Senin, 26 Juni 2017

Tentang Kesuksesan

Pemahaman dan kekaguman selalu sejalan dengan malam, itu yang saya simpulkan beberapa bulan terakhir ini. Beberapa bulan terakhir saya banyak mengalami kontemplasi sekaligus mendapat insights, termasuk ketika saya melihat teman-teman saya tumbuh, berkembang dengan cara mereka sendiri, membuat jalan untuk keluar dari masalah mereka sendiri, hingga sampai pada suatu kesuksesan.


Setiap manusia diciptakan dengan berbagai bekal: hobi, passion, kesempatan, belum lagi jika dikaitkan dengan kondisi finansial dan budaya, dan seterusnya, dan seterusnya. Dan saya takjub sekali, di usia saya yang 18 tahun ini, saya banyak melihat orang-orang hebat di sekeliling saya yang mulai merambah jalan untuk meraih mimpinya. Jalan mereka sangat berbeda-beda: ada teman saya yang sangat enjoy di bidang politik kampus. Ada yang enjoy membaktikan diri sebagai penulis cerpen. Ada yang menceburkan diri dalam model PBB dalam kancah internasional. Ada yang fokus teater. Apapun itu, mereka tampak sangat menikmati dan fokus dengan apa yang mereka kerjakan.


Saya selalu merasa terlahir dengan banyak passion dan kemampuan adalah sebuah anugerah. Anugerah ketika saya bisa menggunakannya untuk diri saya. Tapi, saya tidak mempertimbangkan hal lain. Banyaknya passion dan kemampuan saya telah membawa sedikit bencana untuk saya--yang plinplan bagaimana saya akan memfokuskan passion saya sejalan dengan cita-cita saya.


Saya pernah diberitahu seorang kawan saya yang bertutur seperti ini. "Kamu mau sampai kapan berjalan terus, Shab? Nyoba banyak hal. Nggak puas. Beralih ke hal lain. Gak pernah mendalami hal-hal khusus selama beberapa saat. Suatu hari kamu bakal menyadari, kamu emang dapet sesuatu. Tapi di sisi lain, kamu juga sadar, ada beberapa waktu yang gak kamu gunain maksimal untuk memfokuskan pada sesuatu."


Saya terdiam waktu itu. Kemudian beberapa hari terakhir ini, saya nge-trace back apa yang saya inginkan dari dulu. Dua hal yang saya inginkan di masa depan saya: menjadi guru dan menjadi penulis. Apa yang sudah saya lakukan? Saya belum pernah mengirimkan karya apapun ke media cetak. Saya hanya sebatas nulis blog dan fanfiction, kumpulan status yang menuai likes banyak tapi tentu, tiga hal ini bukanlah pertanda sebuah titel "penulis" saya sandang dengan mumpuni. Guru? Saya mengajar di Project Child dan FIB Mengajar. Tapi saya tidak maksimal di kedua hal itu tahun lalu, karena saya sibuk kepanitiaan.


Kalau saya bertanya kepada seseorang, satu kata yang melambangkan Shabia?

Artsy. Aneh. Antro.

Tapi saya tak pernah mendengar penulis atau guru. Padahal saya ingin kedua hal tersebut setidaknya ada di diri saya. Lalu apa hubungannya dengan kesuksesan? Karena bagi saya, kesuksesan pada akhirnya melabuh pada terkabulnya hasrat saya untuk menulis dan mengajar. Saya belum sukses. Masih jauh sekali. Tapi yang lebih buruk, saya juga belum mengarahkan jalan saya ke arah kesuksesan yang seperti itu. Saya malah melenceng ke seni dan event organizer. Sebenarnya tak apa, tapi mau sampai kapan?
.
.
.
Entah sejak kapan saya resah, tapi beberapa bulan yang lalu, saya kembali mengintip blog salah satu guru panutan saya, rosadahlia.blogspot.com. Kak Rosa, yang mengajar di Papua. Saya juga telah ke Gramedia hari ini, mengantongi buku Sokola Rimba dan saya berniat untuk menamatkannya.

Saya bertekad: tahun ini saya harus fokus pada dua hal. Nulis dan ngajar. Saya dengan sedih menolak beberapa tawaran yang sangat dilematis bagi saya. Dan saya berharap, dengan waktu saya yang lebih luang, saya bisa menamatkan novel saya yang stuck di bab dua, bisa mulai ngasih-ngasih tulisan saya ke beberapa media online, dan fokus mengajar di PCI dan FIB Mengajar!


Yah ... Bismillahirrahmanirrahim. Saya juga berharap kalian semua berhasil membuat jalan masing-masing untuk menggapai cita-cita, ya! :)


Senin, 12 Juni 2017

Tentang Pertemanan



sebagian dari "Budak Nakal"

surprise Shabia, 18 tahun, pasca-putus

Ciwi-ciwi Newsies + beberapa cowo
Graduation bersama Kakak-kakak Lelakiku

sebagian dari "Smiveshaby"
.
.
.
saya terlalu lama nulis hal-hal berbau soal cinta, sampe saya sendiri suka lupa saya ini anak gadis yang juga suka bersosialisasi, ketemu banyak orang, beberapa jadi kawan, dan kelak akan memaknai pertemanan serta persahabatan di sekeliling saya.

Sejujurnya, beberapa hari yang lalu saya pernah cukup putus asa menyadari saya benar-benar gak punya satu orang pun yang saya percayai untuk di-emotional bonding-in sampe ngejalanin sesuatunya hampir selalu sama dia, terus orang ini bakal jadi orang pertama yang tahu tentang kabar suka atau kabar duka dari saya.

Saya pernah loh bingung banget mau cerita saya patah hati banget soal cowok ke siapa, saya juga pernah bingung mau ngasihtau kabar gembira tentang tulisan saya ke siapa waktu itu. Agak aneh, karena dulu saya adalah orang yang langsung tau akan chat siapa kalau lagi suka dan duka.

Saya berpikiran untuk memetakan hubungan pertemanan saya: siapa yang benar-benar sahabat, siapa yang teman curhat, siapa yang teman asik, siapa yang teman biasa, teman satu circle, luar circle, tapi saya makin menyadari dengan ngeri: masa teman dikategorikan? emang relasi pertemanan itu bisa diteorikan, begitu? saya gak mau saya sampe seteknis itu. Saya masih percaya pertemanan itu pakai rasa, bukan logika.
.
.
.
Seiring saya tumbuh dewasa, saya pun juga semakin sadar bahwa suatu hubungan bisa dilandaskan sebagai hubungan persahabatan ketika kamu bisa melepas kecanggungan, tetap merasa intim secara kualitas, bukan kuantitas, dan yang terpenting: kamu punya rasa sayang yang cukup buat sahabatan sama nih orang.


Rasa sayang kepada sahabat itu bisa berbeda-beda.


Ada tipe sahabat di mana salah satu subjeknya ngasih perhatian 24/7 sama sahabatnya yang satu lagi. Ada yang kasih hadiah-hadiah kecil buat menyenangkan lawan sahabatnya. Ada yang selalu datang di momen-momen selebrasi: pas sahabatnya mau pergi ke luar negeri, pas sahabatnya sakit, pas sahabatnya tampil di panggung. Ada yang lebih ke kasih emotional support kapan pun itu, bisa via chat, via telpon, atau langsung... ada yang nemenin ngobrol sampe subuh dan gak ngerasa cukup. Banyak cara. Banyak ekspresi.


Tadinya, saya sendiri membandingkan persahabatan saya sendiri dengan sahabat-sahabat saya dan membandingkannya dengan tipe persahabatan saya dengan orang lain. Tapi saya sadar. Sahabat saya punya cara sendiri dan terbilang gak kelihatan untuk mengekspresikan rasa sayang sebagai sahabat kepada saya.


Saya punya sahabat yang ngasih kasih sayangnya dengan memberikan saya bunga ketika saya patah hati. Ada juga yang sering dateng ke kamar saya, kasih makanan. Ada yang ngasih support lewat chat, sering forward info-info penting soal mimpi saya. Ada yang sering bilang kangen. Ada yang suka muji tulisan saya dan keep in touch sama blog saya. Beda-beda. Satu hal yang pasti, ada beberapa perlakuan dari mereka yang selalu saya rasakan dalam hati, mereka sayang sama saya.


Jadi akhirnya saya tahu, seorang sahabat yang baik adalah seorang sahabat yang bisa mengekspresikan rasa sayangnya untuk cukup diketahui orang yang dia sayang, bahwa ia sayang sama orang ini.  Bukan diketahui, lebih tepatnya. Tetapi dirasa. Sekilas seorang sahabat yang nampar kamu tapi cuman biar kamu sadar kamu dipeduliin sama dia, rasa sayangnya pasti kerasa banget kan?


Ini pun sekaligus memberikan saran ke saya. Kelak saya lebih ingin jadi sahabat yang baik, at least gak perlu kasih 24/7 dalam waktu saya, tapi seminggu kencan ada lah 1-2 kali, bisa dengan makan bareng or hangout bareng. Saya juga pengen menggali mereka lebih dalam, mendengarkan cerita mereka lebih banyak lagi, masih berhubungan dengan post blog yang sebelumnya.


Karena kalau dipikir-pikir, saya termasuk tipikal orang yang rela kok ngebantuin sahabat saya kapanpun dibilangin, dan saya yang paling kepikiran kalo ada konflik sama sahabat-sahabat saya.


Saya sayang banget sama sahabat-sahabat saya,
dan berharap rasa sayang ini cukup terproyeksi supaya mereka betah berproses bersama saya.