Selasa, 31 Desember 2024

Refleksi 2024

sudah lama sekali tidak melakukan refleksi akhir tahun. justifikasi biasanya: hidup makin cepat dan sesak, pasti kedahuluan agenda lain yang terasa lebih mendesak. tapi akhir tahun ini aku masih ada dalam kondisi limbo, situasi yang memang tak nyaman, tapi setidaknya memberikan ruang gerak yang cukup lapang: ada waktu untuk menulis, yeay! 

selain keberadaan ruang, akhir-akhir ini aku banyak membaca buku. membaca buku selalu membantuku untuk menjadi lebih artikulatif. aku juga tak lagi kesusahan untuk meraup cadangan kata-kata yang sebenarnya masih hidup dalam sudut-sudut otakku, hanya mungkin tak terjamah jika kita tak punya rasa yang tepat untuk menariknya. seringkali kalau tak membaca, atau baca hanya untuk kepentingan kerja atau kuliah, tulisanku tak terasa deskriptif (meskipun mungkin masih mengalir bagi pembacanya). ibaratnya seperti sungai yang di bawah riak-riaknya tak ada habitat yang kaya. adegannya terasa monoton tanpa menggugah. oleh  karena itu, aku percaya, bahwa sering membaca dan piawai menulis itu satu paket. 

kembali ke ulasan 2024. tahun ini banyak sekali nano-nanonya. kilas balik sedikit, Januari hingga sebagian Oktober kuhabiskan di London (dengan mondar-mandir ke negara lain di dua bulan terakhir: September dan Oktober!). aku biasa mengingat bulan dengan tema kehidupan yang sedang kujalani, dan memori akan perasaan yang memberikan nuansa akan tema kehidupan tersebut. aku mengingat Januari ke Mei sebagai bulan yang mengasyikkan, karena kelas-kelas kuliah yang materinya begitu kusukai. namun, Mei ke September aku bagaikan sosok perempuan di kartu tarot sembilan pedang, yang artinya kurang lebih begini, "merasa terperangkap dan tak berdaya, padahal jalan menuju keberlimpahan selalu ada di sana, meski harus melewati kemungkinan teriris ujung pedang sedikit. belum tentu terluka, meskipun bisa terluka, meskipun bisa jadi tidak usah terluka." di bulan-bulan tersebut, aku menghadapi penulisan tugas akhir sebagai prasyarat kelulusan kuliahku. 

bulan September ke Oktober, mungkin karena kewajiban menulis ini telah terangkat, aku bisa mengurusi aspek kehidupan lain dan lebih bahagia: menyambut Mama ke London dan pelesir ke dua negara yang sudah jadi bagian dari daftar keinginan sejak lama. Mama datang ke London sebagai  bagian dari nazar dan keinginanku untuk memboyong pendukung hidupku paling wahid, yang ironisnya, tak pernah ke luar negeri meski anaknya sudah melanglang buana. ketika aku menerima pengumuman bahwa aku lolos LPDP, janjiku pada diriku hanyalah satu: berusaha sebisa mungkin untuk menabung, agar bisa mendanai sebagian atau seluruh biaya yang diperlukan Mama untuk menemuiku di tempat kuliahku. sepulangnya Mama dari London, aku kemudian juga bertandang ke negara impianku: Yunani dan Italia. kecintaanku pada dua negara ini sebenarnya berasal dari rangsangan yang cukup sederhana: buku-buku Rick Riordan soal mitologi Romawi dan Yunani, serta kuliner dari dua negara ini (terutama Italia) yang mempengaruhi palat lidahku. hingga sekarang jika ditanya lima teratas makanan favoritku, selain nasi padang dan pecel ayam yang menghuni tampuk paling atas, hidangan seperti pasta dan pizza kemungkinan besar juga bisa didapati di sana. 

kemudian, pertengahan Oktober aku kembali ke Indonesia. dari Oktober ke Desember tampaknya aku lumayan gembira dan merasa ria, meskipun stressor baru kembali terbentuk: aku harus (ingin? butuh?) dapat kerja layak yang hingga kini, masih cukup sulit bagiku untuk menemukan formulanya. Aldo menawariku sebuah pekerjaan yang menjadi pekerjaan utamaku di tiga bulan terakhir ini, dan di pertengahan Desember aku juga memulai pekerjaan kontrak dengan sebuah perusahaan media yang isunya ingin aku telisik. namun jauh di dalam hati aku tahu, aku belum menemukan ruang yang sangat pas untukku, tempat passion dan kompensasi yang layak saling bertalian dan mendorongku untuk menjadi individu yang lebih 'hidup'. 

di bulan terakhir tahun ini, aku cukup senang menemukan gelora untuk kembali ke kebiasaan lama yang kurasa baik: berefleksi dan membuat resolusi untuk tahun selanjutnya. sempat tercetus di benakku bahwa baiknya tidak ada resolusi, karena aku tak lagi terlalu romantis dan sedangkal itu untuk membuat resolusi. tapi pikiranku berubah. aku rasa, resolusi tetap penting sebagai benang yang menuntun kita dalam setahun, harapan-harapan apa yang kita anggap paling ingin kita manifestasikan. semalam aku dan Aldo merefleksikan tahun 2024 ini, apa yang kami banggakan, dan resolusi seperti apa yang kami bayangkan terajut dalam satu tahun ke depan. 

tulisan ini bukan untuk memuat resolusi yang telah aku ciptakan, melainkan sebuah itikad untuk berefleksi. harapannya, kelak di tahun depan dan tahun-tahun setelahnya, aku bisa kembali ke tulisan ini untuk mengingat. 

Satu-satunya kompas yang bisa kita pegang adalah keyakinan pada diri dan tujuan hidup kita

aku masih sulit berpegang pada sesuatu yang abstrak seperti keyakinan. atau tujuan hidup. seperti ketika tesis, aku ingin yakin bahwa nilaiku akan baik-baik saja, bahkan bisa jadi bagus, tetapi nilai itu belum keluar, jadi bagaimana aku bisa yakin? aku selalu menautkan hal-hal pada kondisi material, dan susah untuk percaya pada sesuatu yang ada di dalam diriku. padahal, jika dipikir-pikir, aku dan 'sesuatu' itu telah tercipta dari pengalaman-pengalaman hidup yang tidak bisa direduksi juga. saat ini pelan-pelan aku sedang berusaha memupuk keyakinan pada diri dan fokus pada tujuan hidup, bukan hanya dalam ranah karir (aku menolak didevaluasi hanya sebagai pekerja dalam ekonomi kapitalis ini hahaha), tetapi juga hidup yang lebih luas: sebagai anak, sebagai pecinta dan orang yang pantas untuk dicintai, bahkan sebagai seseorang yang selalu haus akan pengetahuan dan perjalanan!

aku ingin lebih yakin pada diriku, bahwa aku yang sekarang merupakan diri yang semakin baik karena belajar dari kesalahan dan keberhasilan di masa lalu. semesta ini punya pintu-pintu yang misterius, yang bisa membuka pada kesempatan dan keberlimpahan dengan jalur yang bahkan tak terbayangkan. 

Fokus apa yang bisa kita kontrol, dan beranilah untuk berekspresi. 

aku lumayan kaget karena seringnya rejeki datang ke pangkuanku jika aku mau 'merendah' dan mengekpresikan kebutuhanku, ketertarikanku, apa yang tengah kucari dan yang bisa kubantu. salah satu contoh paling konkret, Rekam Pangan menjadi platform yang banyak membantuku untuk memperoleh beberapa pekerjaanku. di sana adalah wahanaku untuk bereksplorasi dan berekspresi, yang kuharap juga bisa menjadi wadah bagi orang lain untuk melakukan hal yang serupa, dan orang yang bertandang sedikit banyak bisa merasakan itu. melebihi Rekam Pangan, ini juga berlaku kapanpun aku sedang menyampaikan hal-hal yang kucari atau kubutuhkan.

aku ingin merawat praktik baik ini. terlebih untuk hal-hal yang kuingin eksplorasi di tahun-tahun berikutnya. 

Beralih dari menghukum diri sendiri untuk lebih menghargai diri sendiri, walau kadang kita harus 'sombong' sedikit. Walau juga, kita harus merenungi apa yang dimaksud dengan 'sombong'. 

ini masih terhubung dengan poin keyakinan diri. kurasa karena kita dibesarkan dengan nilai-nilai Asia, alias Asian values, bangga terhadap diri sendiri dan jual mahal dirasa seperti sesuatu yang tinggi hati, tetapi dalam beberapa kasus, aku telah belajar bahwa ini diperlukan. misalnya jika ingin dibayar murah dalam suatu pekerjaan (terlebih karena perusahaannya saja yang ndableg, bukan karena mereka juga lagi usaha cari uang). misalkan jika seseorang secara sadar atau tidak sadar meminta kita untuk merendahkan prinsip kita yang kita tahu itu benar dan pantas. misalkan jika seorang teman juga memperlakukan kita dengan tidak baik. atau bahkan bukan hanya dalam proses kita didevaluasi oleh orang lain, tetapi ketika kita juga didevaluasi oleh suara kelampau kritis nan cemas dari dalam otak kita: ah, kamu mah gak bisa. ah kamu mah dari dulu emang selalu susah untuk bisa dapet hal kayak gitu. ah, kamu mah emang sudah wayahnya dapet yang kurang. sepertinya aku ingin fokus: masa iya orang kayak aku gak bisa? kembali ke Shabia yang petakilan dan menerabas ini-itu, meskipun tentu saja, diiringi dengan prinsip yang kuat di dalam diri. 

Terakhir: hidup tidak selinier itu, dan tidak apa-apa untuk berbuat salah. 

sederhana saja. aku selalu takut salah, takut salah langkah, yang membuatku terus maju mundur. tapi hidup akan selalu punya konsekuensi, dan pastikan saja kita sudah siap untuk menghadapi konsekuensi. oleh karena itu, cara terbaik adalah kita paham betul alasan mengapa kita mengambil konsekuensi tertentu, dan bahwa kita punya strategi atau siasat untuk menghadapinya. 

sampai sejauh ini, ada banyak pembelajaran lain. misalkan: kesalahan pasti akan selalu ada, tapi percaya saja bahwa apa yang kita ambil itu telah dengan matang dipertimbangkan agar kesalahannya mengecil. pasti akan ada orang yang tidak suka dengan kita, dan selama kita tidak menjahati mereka duluan dan selama kita juga melakukan yang terbaik untuk berbuat baik untuk mereka, kita tidak perlu takut untuk kehilangan mereka. dan masih banyak lagi. dan masih banyak lagi. 

oh ya, aku juga perlu untuk menambahkan sesuatu yang dirasa tidak terlalu individual. catatan di atas sebenarnya adalah catatan untuk diriku personal, apa yang aku pegang ke depan, tetapi aku juga menolak untuk tunduk pada pemikiran kapitalisme neoliberal bahwa perjuangan sehari-hari hanyalah perjuangan individu, dan aku juga menolak membayangkan hidupku seperti piramida tempat aku bisa naik tangga dan meninggalkan rekan-rekanku di belakang. saban hari ketika aku sedang merasa takut gagal mendapatkan penghidupan yang menggajiku dengan layak, karena akses terhadap banyak hal hampir semuanya transaksional dan dihargai dengan uang, aku seperti tertampar dan terlempar ke bacaanku di kelas Ekonomi Politik Feminis. gerak ekonomi kapitalisme terus-menerus menghapus commons dan relasi sosioekonomi yang dimotori oleh prinsip solidaritas, percaya, resiprositas, dan banyak lagi. aku masih merawat idealisme untuk bekerja dalam institusi yang mendukung hal ini, alias: aku masih ingin bergerak dalam sebentuk aktivisme. hingga kini, kapanpun aku sedang melaju ke kehidupan yang lebih baik, aku tak bisa melupakan saudara-saudariku yang menerima ketidakadilan dan tekanan dalam hidup. oleh karena itu, ini catatanku juga:

Salah satu cara yang bisa kita lakukan untuk menolak individualisasi adalah dengan merawat atau menciptakan ruang-ruang yang tersisa untuk mempertahankan model-model ekonomi berbasis solidaritas, kepercayaan, dan resiprositas. Kupikir ini bukan hanya persoalan aktivisme, melainkan juga berpolitik sehari-hari dalam menjaga relasi dengan sanak, pacar, kawan baik, ataupun rekan sejawat.

Empat atau lima hal di atas kurasa sudah cukup untuk dijadikan pegangan, yang tentunya bisa saja berubah di tahun depan. Tapi hidup adalah soal perubahan, dan asalkan perubahan ini membawa sesuatu yang kurasa dan kunilai baik, aku akan merengkuhnya. 

Selamat menyambut dan merayakan 2025,

Shabia.