Halo!
Sebelumnya saya ingin mengatakan, satu entri ini
saya dedikasikan khusus untuk dua orang spesial yang berpanggilan dengan huruf
depan sama, yaitu alfabetika ‘S’: Samantha Samsuddin dan Smita Tanaya. Boleh
jadi kalian berdua adalah para pujangga-pujangga berusia ranum (yang mana
artinya kita bertiga adalah remaja penuh kegamangan, hihi) yang pertama, yang
saya muat puisinya di sini.
Ada kalanya saya jahil meminta orang-orang untuk
membuatkan sesuatu untuk saya: sesuatu yang membuat keduabelah pihak senang,
entah saya sebagai tokoh tak tahu diri: sang pengemis, atau mereka yang senang
karena saya percaya: sang dermawan.
Oke. Kita sudah berbicara soal pemberian. Nggak usah berverbose, ya,
sahabat-sahabatku. Saya hanya bisa tersenyum ketika mengetik ulang apa yang
Samantha (yang tengah terik tadi menemui saya di koridor dengan dua lembar
kertas) tuliskan untuk mengobati gulana tengik ini. Dan inilah frasa-frasa yang
ia tujukan pada saya:
JANGAN
MENCINTA
Jangan
mencinta jika hati tak minta
Jangan
memberi hati yang rapuh
Semuanya
akan sia-sia
Hanya
itu harapannya
Jangan
mencinta, Dayang, jangan
Buat
apa serahkan hati untuk dikembalikan
Bukankah
sudah dikatakan semuanya akan jadi salah
Maka
jangan mencinta
Mencinta
buta
Buta
termakan hati
Hati
yang tidak meminta
S.S,
12:10, dengan beberapa revisi dari S.N.A
(Membacanya membuat saya merenung. Mungkin kamu
sedang menegur saya (sebagai seorang pecinta), tentang memikirkan baik-baik dan
tidak termakan konsep ambivalen dari satu morfem universal itu: cinta. Bahwa cinta tak sekedar: saya
ketemu doi, nyaman sama doi, buta sama doi, pe de k ate, pacaran, dan voila!
Tatkala saya sudah buta bak pengidap miopi kena katarak, saya sadar yang saya
cinta hanya Pangeran menganggap saya Dayang. Pffft. Jadi jangan mencinta, daripada mencinta tapi menjadi
pajangan, bukan begitu, Sam?)
Hanya
Harus Percaya, Shabia (wih ada namaku!)
Kamu
tahu, bahwa kadang semua hal tidak seperti yang kamu inginkan
Kamu
tahu dan kamu sadar penuh, hanya saja kamu tidak mau mempercayainya
Ada
kalanya dan karena kamu manusia, kamu
akan bersedih
Mungkin
juga menetaskan air mata
Tidak
apa-apa, sungguh.
Semuanya
akan baik-baik saja.
Yang
harus kamu lakukan hanya satu: percaya
Hidupmu
terlalu indah untuk dipungkiri
Kamu
dengan segala yang ada padamu adalah kesempurnaan estetika
Tak
perlu kamu masuk ke kamar dan menguncinya
Dan
mulai melangkahkan kakimu ke atas Kasur untuk meringkuk
Di
bawah selimut dan ya, meratapi nasib
Tidak
perlu … sungguh itu tidak perlu
Yang
harus kamu lakukan: kembali percaya
Matahari
masih terbit dari timur, dan langit masih berwarna biru
Selama
juwita masih begemerlapan di langit malam,
Hatimu
akan baik-baik saja
Sentuh
dadamu, masih berdetak bukan?
Itu
artinya kamu baik-baik saja
Mengyangkalnya
hanya akan membuatnya bertambah buruk
Semua
hal yang tak enak itu akan tetap datang
Itu
akan menyakiti hatimu: merobek setiap inci dari harapan
Jika
itu datang, maka yang harus kamu lakukan:
Percaya
bahwa semuanya akan baik-baik saja
{dan
benar semuanya akan baik.
Kamu
hanya harus … ya percaya.}
r.6
| 12:45 \ 23.07.14
S.S,
lagi-lagi dengan revisi kecil oleh S.N.A
Yang di atas tadi mungkin semacam surat penutup ya,
Sam? Siang hari tatkala institusi kita rehat dari pelajaran, saya melihatmu dan
minta dibuatkan puisi. Dan kamu bertanya, “Mau tema apa?” HE HE HE, sudah
seperti milih menu saja, ya? Dan saya
jawab. “Cinta saja. Eeeh jangan, kasih sayang aja. Eeeh! Sakit hati. Apa
sajalah, Sam.” Seperti seseorang yang galau, padahal detik itu saja saya sedang
tidak memikirkan konflik percintaan saya (saya sedang memikirkan uang jajan dan
makanan yang harganya tidak sebanding, bahkan. Saya memang kadang suka tolol.).
Lalu kamu muncul, Sam! Membawa dua lembar kertas
file, dua halaman yang terisi penuh, dan empat buah puisi yang manis teruntai.
Dan keempat-empatnya, saya baca dalam pelita remang-remang dalam angkutan umum,
diiringi sebuah senyum.
Terima kasih, pujangga Samantha. Untuk puisinya yang
sederhana namun meliuk (puisimu mengingatkan saya pada buah kata karya Rendra
dicampur Sutardji Calzoum, lalu disederhanakan dalam potret kata-kata remaja),
dan untuk dua lembar kertas file yang sudah melebihi rikues, HAHA! Semoga kita
berdua semakin mampu menyiasati kata dan berkontemplasi, uhuk.
(oh ya, puisi ini indah, beberapa di antaranya
benar, tetapi apa yang terjadi bukan yang sebenarnya terjadi, Sam. Kalo kamu
udah baca entri ini, chat saya dan besok saya curhat, ya, di sekolah. :p )
Lalu ini balasan atas puisi kamu. Kamu buat empat,
maka saya juga buat empat. Nanti saya kutip ini ke kertas antik, lalu saya
kirim ke kamu. Semoga kamu menikmatinya J
Debu
Embun
Ini ceritera tentang seonggok debu
Yang melapis membaring di etalase jendela
Boleh jadi si debu ialah seorang pengagum bisu
Yang direksi netranya selalu tatap butala
Ini ceritera tentang setetes embun
Yang menitik di belantika hijau rerumputan
Sangka siapa si embun simpan asmara
Tatkala atensi beningnya tatap cakrawala
Dan ini ceritera tentang debu embun
Yang pada realita saling taruh hati dalam senyap
Beda purwarupa cegah mereka tuk melebur
Hanya sedetik pandang yang tertukar menghablur
Aku
tak mau melarutnya, pikir sang embun bila mereka bersatu
Aku
tak mau cemarinya, pikir sang debu bila mereka bersatu
Maka dari itu, ini ceritera tentang debu embun
Yang ajarkan kita berdua:
Tentang kesahayaan parabawa.
{ada cinta yang hadir karena sanggama
Dan ada yang tercukupi hanya dengan tatap asmara}
Puisi
denotasi.
(mengapa kusebut denotasi? Penyair jelaskan maknanya di akhir)
S.
N. A. \\ 9:08 PM
CUKUP
SUDAH
Sudah! .
, . . aku bilang sudah! ,
Berhenti. , , , .
, . , Aku bilang berhenti! ,
Baik kalau ini yang kamu mau,
Aku sudah minta cukup sudah . ,
Kini kugantung kamu , ?
Puisi
mbeling. (yang
di atas bukan kesalahan tanda baca atau saya mabok. Ini namanya puisi mbeling,
saya banyak belajar dari Jeihan.)
S.
N. A // 9: 12 PM
KESALAHAN
KEMBAR
Aku hanya bisa tertawa
Ketika ia langkahkan tungkainya
Adalah alasan tak pasti
Satu-satunya yang ia miliki
Aku
tak bisa
Padahal siang itu matari tengah teriknya
Lalu semua berubah
Ini
semua salah
Ternyata semua yang sebelum adalah salah, katanya
Aku
ingin merubah keadaan
Ia berkata semua adalah sebuah kesalahan
Semua itu dikatakannya kala purnama
Ternyata
aku mencintaimu
Ia memang enigma gila yang berbahaya
Aku hanya bisa tertawa.
Puisi
ambi. (saya
lupa namanya, tapi kamu bisa membacanya dari awal ke akhir, akhir ke awal.
Silakan dicoba. Pusing? Saya juga. Saya masih belajar membuat puisi yang satu
ini, Sam. Mohon maaf.)
MALAM
Dalam jerit kelelawar
Tapak-tapak itu masih setia membelah kelam
Belantara ia terjang
Bareksa yang memuntir ia hadang
Juwita malam ia pandang
Sembari berdoa hingga tenteram
Jarinya mengetuk
Pintu jati itu berbunyi seakan mengangguk
Sempurna sudah rongga pintu terbuka
Di baliknya sesosok gadis mengerjap tak percaya
Pemuda itu terengah
“Ada yang salah,” katanya
Ia baru sadar malam jadi gelap sekali!
Ketika kekasihnya tak lagi menginap: sepi!
Puisi
jenaka. (saya
gak tau jenakanya dimana, Sam. Tapi boleh tolong ketawa? Bayangin aja suatu
hari kamu nginep di rumah pacarmu selama tiga hari berturut-turut, terus hari
keempat kamu pulang, dan ia khusus dateng ke rumahmu malam-malam hanya ingin
bilang ia kehilangan kamu dalam cara yang bodoh. Ya. Lucu kan? Lucu dong.)
Empat sajak sudah tercipta. Pujangga lahir dari
pujangga. Dan saya; saya lahir dari kalian, sesama teman pujangga! Hidup
perempuan perkasa penoktah tersina! :p
(oya puisi Smita Tanaya masih ongoing katanya. Jadi nanti diedit setelah si Tuan Putri selesai
yah. Sampai bersua lagi!)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar