Di balkon yang tadinya penuh hiruk-pikuk dan ingar-bingar
tawa mabuk, perlahan sepi merayap dan mengipas-ngipas sosok-sosok fana: Purnama
menjelma menjadi ibu-ibu keriput; tangannya kisut.
Dalam senyap kita bersitatap
Dan kala kelopak-kelopak mata yang sok tabah itu mulai
menutup,
tinggalkan cerutu dan asap yang lelamat siup
kita merayap.
---
Sesungguhnya bila kau pinta aku ceritakan kembali 180 menit
yang rasanya terlalu singkat untuk kita
Jemariku terlalu bingung untuk merantai kata, dan memutar
memori yang penuh harsa gempita
Aduhai, waktu itu sempat pula tidak kau dengarkan detak
jantungku?
Ia bertalu, tahu, saat kurebahkan di samping milikmu
—Tapi kau tak tahu saja
Aduhai, waktu itu sempat pula tidak kau lihat mataku yang
perlahan terbenam?
Ia tenggelam, tahu, kala kau tatapku dengan pandang Samuderamu
—Tapi kau tak tahu saja
Sesungguhnya bila kau pinta aku ingat kembali 180 menit yang
rasanya terlalu mimpi untuk jadi realita
Jiwaku terlalu rindu untuk dibaringkan berdampingan…
Kita tidur bersama (ya, kan, waktu itu?)
Tak sisakan serentang jalan bagi bayu untuk berjingkat
Atau mungkin ingar-bingar yang pekat
Karena kita terlalu rapat
Rengkuh, kecup, napas, tatap
— entah berapa ya yang kita tempa?
Kita tidur bersama
Dan aku melihat Semesta
Tak ada jarak
Tak ada waktu
Tak ada aku
Tak ada kamu
Hanya kita, ya, kita, dalam tidur kita bersama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar