Saya ini hanyalah setapak yang mengantar.
Saya
tidak bisa menjanjikan kamu jalan yang mewah dan penuh dengan kemudahan, karena
saya, sekali lagi, hanyalah setapak yang mengantar.
Dahulu kala, pernah ada
periode di mana pengembara kerap kali menapak tungkai di atas raga saya. Mereka
berbisik, mereka takkan jera mengarung melintas tubuh saya, karena saya adalah
satu-satunya opsi yang mereka miliki.
Saya sudah pernah
mengingatkan mereka—
—saya hanyalah setapak yang mengantar. (yang penuh
derita dan kekurangan.)
Saya berkata, “Aku
tidak dapat melindungimu dari bias sinar kalacakra tatkala Kemarau bertakhta.
Aku juga tidak dapat melindungimu dari jarum-jarum likuid yang menyerangmu
ketika Penghujan berkuasa. Kamu bisa kembali dan memutuskan untuk tidak menapak
dalam setapakku.”
Hening sejenak, …
satu detik.
… Kemudian mereka
menyahut, “Tak apa, kami masih memiliki tudung untuk menutup ubun-ubun kami
tanpa perlu merasa panas dan penat, juga menghindari basah dari hujan gerimis.”
Maka saya biarkan
mereka berjalan beberapa kilo.
Hingga kembali saya
mengingatkan mereka—
—saya hanyalah setapak
yang mengantar. (yang penuh derita dan kekurangan.)
Saya berkata, “Aku akan
merentang melalui belantara, saat di mana siang hari bisa menjadi waktu kamu
semua bereksplorasi, namun ketika kresnapaksa menyorot dari
jumantara—marahabaya akan mengintai kalian semua dari sesemakan. Kamu bisa
kembali dan memutuskan untuk tidak menapak dalam setapakku.”
Hening sejenak, …
dua detik, satu detik.
… Kemudian mereka menyahut, “Tak apa, kami masih
memiliki pedang untuk membutakan mata-mata itu dan kekuatan untuk bertarung.”
Maka saya biarkan
mereka berjalan beberapa kilo.
Hingga kembali saya
mengingatkan mereka—
—saya hanyalah setapak
yang mengantar. (yang penuh derita dan kekurangan.)
Saya berkata, “Aku
masih akan mengantarmu lebih jauh. Sehabis ini, kontur dan tekstur di atas
ragaku akan bertambah menguji. Ketika bermandikan banyu, tanahku bisa mengikat
tungkai-tungkai kuatmu dan membuatmu berjalan lebih lambat, dan ketika kering
menghembus bayu, tanahku akan membuat atensimu mengerjap karena debu. Kamu bisa
kembali dan memutuskan untuk tidak menapak dalam setapakku.”
Hening sejenak, …
tiga detik, dua detik,
satu detik.
… Kemudian mereka
menyahut. “Tak apa, kami memiliki alas kaki yang resisten dengan lumpur coklat
itu, kami juga bisa memejamkan mata kami ketika debu itu mengangkasa.”
Maka saya biarkan
mereka berjalan, untuk kali ini, berkilo-kilo.
Saya tidak pernah
mengingatkan mereka lagi, karena harsa menguasai akal sehat saya. Saya begitu
ria karena mereka sudah melangkah sejauh ini, walaupun terkadang mereka
berbisik penuh keluh ketika menyangka saya sudah terlelap. Walaupun mereka
menendangi saya ketika mereka frustasi dan putus asa. Walaupun begitu, saya tetap
mengarahkan mereka ke mata air dimana mereka dapat memuaskan dahaga mereka, ke
petak-petak dimana pohon buah dapat memuaskan lapar mereka—intinya, saya
memberikan mereka sebagaimana setapak memberikan seluruh kelebihannya. Dan
tujuan mereka semakin saya dekatkan.
Lalu, terhembuslah
kabar angin itu.
Ketika saya tersadar
dari tidur saya, saya merasa sepi berjengkuh raga saya. Tak ada bisik-bisik
semangat yang biasanya termelodi di subuh yang dingin. Tak ada entitas yang
menancap di atas raga saya. Kosong—
Kemudian dirgantara
berbisik prihatin di atas sana, “Mereka sudah pergi, Setapak. Ketika kau lelap,
bayu bertiup melintas, berkata jalan aspal di ujung sana sudah dibangun. Jalan
aspal itu menyajikan tudung kaca untuk melindungi mereka dari gejala cuaca, dan
jalanan licin yang tak sebanding dengan keropeng-keropeng tanahmu. Mereka
terlalu lelah untuk melanjutkan perjalanan—jadi selepas subuh mereka telah
meninggalkan jalanmu.”
Saya hanya bisa
terdiam.
Saya ingin murka, saya
ingin marah, saya ingin muntab—
—tapi sekali lagi, saya
hanya setapak yang mengantar.
Hanya dibutuhkan dua
hari hingga negeri di ujung sana terbentang di depan pengembara yang saya
antar. Hanya dibutuhkan kesabaran menghadang gerimis, terik, becekan, debu,
teror, dan rintangan lain selama beberapa kilo, karena medan di depan sana
tidak seekstrim ini.
Katanya mereka takkan
jera?
Padahal, saya bukanlah
setapak yang ingkar. Di jalan di mana kelok saya pun berakhir, gerbang yang
paling indah yang didambakan para pengembara itu akan menyongsong mereka.
Tahun-tahun berlalu,
dan siklus ini terjadi berulang.
Saya akan
memperingatkan mereka dengan larik-larik yang sama, dan Para Pengembara
menjanjikan kalimat yang sama. “Aku takkan jera”, katanya.
Tapi di tengah jalan,
mereka akan raib.
Mereka, tentu saja,
lebih memilih opsi di mana jalan aspal akan mengantar mereka penuh kenyamanan.
setapak saya pun bertambah sepi. Saya mati.
Bahkan di beberapa
paruh waktu, mereka menghancurkan raga saya—membuang limbah, mengeksploitasi
tanah yang menyelimuti raga. setapak saya pun bertambah sepi. Saya terluka.
Saya masuk ke dalam
diri lebih dalam.
Di gerbang di mana
setapak saya mengawali jalan, saya biarkan dedaunan dan tanaman jalar
merambatinya, agar tak ada Pengembara yang melirik saya dan melukai setapak
saya jauh lebih buruk lagi. Di gerbang di mana setapak saya mengawali jalan,
saya biarkan mereka memasang palang tanda “berbahaya”
agar tak ada Pengembara yang masuk dan melukai setapak saya jauh lebih
buruk lagi.
Saya, sejujurnya, agak lelah.
.
.
Sekali lagi, saya
hanyalah setapak yang mengantar.
Jangan salah, saya
merindukan sesosok Pengembara di atas raga saya. Saya mendambakan kehadiran
mereka, tetapi sekaligus saya takut.
Mereka tidak bisa
menerima saya apa adanya.
Katakan saya naif,
karena saya ingin mereka menjawab, “Tak apa, saya butuh gerimis dan sengatan
mentari agar saya lebih merasa hidup ketika berjalan di atasmu.”
Katakan saya bebal,
karena saya ingin mereka menjawab, “Tak apa, saya butuh kresnapaksa menyorot
saya sehingga saya dihinggapi teror, dengan begitu saya dibiasakan untuk
menghadapi kerasnya buana.”
Dan katakan saya
irasionalis, karena saya ingin mereka menjawab, “Tak apa, saya bisa terbiasa
melangkah dengan kuat agar tak ada yang menghalangi saya, dan saya bisa melatih
mata saya awas, dengan debu-debu yang beterbangan itu.”
Saya hanya setapak yang
mengantar. (yang penuh derita dan kekurangan.)
Dengarkan ini,
Pengembara. Maafkan saya bila saya tak memberi kesempatan untukmu. Maafkan saya
karena saya menguji, maafkan saya karena setapak saya buruk rupanya. Maafkan
saya apabila saya menutup jalan ini begitu lama dan seakan tidak percaya.
Tapi tidak.
Saya masih memercayai
kamu. Sibaklah gerbang saya dengan pedang yang kamu miliki dan lengkapilah
dirimu dengan perbekalan, lalu mulailah memulai perjalananmu melintas saya.
Kuperingatkan kamu.
Saya hanya setapak yang
mengantar. (yang penuh derita dan kekurangan.)
Dan ada si jalanan
aspal yang juga mengantar. (yang penuh sukacita dan kelebihan.)
Tidaklah mudah untuk
mengarung di atas saya. Itu saja. Tetapi saya berjanji, jika kamu tabah, begitu
pula saya. Setapak saya akan mengantar kamu ke gerbang yang terindah, tetapi
akan banyak cobaan yang kamu hadapi dalam jalanmu bersama saya.
Jadi,
Saya
harap kamu adalah Pengembara yang takkan jera.
Karena
saya hanya setapak yang mengantar, yang sudah terluka namun tulus dan penuh harap.
Saya menantikan Pengembara yang berkata, "Saya takkan menyerah, karena walaupun setapak ini menguji, kamu yang akan mengantar saya ke kebahagiaan hidup saya."
Jakarta
Dari kamar ungu
27/5/2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar