-temen harus jajal juga jalan-jalan di Glodok sambil ngemil es potong. Kata abangnya es potong juga laku banyak, apalagi pas dia diundang ke acara SMA di bilangan Jakarta Selatan *abangnya jadi curhat*. Gak perlu khawatir, ada rasa kacang ijo, kacang merah, coklat dan stroberi sebagai pilihan es potong ini.

mamam es potong. #haloEston

ini katanya kopinya juga enak :)

Dari Glodok menuju Kota Tua, di koridor depan ruko-ruko kita
akan menjumpai komunitas-komunitas pelukis.

malah sempet nyasar ke kantor pos di daerah Kota Tua, beli perangko, harganya 5ribu - 10ribu.
huwala huwala!


Meskipun kami gak sempat hunting kelenteng dan tidak mencicipi kuliner kecuali es potong (yang sebenarnya juga eksis di kawasan Kota Tua serta Jakarta bagian lain jadi sudah mainstream), saya rasa saya cukup puas ke sini. Tapi cukup jadi mental note aja, saya kudu balik ke sini buat nanya-nanya penjual dan orang-orang biar beneran jadi #proyekbukumonyet, serta membawa kocek berlebih untuk makan dengan lahap di Gang Gloria. Ada yang mau nemenin? HEHEHE.

3. Gudang Sarinah Ekosistem

Sebenarnya ini kali kedua saya berkunjung ke sini. Pertama kalinya saya ke Gudang Sarinah itu untuk ke acara Garage Sale-nya Ruru. HHE.

ini dia penampakan Gudang Sarinah Ekosistem beserta instalasi-instalasi di dalamnya

Dulu saya pernah punya hipotesis lokasi-lokasi pertunjukan musik atau pameran seni dewasa ini mulai menggunakan lokasi-lokasi alternatif atau bersejarah, sebut saja acara musik di Lokananta, Solo saban hari, dan Jakarta Biennale yang dilakukan di Gudang Sarinah setahun yang lalu. Gudang Sarinah dulunya adalah tempat penyimpanan bagi barang-barang koleksi Mal Sarinah, sebelum di-take over sama Ruru untuk dikembangkan sebagai tempat kreatif untuk ber-"pengalaman kesenian". Acara Ruang Rupa juga banyak yang digelar di sini, secara pengelolanya adalah Ade Darmawan, sang kreator Ruru sendiri.

Untuk mencapai Gudang Sarinah Ekosistem, sebenarnya agak ribet, karena teman-teman harus masuk-masuk ke dalam gang-gang Pangadegan Timur terlebih dahulu. Gudang Sarinah ini terletak di Jalan Pancoran Timur II No. 4 Jakarta Selatan. Kalau saya yang mengambil arah Jati Padang tinggal lewat Jl. Raya Pasar Minggu lalu melalui TMP Kalibata, sehabis itu cari Jalan Pancoran Timur dan sesudahnya pakai maps.

Okay, balik lagi, kali ini pameran yang digelar di Gudang Sarinah bertajuk "Sindikat Campursari (Mashup Syndicate)". Saya pertama kali liat posternya di Instagram, habis di-mention sama Ivan yang pada akhirnya malah nggak ikut pergi ke sana. Alhasil, baru Jumat 22 Januari lalu, saya, Smita, Tata, dan Vero mengunjungi eksibisi (sekaligus workshop namun sayangnya gak dihela pas kami ke sana) ini. Sindikat Campursari diselenggarakan oleh The Japan Foundation Asia Center, di mana partisipannya berasal dari berbagai latar belakang dalam penciptaan dan kolaborasi karya. Oleh karena itu proyek ini dianalogikan sebagai Campursari.

Kami sampai jam 11.00, makan siang terlebih dahulu (mie ayamnya recommended, sempatkan makan di sana, yha), kemudian baru deh masuk pas pintu besinya dibuka (hehehe kami pengunjung pertama, lho, hari itu).

Smita berpose di poster pameran yang dilukiskan ke dinding depan

Kalau saya sih gak nyesel! Emang pada dasarnya saya suka space alternatif, apalagi ini bentuknya gudang, jadi lantai semen dan langit-langit yang tinggi menurut saya malah menambah kesan industrial bagi pameran yang sedang berlangsung (jadi inget perhelatan tarinya Sardono Kusumo yang gak saya liat di Pabrik Colomadu, mungkin situasinya mirip-mirip kali ya.). Mungkin kedatangan kita jatuh di hari yang kurang, sehingga kita tidak bisa maksimal menikmati karya. Soalnya, karya Buka Warung yang berbentuk instalasi hanya bisa di-"jajal" ketika weekend.

Memasuki Gudang Sarinah, kita akan register di front desk pamerannya seperti biasa. Sticker dan brosur pun dikasih. Semuanya free alias gratis dan terbuka untuk umum, namanya juga pameran seni. Baru registrasi saja perhatian saya sudah tersita ke instalasi yang menggunakan banyak pasir di tengah-tengah gudang (/ruang pameran). Kemudian, jika mata teman-teman langsung terarah ke samping front desk, akan ada semacam photobooth beserta keranjang berisi pakaian, dan toples-toples duit.

"Ini apa Mas?" tanya saya waktu itu.
"Instalasi, Mbak. Karyanya Buka Warung. Itu ada di brosurnya," jawab mas-nya, dan di brosur tertulis Pijat Enaque, instalasi tato tempel, kepang, dan foto cantik. "Tapi cuman bisa pas weekend."

Yaaaah kecewa, deh. Padahal instalasi Buka Warung ini lucu kayaknya. Sedikit mengingatkan saya akan instalasi Pemurnian Seni pas Jakarta Biennale (temen2 Jogja pasti tau, deh.) yang mengombinasikan partisipasi dan eksperimentasi seni dalam menghidupkan sebuah makna. Kalau dari penjelasan saya teman-teman bisa nangkep gak? Tak lain dan tak bukan, instalasi yang dihadirkan Buka Warung adalah atraksi yang akan teman-teman dapati di banyak pantai wisata. Setelah itu, kami berjalan ke instalasi lain.

Ubur-uburnya juga salah satu karya seniman, lho. Tapi saya agak lupa maknanya apa :))

Pijat Enaque, kalo pas weekend beneran dipijat lho! (ket: ini di luar boks)

Pijat Enaque! (ini di dalam box)

sandy, sandy


Ada tiga karya yang paling saya suka dari pameran Sindikat Campursari ini. Yang pertama, tentu saja instalasinya Buka Warung (meskipun gak bisa kita pergunakan secara maksimal hari itu, heu.), Kedua Menukar Ingatannya Erika Ernawan, yang berkonsentrasi pada gelas sebagai wadah dari emosi dan memori yang tercermin pada air di dalamnya. Konsepnya lucu sekali, kita diajak untuk meninggalkan barang kenangan dan menukarnya dengan meminum air dan membawa pulang gelas yang sudah kosong.  dan yang ketiga, saya jujur lupa namanya, tapi instalasi juga (ada di foto ketiga dan keempat setelah paragraf ini). Seingat saya, sang seniman mengumpulkan material-material yang dihancurkannya dari bangunan-bangunan yang telah digusur kemudian dijadikan bahan untuk melukis anak-anak. Saya sendiri menghayati hal ini sebagai proses rekonstruksi pembangunan, bukan melalui konstruk bangunan, tapi kreativitas anak-anak. Semua karya kesukaan ini maknanya dalam, saya suka. Kemudian, setelah puas melihat-lihat, kami pun pulang. Mas-mas front desk mencegat kami dulu dan memberikan bungkusan coklat berupa koran dari Japan Foundation dan katalog pameran. Senang selika~

Dan j a n g a n l u p a untuk kepoin @gudangsarinah di Instagram buat melihat acara apa yang diselenggarakan di sana, ATAU +ruangrupa jakarta, juga di Instagram.

"Menukar Ingatan"

tuh, liat gak barang hasil barternya?


beda warna, beda cerita, beda perjuangan, beda titik keringat sebelanga, beda rasa ...

Tata, berkontemplasi.


ayo main prosotan di pinggir pantai,
TIATI Pagar Makan Tanaman!

Lanjutan karya rekonstruksi pasir: kreativitas anak-anak

Favorit ke #4, "Cur" hasil dari tangan seniman Vietnam

Vietnam, identik dengan kopi bukan?
Instalasi ini bercerita tentang perjalanan secangkir kopi yang melalui proses yang berbeda-beda, ada yang masih ditumbuk, digrind secara manual, bahkan ada mesin grind yang sudah modern.

Ni dia!
Sayang sekali saya gak sempat ngebrew kopi sendiri :"


Sayang deh sama Gudang Sarinah. Apalagi tempatnya gak terlalu jauh dari rumah. Denger-denger, pas Holymarket-nya RuRu, salah satu kios cukil bilang sama saya mau buka kelas di Gudang Sarinah, tapi kok saya gak liat ya kemarin-kemarin? Berharap sekali Gudang Sarinah benar-benar bisa digubah menjadi sebuah wahana kreatif untuk seniman dan penikmat seni, semakin mewadahi dan bisa dinikmati. Cheers!

Hayo
Smita dimana
Shabia dimana
Tata dimana
Vero dimana


HUFT, okay, jadi saya rasa cukup segitu dulu, yha. Bisa mati jari saya disuruh lari-lari mulu. Sebenarnya sehabis ketiga tempat ini, saya pun masih jalan-jalan ke Galeri Nasional buat ngeliat Pameran Ways of Clay, tapi saya males ngetik HYEHYEHYEHYE, kalau niat saya terkumpul mungkin akan saya buat tulisan tentang pameran itu. Tapi sekarang cukup segini dulu, ya?


Ok, baiklah, semoga tulisan #KhataminJakarta ini bisa jadi inspirasi jalan-jalan temen-temen semua, selamat berlibur :)



Selasa, 03 Januari 2017

H11, 12



Kuharap kamu tidak keberatan aku terus-terusan membuat kata puitis untukmu, meski aku tahu kamu tidak akan pernah semenye diriku. Apa yang kita lalui akhir-akhir ini, semoga itu juga bermakna untukmu. Apapun itu. Bagaimana pun itu. Aku tak tahu. Aku terlalu pengecut untuk memberi ucapan ini untukmu karena lagi-lagi, kau tidak semenye diriku dan aku tidak tahu sampai sebesar mana kamu menghargai puisi, kata-kata puitis, atau prosa. Aku hanya ingin bilang aku senang bermain denganmu! Kau membuat aku bahagia dengan caramu sendiri, meski bagaimana pun aku akan menjadi gadis penuh melankolia (tapi itu urusanku), namun dengan bersamamu, rasa takut itu memang memudar, meski tak pernah benar-benar hilang. Tidak apa-apa. Aku sudah menurunkan definisi bahagiaku.


Tak ada yang romantis dari hubungan kita. Dua anak manusia yang biasa-biasa saja, dengan hubungan yang tak jelas mau dibawa kemana, tapi tak apa, kita masih punya banyak waktu untuk melaluinya, dengan sejumlah karya, sejumlah rencana ... sepercik harapan, bolehkah? Tidak banyak-banyak. Dan tentu saja, selesap rasa. Kalau tentang itu, kita berdua sama-sama tahu.