Ratus kali hamba lupa
Padahal rizki-Mu limpah segala
Tiada habis ia mewarta
Tak juga ku tadahkan tangan
Juta kali hamba berserapah
Tak sikit pun ucap hamdalah
Atas netra yang masih mampu berproyeksi
Atas wicara yang masih bisa bermelodi
Malah keluh kesah yang hamba rajang:
“Aduh Gusti, ini masih kurang!”
Hikmah-Mu datang perlahan
Saat yang limpah segala kini remang tak bersisa
Saat gemuruh cobaan hempas raga hamba
Menuju samudera tanpa harsa—
Yang ada hanya sengsara
Hikmah-Mu datang perlahan
Tatkala paras hamba tundukkan
Menelangsa sesal tiada guna
Malah kau buka kelopak yang selama ini menutup
Malah kau tengadahkan telapak yang selama ini
telungkup
Katamu: “Masih ada jalan”
Lalu sesederhana itu
Aku muntab
S.N.A
// 4:23 // sudut ungu selepas Ashar
.
.
.
Apa yang tertulis di atas bukanlah keseluruhan yang aku
rasakan Ramadhan ini.
.
.
.
.
.
.
Malam ini aku tepekur. Sendirian di dalam kegelapan
kamar, meminta izin kepada saudara-saudara di ruang depan sana—Bia ingin merenung, kataku. Biar saja
mereka tertawa. Tapi toh tak ada yang melarang.
Saat sudah sendiri, kulakukan kilas balik ke 30 hari
yang sudah kulewati dalam rangkulan Ramadhan ini.
Aku berefleksi.
Ya
Khalik, apa yang telah aku lakukan, ya, selama sebulan ini?
Jawaban kosong menyahuti. Memang tak ada yang perlu
dijawab, karena nurani telah tahu di dalam sanubari. Ramadhan ini, seperti yang
sudah-sudah—masih sama. Dalam banyak hal. Tapi ada satu hal, satu hal yang
umpama bara api yang menempel di sudut-sudut rerantingan; memang mungil
rupanya, tapi hanya dalam satu sengatan ia bisa membuat ranting itu terbakar.
Pada Ramadhan ini, aku ditampar.
Tidak. Adalah sebuah wacana munafik apabila aku
berkata: YA TEMAN-TEMAN! LEBARAN INI AKU TERLAHIR KEMBALI! MARI SEMUANYA MULAI
DARI NOL LAGI!
Aku tidak sehipokrit itu. Ditambah, aku tidak sesuci itu.
Mereka yang reinkarnasi dan lepas dari samsara tentulah mereka yang bukan hanya
mengalami tamparan layaknya aku, tetapi ditendang. Benar-benar ditendang sampai
terjungkang, sudah itu masih terguling dan mengonggok di jurang. Namun nyawanya
enggan merenggang. Kesengsaraan abadi.
Mari beralih ke topik utama, aku tak akan membuang kata. jadi, ini ceritanya:
Malam itu adalah malam yang biasa. Namun sejak
Maghrib menjelang, dorongan hatiku untuk menunaikan Tarawih (yang memang belum
kulakukan sejak awal puasa) terasa sangat kuat. Sempat terselip rasa segan
karena tak ada teman yang mengiringiku. Tapi kupikir, untuk apa ditemani.
Alasanku klise sekali.
Maka aku berangkat. Shalat. Bersama jamaah lainnya.
Hari itu hujan, gerimis, seakan Allah menjahili hamba-Nya yang sering tergoda
oleh nafsu duniawi ini. Tapi tidak, aku menggeleng ketika tetes pertama membuat
wajahku tercoreng. Aku harus tarawih,
setidaknya sekali.
Lalu, ya, sampai juga aku di surau yang sepi. Dan
setelah beberapa jamaah telah memadati saf,
aku mendengar keresak mik dibetulkan oleh imam.
(OH ya, aku tarawih sehabis membaca Rembulan Tenggelam di Wajahmu, sebuah
karya Tere Liye ttg kehidupan, indah sekali. Nanti akan kuceritakan.)
Kemudian azan Isya berkumandang.
… apa yang terjadi setelahnya benar-benar membuatku
malu. Aku menggigil. Seperti layaknya Umar bin Khatab membaca naskah yang ia
kira surat—ternyata penggalan ayat Al-Quran. Aku menggigil mendengar azan itu.
Ya
Khalik, kapan terakhir kali aku shalat jamaah dan merasa sendiri?
Tetes air mata pertamaku jatuh ke mukena. (sumpah,
aku tidak bermajas hiperbola. Aku sungguh, sungguh, sungguh, mengalami hal
ini.) aku menahan isakan. INI YANG AKU CARI! Ini. Tetes air mata kedua, ketiga,
keempat menyusul. Kuusap tak kentara, lalu aku menoleh kepada barisan saf di
kanan-kiri mereka.
Mereka semua—adalah saudaraku. Mereka adalah muslimin
dan muslimah, yang, sedang menabung kebaikan kala itu di surau, sepertiku.
Hari itu aku ditampar. Tuhan menjawab rinduku yang
selama ini aku tak tahu harus lampiaskan ke siapa.
Ya
ayyatuhan nafsul mutmainnah, Irji’ I ila Rabbiki radiyatam mardiyyah.
Wahai
jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhamu dengan ridha dan diridhai. (QS Al
Fajr: 27 – 28)
(Aku ridha, Ya Allah, dan semoga aku juga diridhai
Mu.)
Malam itu, aku bertahan hingga Imam mengucap tahlil.
.
.
.
Lalu, kini.
30/30. Syawal yang lain. Ramadhan-ku belum sempurna. Tapi ia telah pergi. Aku tak mau munafik: aku masih bau kencur. Kejadian di atas hanya sentilan sentilun, aku masih butuh yang banyak yang seperti itu. Bisa jadi, sehabis aku menulis ini aku kembali lupa, lalu berubah menjadi manusia merugi—lagi.
30/30. Syawal yang lain. Ramadhan-ku belum sempurna. Tapi ia telah pergi. Aku tak mau munafik: aku masih bau kencur. Kejadian di atas hanya sentilan sentilun, aku masih butuh yang banyak yang seperti itu. Bisa jadi, sehabis aku menulis ini aku kembali lupa, lalu berubah menjadi manusia merugi—lagi.
(Tapi aku mau bersyukur.)
Malam ini aku tepekur.
Setelah setengah jam yang lalu baru saja kukayuh
sepeda keliling kampung. Khusus untuk melihat bocah-bocah main petasan. Menabuh
gendang takbiran, bersuara keras meneriakkan takbir seakan Tuhan tak mendengar
yang pelan. Lalu Mendengar gema itu
tergaung di mana-mana, lafadz kebesaran Allah.
Malam ini aku tepekur. Masih banyak yang harus
kuperbaiki. Shalat tak boleh bolong. Al-Quran harus khatam. Ramadhan yang akan
datang, harus kujemput Lailatur Qadar. Dan masih banyak lagi, dan masih banyak
lagi.
Sehabis ini, aku akan menyalakan lampu. Kembali
bercanda bersama saudara-saudaraku, bermain letupan bersama-sama (oh ya, itu
euforia yang lain lagi).
Satu kesimpulan: Ramadhan ini, memang aku belum dalam
tahap reinkarnasi. Aku masih kotor. Tapi Allah, Allah telah membuka mataku atas
apa yang selama ini kucari: Islam itu
indah, Shabia. Kamu tidak perlu merasa kesepian. Pergilah ke masjid, shalatlah,
lalu selesai shalat tengok kanan dan kiri. Salami mereka dengan tulus. Mereka
saudara saudarimu. Aku tak perlu reinkarnasi. Aku hanya meminta kepada
Allah, sering-seringlah menamparku seperti ini.
10:13. Aku masih duduk tepekur. Takbir masih tertutur
di luar sana.
(Kubaca ulang dari awal. Ah, lagi-lagi, apa yang
kutulis memang tidak mewakili apa yang kurasakan secara menyeluruh. Biar saja
lah. Waktuku sudah habis tepekur di sini.)
Akan kunyalakan lampu, dan semoga esok hari ketika
kubaca kembali entri berikut, diriku yang ‘ini’ masih terpatri. (karena memang
tujuannya aku mempublikasi ini)
Sampai berjumpa lagi. Dan Oh, mohon maaf apabila
selama ini hamba terlalu melankonli dan banyak omong kosong :)
.
.
.
(PHET! Lampu
nyala.)
Minal
Aidin Wal Faizin.
(Semoga
kisah ini bisa menginspirasi)