Kamis, 02 November 2017

aduh



Aku menjalani hidupku akhir-akhir ini sebagai sepotong kentang beku di tengah-tengah swalayan; menunggu untuk jatuh ke lantai dingin dan merasa tak berharga.

Tapi pada akhirnya, malam ini aku menangis. Dan rasanya lega sekali. Orang bilang mereka takut menghadapi kesedihan, tapi aku malah menanti-nantinya. Aku sudah lama tidak merasakan emosi yang dalam dan melankolis – hidupku akhir-akhir ini hanya berupa serangkaian kode etik yang memaksaku untuk terus bergerak dan berinteraksi dengan orang-orang yang bahkan tak terlalu kuanggap sanak. Aku lelah di dalam hati. Aku rindu kesedihan dan kegelisahan yang bercokol dalam relung jiwaku dan menstimulasi rasa puitisku. Aku sebegitu kangennya melarikan jemariku dalam situasi yang genting: tatkala sebuah rasa menuntut untuk disuarakan ke dalam untaian kata.

Mungkin malam ini adalah kulminasi dari stres yang kupendam hingga ke alam bawah sadar. Kopi lah pemicunya. Sebuah cold brew dan berita tentang keberhasilan orang-orang hebat, yang tak lain adalah teman-temanku. Mau jadi apa aku ini? Aku hanyalah sebongkah tubuh perempuan berlekuk yang berlemak di sana-sini yang terlihat cerdas dan seksi tapi aku tak lebih dari orang yang sering demotivasi, tak setia kawan, terlalu problematik, punya banyak wacana, tidak bisa membuat determinasi, dan masih banyak lagi. Aku tak punya masa depan. Aku tak punya harapan. Perjuanganku tidak cukup. Aku sampah. Aku sampah. Aku takut. Aku takut jatuh dan tidak punya kekuatan untuk menjulang kembali.

Betapa pikiranku kembali berisik dengan rasa cemas. Akankah hidupku lebih baik dari ini? Akankah diriku menjemput sesuatu yang bisa membuatku lebih bersinar lagi? Ketakutan sebenarnya lebih kompleks, tapi aku takkan terlalu menuangkannya dengan gamblang dalam tulisanku ini. Akhir-akhir ini aku juga mengingatkan diri untuk tidak terlalu publik. Publik itu mengerikan, kau tahu.

Tapi ketahuilah, setelah kecemasanku berkurang dan pikiranku yang berisik jadi berubah menjadi rangkaian bisik-bisik, aku mendapati rasa syukur dan kelegaan kembali merayapi diriku. Aku senang aku cemas. Berarti aku masih punya rasa untuk masa depanku. Setidaknya aku tidak menjadi kentang di swalayan yang menunggu untuk dijatuhkan. Sekarang aku kecoak yang masuk dalam pembuangan rahasia di swalayan yang sering mengganggu kentang-kentang tadi.