Papandayan
telah mengajarkan saya banyak hal. Banyak sekali.
Pertama-tama,
halo teman! Udah lama gak post seputar pengalaman ya :)) Setelah berhibernasi
dari udara ancala selama hampir … coba kita lihat, berapa bulan terentang
antara Juli hingga April? Okay, 9
bulan—akhirnya saya kembali mencecap kemewahan udara bersih di gunung, dan
gunung itu adala Papandayan :)
P A P A N D A Y A N |
Hari
itu tanggal 17 April. Dua hari seusai UN. Saya, Dinta, Marissa, Kenny, Eka,
Jose, Nono, Raka Hutomo, Raka Pranaya, dan Nono memang sudah merencanakan akan
naik Papandayan sejak sebulan yang lalu. Dan, saya nekad. Walau Mama melarang
saya naik gunung sebelum menunaikan SBMPTN dan Ujian Mandiri, saya sudah bandel
menyiapkan segala hal untuk naik, dan baru mengabari di saat terakhir dengan surat
singkat (yang mana, merupakan benang awal malapetaka nanti. Hehe)
Maka
berangkat lah kami ber-10 hari itu menggunakan Bus Primajasa dari Cililitan!
Perjalanan cukup panjang sehingga bikin pantat saya pegel dan rada encok di
bagian leher, belum lagi rasa laper karena lupa beli ganyeman, 5 Jam akhirnya mengantar kami ke Terminal Garut. Dan
tanpa ba-bi-bu lagi (kecuali intermezzo
kecil yang tolol: ada tukang dodol maksa nawarin dodol, nama dodolnya Dick. Nama.
Dodolnya. Dick. DICK. Dodol kan panjang dan … oke, cukup lol.), kami segera
turun, nyari charter-an angkot, dan yuhuuu!
Kami meluncur menuju kaki Gunung Papandayan J
full cream in angkot |
Di
kaki gunung, saya dan teman-teman yang lain sempet ke warteg untuk beli
perbekalan dan makan siang yang sudah telat beberapa jam dari jam normal. Setelah
re-packing, kami pun melanjutkan
perjalanan dengan cara … NYARTER PICKUP! Wihi!
Tapi,
serius loh—saya paling suka naik pickup.
Mungkin perasaan naik pickup akan tergantikan hanya dengan perasaan naik
landrover HAHAHA. Mungkin rasanya 11 12 sama naik mobil hedona atap terbuka,
dan waktu naik pickup saya bisa liat berbagai pemandangan, merasakan mountain breeze, sampe akhirnya saya
berdiri khusus buat nyangklong di atep
kabin (ceile kabin) depan, padahal jalannya ju gi ja gi jug.
Singkat
kata, setelah kita melewati gardu pendaftaran yang kayak pos satpam, dan
membayar Rp 5000, kami pun dibawa pickup sebentar, terus berhenti, dan dari
sana kami ke Camp David untuk pemanasan
dan buang air.
Nyampe
Camp David, saya kaget.
Kok…
Rame
banget …
Hehe, ternyata Papandayan sudah biasa ramai kalau hari
Jumat. Tapi, menurut Eka, itu termasuk sepi, loh! Pengunjung Papandayan bisa
membludak kalo emang lagi musimnya.
Setelah
pemanasan, akhirnya kami memutuskan untuk segera memulai perjalanan. Dan, wuoh,
Bro, kita mulai jalan itu sekitar pukul 16.15 WIB. Tipis sekali waktu yang
tersisa untuk mencapai tempat camping sebelum
gelap meraja, tetapi saya toh mikir gak ada gunanya dipikirin dulu capeknya
gimana, jadi ya sudah, jalani saja.
Dan
sekedar curhat sejenak, saya tuh benciiii banget sama kapasitas jasmani saya
yang lemah banget kalau disuruh adaptasi.
Jadi
begini. Saya gak tau apa hukum dan teori ini berlaku di gunung dengan
ketinggian yang tidak berlebihan seperti Papandayan, tapi sejak saya mendaki di
Merbabu, lalu Papandayan, saya sudah menemukan kelemahan saya: yaitu
menyesuaikan diri untuk pertama kali. Entah beradaptasi dengan kontur, suhu,
ataupun sekedar keletihan yang leluasa merangsang. Kalau gak salah (berarti
bener), nama penyesuaian ini aklimatisasi. Dan berarti, aklimatisasi saya itu
lamaaaa banget. karena badan saya masih manja dibawa berjalan hingga kita
sampai di kawah dengan kontur menanjak dan berbatu-batu.
Dan
imbasnya itu, lho, sangat tidak enak :” pertama, saya jadi ngerasa diri saya
gak mampu untuk mencapai puncak. Kedua, saya malu karena “ini” cuman
Papandayan. Ketiga, mata saya jadi kunang-kunang, napas saya putus-putus, dan
kepala saya nyut-nyutan. Keempat, SAYA MULU YANG MINTA ISTIRAHAT! Saya kan
malu, tapi saya juga inget di gunung gak boleh gengsi kalau kita gak mau
membahayakan kelompok dan diri sendiri. Kalau capek, bilang. Eneg, bilang. Haus,
bilang. Kangen pacar, bilang. Yeah,
gak gitu juga.
Karena
hari juga semakin gelap, rute pendakian pun juga semakin sepi karena pendaki
sudah gak boleh mendaki lebih dari jam lima lewat rute yang banyak kawah dan jackpot sulfuria binti belerangoso, saya
pun jadi rada keki karena gak bisa berhenti sejenak untuk menikmati
pemandangan. Plus, sekalinya istirahat paling hanya bisa mandang sekeliling
satu-dua menit, sisanya buat ngatur napas, lemesin jempol kaki, dan mimik air
cucu. Air putih deng.
Sudah
begitu, gerimis turun rintik-rintik membasahi. Rindu, pelangiku datang lagi. Maaf,
jadi nyanyi.Tapi, memang hujan waktu itu sempat menghambat sedikit. Tapi apa
gunanya windbreaker dan ponco dan carrier cover kalau bukan untuk menghalau itu
semua? J
Intinya,
setelah melewati jalur yang kawah kecil-kecilan (sebenarnya bukan kawah, tapi
lebih seperti lubang-lubang umm kepundan (?) yang mengeluarkan mofet dan air
belerang) di sisi kiri, jalur berbelok ke kanan, menuju jalan yang lebih hijau,
dan pasir pun perlahan digantikan rerumputan. Alhamdulillah.
Saya
gak begitu ingat rute perjalanannya selain naik turun bukit yang berpohon dan
bersemak-semak, tapi saya paling suka pas nyebrang sungai! SAYA SUKA BANGET
SUNGAI OH TUHAAAAN, meskipun kaos kaki dan sepatu jadi basah dan becek serta
dinginnya setengah mati, tapi saya suka aja gitu. Adem, seger, dan menantang. Ehehe,
padahal hanya sungai kecil, ya?
Skip lagi,
pokoknya setelah perjalanan panjang dan hasrat untuk merebahkan tungkai dan
pantat, KAMI SAMPAI DI PONDOK SALADAH! Saya dan kece langsung melihat langit
kalau-kalau tempat kemah kami bisa menjadi spot
untuk melihat bintang—namun naas, kemilau bintang rupanya tertutup mega
mendung. Sedihnyaa.
Jadi,
akhirnya ketika para Adam mendirikan Lafuma (tenda), Dinta menyiapkan trangia
dan nesting, saya dan Kenny matras, dan Marissa ransum. Setelah carrier pindah
ke dalam tenda masing-masing, kami pun makaaan! Sempat sebal sedikit karena
ransum yang dimasak Marissa hambar karena terlalu singkat untuk dijerang air
panas dan rupanya banyak mecin, tapi kami sedikit terhibur karena nasi bungkus
tadi cukup mengganjal perut J kami pun masak energen juga hot cocoa
merk Delfi (ahaha hafal, saya paling suka ini soalnya), lalu berbincang-bincang
sejenak.
Fyi, kalian gak perlu khawatir
kekurangan makanan di Pondok Saladah. Sudah ada dua warung yang siap memenuhi
kebutuhan perut, di sana mereka jual gorengan: tahu isi, pisang, minuman
sachet-an yang bisa diolah jadi seruputan hangat, bahkan kita bisa nyewa sendok
:))
Setelah
makan dan bercapek-capek ria, akhirnya sleeping
bag dan tenda yang hangat sudah memanggil-manggil untuk ditiduri. Saya menyerah
pada kantuk dan malam itu Papandayan sedang dingin-dinginnya, meski tak
sedingin yang biasanya (ADUH kalau dingin “Seperti biasanya” kayak apa ya? Buat
temen-temen yang mau stay di
Papandayan sampai malam, jangan lupa bawa baju hangat, ya. Windbreaker kalau
perlu.), kemudian saya segera beringsut untuk bobok. Kemudian disusul yang
lainnya.
Usailah
hari pertama.
.
.
Saya gak bisa tidur.
Pertama, saya kedinginan hingga gigi gemeletukan dan
gak ada yang meluk saya. Uhuk, maaf, bukan kode.
Kedua, tenda kami ini persis diparkir (diparkir?!) di
samping jalan masuk para pendaki yang mau singgah di Pondok Saladah, alhasil
berisik banget! ada suara-suara pendaki yang ketawa-ketiwi (atau jangan-jangan
itu bukan pendaki …), teriakan-teriakan, becandaan, bahkan sekali ada suara
motor trail……… jangan heran ya, Gunung Papandayan sudah familier ditanjaki sama
pengendara motor yang nekat-nekat itu.
Ketiga, saya nyesel matras saya, saya pinjamkan ke
Nono. Punggung saya serasa diganjal :(
Pokoknya, saya jadi kebangun terus dan mimpi yang
mengisi tidur saya itu aneh bin ajaib semua. Hingga pada akhirnya …
“WOI! Bangun, bangun! Liat bintang, sini! Bintangnya bagus
banget!” tiba-tiba terdengar entah suara Jose atau Eka, yang penting saya yang
pertama bangun di dalam tenda dan saya segera menyuruh Kece, Dinta, Marissa,
untuk bangun.
Dan ketika saya keluar pintu tenda untuk melihat
langit malam …
Ya. Tuhan. Subhanallah.
aslinya, jauh lebih cantik. :) |
Bintangnya … cantik banget. Tuhan, saya gak pernah
benar-benar bisa bersitatap sama Orion, Waluku, Scorpio, Ursa Mayor, Ursa
Minor, Betelgeuse, Alfa Centauri, serta teman-temannya yang lain seperti kala
itu. SAYA GAK PERNAH LIAT BINTANG SEBANYAK INIII DALAM WAKTU YANG LAMA. Bahkan,
Subhanallah (saya bener-bener ngucapin ini berkali-kali, sampe mau nangis),
saya bisa ngeliat Galaksi Bimasakti. Sekarang saya memahami mengapa rakyat Jawa
Kuno melihat langit sebagai wahana pertempuran antara Bima dan sebuah Naga,
karena jika kamu memasang mata lekat-lekat, kamu bisa melihat siluet Maha Naga,
berjumbai surainya, sedang bergulat dengan sesosok selayak Bima yang tinggi
besar dan brewok. Indah, indah, sekali. Saya melihat lengan Bimasakti yang
berdebu dan ada di sisi timur laut.
Saya melihat bintang jatuh, atau meteor sebanyak tiga
kali. Saya melihat petir pagi yang menggetarkan puncak-puncak yang gelap. Kalau
gak gengsi, saya sudah nari-nari kayak orang gila di tengah-tengah Pondok
Saladah. Gak kebayang kalau saya dibawa ke tempat yang jauh lebih mumpuni untuk
lebih leluasa memandang bintang…
Pokoknya, hari itu saya menjadi Putri Langit. Puas ngeliatin
bintang, nyoba nerka yang mana yang Orion, Scorpio, Pari, Biduk—hehehe. Tapi,
karena leher pegal dan saya ingat kamera yang bisa digunakan untuk mengabadikan
momen, saya gantian ngatur ISO dan shutter speed biar bisa moto, yeay! Habis itu
saya bantuin Marissa masak mie, nyiapin makanan sebagai bekal untuk nanti pagi.
Habis makan, kami beberes untuk melanjutkan perjalanan. Waktu menunjukkan pukul
05.00 kurang sedikit.
Nah, di sinilah saya mulai ngerasa seru, dan
aklimatisasi badan saya sudah full-loaded,
CIHUY! Turun dari Pondok Saladah, medan yang menyambut langsung … huek,
lumpur! Tapi asik banget, saya sampe ketawa-ketawa sendiri. Saya mencoba
menerka yang mana lumpur yang gak dalem, tapi … saya kecele sekali, nyebur ke
lumpur yang dalemnya di atas tumit! Sepatu yang saya pinjem dari Renata
langsung berubah warna, dari abu-abu muda jadi coklat gelap. Ngakak.
TERUS ADA SUNGAI LAGI! Cuci-cuci sejenak, lalu jalanan
rada menanjak menuju … entah apa itu tanjakan apa. Tapi saya pribadi
menamakannya Tanjakan Jurik, karena hampir mirip tanjakan setan di Gunung Gede,
bedanya gak ada rantai (Saya belum pernah ke sana sih), dan sombong dikit—saya gak
jatoh sama sekali loh HAHAHA padahal keenan, cowok terjangkung yang ada di
depan saya (saya urutan ketiga dari depan karena saya kelewat semangat mau
ngeliat sunrise dari atas) matahin pohon dua kali dan bikin saya jantungan …
malah Jose, yang jauh ada di belakang saya, katanya hampir terguling? Saya gak
begitu ingat. Tapi saya agak nyesel kenapa harus buru-buru ngincer puncak,
padahal udah tau gak keburu karena medannya makan banyak waktu, dan saya
bukannya memerhatikan teman saya yang lain.
Tapi, the show
must go on, pabila Ambo inda biso melihat mentari terbit di puncak, RANCAK
BANA! Mari melihat dari Tanjakan Jurik. Sinar matahari menerabas bahareksa yang
dihiasi daun-daun, dan … saya terhenyak. Kalau kalian pernah liat pemandangan
dua gunung mengapit jalan di tengah, awan-awan gelap semacam cumulus kelabu dan
halimun tipis yang berbayang, serta berkas-berkas surya yang mengintip dari
balik awan, nah itu dia pemandangannya. Tapi mungkin lebih keren, ya? Dan hari
itu, saya berganti lagi menjadi Putri Matahari Terbit. Hehehe.
saya gak sempet atur focusnya karena gak pake autofocus. namun, begini lah warna langitnya |
Akhirnya kita sampai puncak! Kata Eka, sih, kita anak
Gonz yang pertama sampai di puncak itu. Karena kita gak tau apa namanya dan
emang gaada plang nama, kami namain puncaknya: Puncak Cang Cimeng. Bukan karena
kita bawa cimeng, loh, ya! Tapi tetua suku kami, Agustinus Eka yang nyampe
paling awal, dan nama Morespiiip dia tuh Cangcimeng, jadi yaudah, deh :p
Aslinya pas di gunung ga secantik ini kok. (Bia & Kenny) |
mataharinya udah segini pas kita sampe di puncak :( |
Sahabat: naik gunung bersama (Marissa & Dinta) |
Dari puncak … setelah mengambil foto persahabatan,
kami turun menuju: TEGAL ALUN!
seperti Edelweiss, cinta abadi |
Upil di dalam genangan (Raka) |
Gusti Nur Asla Shabia, 16 tahun. |
Tegal Aluuun! |
Nah, kalau Soe Hok Gie begitu terpukau sama
Mandalawangi, saya terpukau sama Tegal Alun. Padahal saya udah pernah melihat
Sabana di Merbabu, tapi … gak tau, hati saya tertawan di Tegal Alun. Semak-semak
popcorn yang ada runjung edelweiss-nya,
genangan air menyerupai danau yang langsung saya cemplungin bareng temen-temen,
padangnya yang luaaaas, dan warnanya yang biru, hijau, coklat—saya cinta Tegal
Alun, deh J
Teruuuss, lanjut aja ya. Dari Tegal Alun, kami
menanjak kembali untuk turun ke arah Hutan Mati yang sangat terkenal itu. Senangnya,
saya turun dengan menggunakan teknik lari menclak-menclok sana-sini ala-ala
pendaki. DAN SAYA LANCAR, gak kayak pas Merbabu yang teguling 10 kali sampe
pantat kargo saya bolong…
Hutan Mati juga gaada dua-nya deh, saya suka a a a a
banget kalo kabut lagi turun dan membuat saya merasa seakan terperangkap di
Dead Forestnya Snow White and The Huntsman, ngerasa kayak Kristen Stewart (bah,
padahal muke 11 12 ama Ronaldowati). Jadi, hutan ini jadi ‘mati’ begini karena letusan
Papandayan dulu, gais :3
yang biasa bertanya pada rumput kini harus mendesahkan bisik pada batang yang tersaput kabut |
Danau Kecil di Hutan Mati |
Nah, karena perjanjian di antara kita semua itu mau
foto pake putih abu-abu di Gunung Papandayan, kita pun mencari spot kewl di
Hutan Mati itu. Daaaan pilihan jatuh pada spot di danau kecil yang ada di atas
Hutan Mati, tepatnya di pinggir kawah. Di situlah kami foto-foto dan bersantai
sejenak, dan hasil fotonya bagus-bagus!
ki-ka: Nono, Bia, Kenny, Eka, Dinta, Jose, Keenan, RakHut/Upil |
boys before flower #ngakak |
girls generation (kenapa laki difoto dr belakang kita dr depan yah?) |
Dari Hutan Mati, kami pun bersiap untuk pulang. Nah,
buat teman-teman yang tertarik buat mendaki Papandayan dan menganggap
mendakinya itu mudah, tidak demikian dengan turunnya. Turunnya cuapek banget
bro, kaki pegel dan kerikilnya gak bisa membendung langkah kita, akhirnya saya
terperosok berkali-kali. Sudah itu, saya kedapetan apes. Entah kenapa saya
dapet apes, mungkin karena saya gak sengaja ngomong sembarangan di atas, ya? Atau
mungkin karena untuk mendaki Gunung Papandayan saya harus bohong dulu sama
Mama, jadi karma?
Jadi…
Jaket yang saya pinjam itu ketinggalan di pinggir
kawah, ketika kami semua lagi istirahat. Itu jaket kalau gak salah saya iket di
pinggang, dan mungkin tanpa sadar saya buka iketannya atau terlepas dari
pinggang, intinya, mungkin sudah gak terikat di pinggang saya lagi. Ditambah,
saya ditinggal temen-temen karena saya lelet, jadi saya panik. Saya tolol sih,
kalo panik jadi gak teliti. Dan gak ngecek sekeliling saya. Ya sudah.
Dan gunung ini memang baik. Saya yang biasanya jarang
jatuh atau kepleset, pas abis istirahat di pinggir kawah itu kepleset terus
sampai terkilir, dan saya udah berfirasat “Wah, ada yang gak bener nih.” Benar saja,
pas sudah sampai di akhir jalur berbatu, saya baru sadar jaketnya ketinggalan. Kelak
di Jakarta nanti, saya akan sangat menyesal menyadari sangat berharganya jaket
itu dan berapa nominal harga yang menuntut saya untuk bekerja keras
menggantinya.
Tetua suku kita, Agustinus Eka! |
Jadi, intinya, Papandayan tuh mendewasakan saya
banget. saya cinta sekali Papandayan: saya suka “wahana-wahana” yang Ia
sajikan: kawah yang eksotik sama selang-seling warna pasir dan putih, anak-anak
sungai, bau belerang yang khas, kubah bintang di Pondok Saladah, lumpur hisap,
Tanjakan Jurik, Puncak Cangcimeng, Tegal Alun, Hutan Mati.
Ia juga yang berpesan sama saya untuk lebih menjaga
serta menghargai barang, tidak sembakur, serta selalu jujur meminta restu dari
orangtua :)
maka dari itu, saya persembahkan, sebuah puisi tentang Papandayan |
Papandayan
pada benakmu yang terjal, ketika bahu bersikeras menggelincirkan kerikil
kawah tak hentinya terbatuk. halimun turun dengan mengantuk
kamu di sana, dengan gagahnya
ada seratus pendaki mau mencuci muka
kasihku telah bergumpal di Tegal Alun
saat bayu tak ubahnya rintih yang mengalun
serta sebaris batang mati yang menjelma menjadi hutan
di setiap celahnya, tumbuh susah payah sekwatrin pelajaran
terima kasih sudah membaca :)