Seseorang
pernah mengajarkanku untuk melakukan reality check kapan pun aku merasa
tersesat dalam dunia yang riil, yang rasional, yang membawa lari diri kita dari
mimpi-mimpi atau rencana kita menuju mimpi kita.
Saat ini, aku
tengah merasa seperti itu. Baru saja lepas dari institusi tempatku belajar dan
berjibaku dengan ilmu antropologi selama seminggu, aku kini telah bercokol
dalam sebuah dunia kerja, yang, meskipun kukehendaki, tak kusangka akan
berlangsung secepat ini. Aku bahkan belum sempat melakukan hal-hal kecil yang
sebenarnya kudambakan; membeli kemasan-kemasan kecil untuk pegawai FIB yang
telah banyak membantuku selama 4 tahun terakhir, pamit ke dosen-dosenku,
membuat surat untuk mereka yang akan hengkang dari Yogya, atau sekadar mengucapkan
selamat tinggal kepada sebagian manusia yang kukenal sebelum nantinya kita dipertemukan
kembali (atau tidak dipertemukan kembali). Aku bahkan belum sempat menikmati
Jogja selama seminggu untuk diriku seperti yang awalnya kupikirkan: entah
mengunjungi pantai atau menyelam di kolam air terjun, naik gunung atau ke bukit
dan merasakan semilir angin tanpa skripsi, atau sekadar rebahan bersama kekasihku—melewatkan
waktu bersama tanpa beban yang mengada.
Cepat,
cepat, cepat sekali, sungguh cepat, dan tak ada waktu untuk berpikir.
Ingin aku
merutuk diriku sendiri karena begitu tergesa dan gegabah untuk tidak menyisakan
suatu ruang untuk berhenti sejenak dan merenungi segala posibilitas, aku
malahan terlarut dalam sebuah proses yang seharusnya bisa kulambatkan. Hanya
karena aku takut melewatkan kesempatan yang ada, dan takut nganggur beberapa
bulan.
Dan tak
kusangka tawaran pekerjaan ini akan melibatkanku ke dalam skema kontrak yang
mungkin harus kutekuni selama setahun—di saat aku telah menggenapkan diri untuk pulang ke kota kelahiranku di tengah
tahun. Linimasa yang kususun berantakan: beberapa bulan ini akan kugunakan
untuk membaca, menulis, dan riset, begitu tekadku di awal. Riset setidaknya
dua-tiga kali. Menulis setidaknya di tiga sampai empat media yang berbeda. Tiap
hari baca silabus, bikin sendiri. Tiga hal ini tentu saja bertolak dari ide dan
hasratku sendiri; aku ingin belajar apa?
Sungguh naif.
Naif, naif, naif. Memangnya aku akan merasa cukup berbulan-bulan melakukan ini?
Tapi kalau hal-hal ini terjadi karena kehendakku (tapi di tengah jalan mungkin mampet
karena bosan dan aku mikir kenapa aku gak kerja aja, berbakti pada
korporat), aku mungkin tidak akan merasa seresah ini dan menulis ini di blog.
Salah satu orang
terkasih berkata padaku, “Bi, bisa jadi (tawaran pekerjaan) ini adalah sebuah berkah.
Dan privilese. Ga semua orang mendapat kesempatan untuk kerja seperti kamu.” Iya!
Aku juga merasa begitu—makanya aku menerima pekerjaan H+5 itu. Tapi makin ke
sini, kok pertanyaan-pertanyaan tentang apakah yang ingin kupenuhi di awal
masih bisa kejadian bermuara pada jawaban yang gak enak, yaitu tidak
bisa, karena kita sama-sama tahu ketika menghamba pada korporasi, banyak
waktu yang akan terokupasi dan diri ini bisa semakin tak kita miliki? Lalu,
apakah kerja H+5 ini jadi punya nilai yang sama? Pikiranku sungguh berisik, dan
aku capek menangis…
Tulisan
keresahan ini kutumpahkan agar aku bisa mengeluarkan unek-unek, sekaligus untuk
jujur dan menata apa yang sebenarnya kurasakan, kausalitas apa yang menyebabkanku
jadi segelisah ini? Karena memang belum pernah-pernah kupikirkan, tapi ini sangat
menggangguku.
Lantas sehabis
ini, aku akan memulai untuk mengorganisir kesadaranku kembali. Aku ingin
melakukan reality check dengan diriku. Kalau ternyata diri ini butuh
pelesir, mungkin aku akan pergi ke suatu tempat, menginap selama dua-tiga hari
di sana. Dan yang paling penting, aku sedang takut sekali melakukan hal-hal
yang seolah-olah ingin kutekuni padahal kutahu aku melakukannya untuk
seseorang. Bukan karena aku tak mau membuat hal-hal untuk diberikan khusus pada
satu orang, tapi lebih karena: ketika aku melakukan ini, akan ada kegelisahan
dan ketidakpuasan yang terbit di hatiku, dan ini malah akan mengacaukan
segalanya.
Aku tak mau
mengacaukan segalanya. Apalagi mengacaukan orang-orang di sekitarku.
Apalagi
mengacaukan diriku.
Dari:
Shabia, S.
Ant.
Yang udah
jadi sarjana tapi masih tetap resah dan gelisah.