Hai, Arum. Telah aku
dapati bahwa kamu telah membaca apa yang aku tuliskan dalam kata-kata pada
surat Jadilah Sebuah Rumah-ku yang semu, mencoba mengaplikasikannya, lalu
terjadi sebuah hasil ... dan menuliskan balasannya. Telah aku lihat seorang
perempuan kuat yang mungkin ingin hatinya agak sedikit abai terhadap “cinta” –
entah siapa itu atau apakah ia pantas untuk disebut dengan “cinta” itu – namun
tetap menyayangi hingga akhirnya konsep afeksi itu membawa ia pada refleksi.
Pertama-tama, Arum, maaf. Maaf karena aku tidak bisa
menjadi cerminan suratku. Maaf karena aku harus menghancurkan konsepku sendiri.
Aku merasakan apa yang kamu rasakan, pada akhirnya. Rumahku kini tengah kosong,
kalau tidak porak-poranda – mungkin itu metafor yang tepat untuk melambangkan
apa yang kurasakan sekarang. Kami berdua sama-sama sedang tidak berada di dalam
rumah. Ia yang pertama pergi.
Arum, aku tidak akan mengatakan bahwa suratku itu
sepenuhnya salah. Aku tetap ingin memahami kehidupannya, ingin menjadi lebih
tabah dengan kesibukannya, tetap ingin menjadi yang terbaik untuk dirinya,
ingin memberikan dirinya kelonggaran. Percayalah juga, Arum, aku mencoba untuk
membangun rumah dan menjadi rumah itu sendiri. Aku mencium keningnya sehabis
aku marah karena aku tidak puas dengan perbuatannya, hanya agar ia merasa aku
mencoba untuk memahami. Tetapi ternyata,
Arum, aku hanya memenjarakan diriku dengan konsep rumah itu sendiri, karena aku
tidak pernah mengerti apa itu rumah, apa artinya diriku dan relasiku dengan
rumah itu, apa arti dirinya dan rumahku, atau bahkan mempertimbangkan inginkah
juga ia membuat rumah dengan proses kreatif-nya sendiri? Aku benar-benar tidak
pernah bertanya, dan seenaknya saja melabeli apa yang aku pikirkan dengan
sebuah simbol yang rigid. Namun aku juga bersyukur, kesalahanku mungkin tidak
akan membawa aku pada refleksi sekarang ini. (Oh ya, makasih juga kamu telah
menyadarkanku dalam re: -mu.)
Aku mendapati diriku membuat tiga kesalahan
besar, Arum. Yang pertama, karena aku membangun rumah ini untuk dirinya. Bukan diriku. Padahal aku pun
tidak akan bisa menyelaraskan konsep rumah tersebut atas apa yang aku mau dan
apa yang ia mau, karena kami tumbuh di rumah yang berbeda, dengan ekspektasi
yang berbeda. Mungkin aku butuh rumah dengan estetika Belanda dan Indonesia
kuno, sementara ia ingin rumah yang bergaya Persia. Dan ketika aku mencoba
membangun rumah Persia, aku akan mendapati ia tak puas, karena aku membangunnya
dengan tafsirku sendiri, sementara aku juga semakin terkungkung dengan
kemarahanku karena aku tidak membuat rumah yang aku inginkan – dan ia pun juga
tidak menyukainya. Jadi mengapa aku tidak membangun rumah untuk diriku sendiri
dahulu? Lalu mungkin ia akan menemukan keindahan rumahku sendiri dan mau
bertandang.
Yang kedua. Seperti yang kukatakan padamu, aku
terpenjara pada konsep rumahku sendiri. Bagiku rumah adalah tempat yang rigid,
yang dibangun di atas sebuah lahan. Yang konkrit. Aku tidak memahami bahwa
manusia telah membawa-bawa sebagian dari rumah mereka di hati mereka kemana pun
mereka pergi, kepemilikan dan bentuk abstrak dari wujud rumah itu sendiri. Aku
tidak pernah berpikir bahwa saat mereka pergi – saat lelaki kita pergi –
sebenarnya mereka tidak akan pulang,
bukan karena mereka tidak akan pernah kembali, tetapi bahkan dalam langkah
pertama mereka, selalu ada rumah yang mereka bawa di hati mereka. Mereka selalu
pulang, ke dalam rumah di diri. Api kecil dari pendiangan yang akan menuntun
mereka kembali. Dan tetap merasakan kehangatan itu hingga mereka pergi jauh.
Dan aku terlalu mengagung-agungkan mereka. Serta
rumahku sendiri. Itu kesalahanku yang ketiga. Mungkin kamu sudah menyadari,
Arum, bahwa bukan lelaki kita saja yang mengembara? Kita, perempuan, juga
mengembara dengan cara kita sendiri. Kita tidak seperti dia, tentu – mungkin
dia akan pergi ke laut dan gunung, ke orang-orang yang tidak beruntung, seperti
katamu, menyelami buku, dalam kasusku, sementara kita akan lebih banyak pergi
ke padang bunga, ilalang di bawah bintang, kertas-kertas puisi, mengais hidup
di antara orang-orang dibanding teori-teori (Oh ya, bukan berarti kita tidak
bisa ke gunung dan demikian sebaliknya). Kita juga mengembara. Dan kita membawa
rumah juga dalam diri kita.
Tentunya, orang yang bertandang ke rumah kita ini
harus lah orang-orang yang sudah memiliki keinginan untuk sedenter, dan
bukanlah seorang nomad. Dalam kasusmu, mungkin ia adalah nomad, Rum. Mungkin
lelakimu itu seseorang yang bahkan masih mencoba membangun rumahnya dan ia
pergi ke seluruh penjuru dunia mencari bahan-bahan material. Jadi aku harap
kamu juga tidak menyerah mencari atau menunggu seseorang yang sudah memiliki
rumah dan akan jatuh cinta pada rumahmu. Kamu itu sudah “lebih” dari dia, aku
melihatmu telah menyelesaikan sebuah rumah (dan dia belum), meski kamu juga
terus-terusan mencari ornamen dan bahan untuk menghias rumahmu.
Jadi, aku lega aku sudah tau apa yang harus
kulakukan, Arum. Kamu membuatku menyadarinya (bersama seorang sahabat yang
menghiburku kemarin). Aku harus membuat rumah untuk diriku sendiri dahulu. Ia
juga. Lalu, saat kami siap, kami bisa memutuskan akan pindah ke rumah yang mana
(atau mempertahankan keduanya). Toh rumah bisa direnovasi, dan renovasi bisa
melibatkan kedua arsitek – tetapi yang terpenting, kami telah mengetahui
baik-baik rumah kami sendiri. Dan, yang terpenting lagi bukanlah menjadi sebuah
rumah utuh tempat ia berpulang, tapi untuk menjadi rumah yang bagiannya bisa ia
bawa-bawa dalam hatinya.
Lalu, Arum. Tentang serpihmu yang Hands, Time, and
Letter, aku mau berterima kasih. Aku akan mengingat kata-katamu yang ini—
“...The back of this hands has not been fully
painted with the universe. It has been painted only with what these eyes has
seen. It is not much, perhaps it is less than what you have seen. So with this
letter come a plea: please paint this hands with experiences, heartbreaks,
loss. I am not hoping and I am not asking for you to stay. I want you
to travel, I want you to go. To come
back with more sights I could not even direct my eyes at. To come back with
stories that sings sweet songs to my ears. I want you to remember me as the
hands who would let you go when you feel like it. I don’t want to be the hands
that hold you back.”
—seperti aku ingin
berkata padanya. Tapi, Rum, aku akan berkata: kau boleh mencintai pasir. Serta
belajar untuk merelakan mereka. Tapi aku akan mendoakanmu, agar suatu hari
kerang-kerang putihlah yang akan menyelip dalam tanganmu dan bisa kau bawa
pulang. Kau juga boleh mencintai ombak – karena ia akan selalu ada di sana.
Tetapi aku sudah mempelajari bahwa laut adalah sebuah pelajaran tentang hal-hal
yang tak abadi dan bergerak dalam suatu ritme. Aku, seperti dan tidak seperti Alchyon
yang menunggu Keix untuk kembali dari samudera, ingin kembali ke rumah dan
menyalakan pendiangan. Karena pada akhirnya, lelakiku bukanlah pasir. Atau
kerang-kerang. Atau ombak. Atau bahkan samudera. Lelakiku tetaplah seorang
manusia yang membutuhkan rumah. Demikian juga lelakimu – kuharap. Suatu saat
nanti.
Jadi. Aku mungkin tidak
akan pernah memahami sepenuhnya pikirannya seperti ia takkan pernah merasakan
sepenuhnya perasaanku, karena kenyataannya memang seperti itu. Tapi bukan tanpa
alasan orang yang sangat berbeda bisa saling jatuh cinta. Aku sangat berharap,
mungkin kami bisa mempelajari, bahwa saling mencintai adalah berdamai pada dua
perbedaan, dengan jemari yang masih saling mengikat dan diri yang saling
menguatkan. Dengan kedamaian itu lah, aku rasa, dan yang sedang tengah
kupelajari, aku hidup bersamanya selama-lamanya – dalam morfologi apapun. Dan
percaya lah, Arum, aku sedang hidup untuk memupuk rasa cinta itu, mengembangkan
diriku untuk diriku dan pada akhirnya untuk dirinnya. Terakhir, dalam penutup surat ini,
aku telah melingkar kelingking pada Father’s Time, atau Waktu (dalam bahasaku)
yang berjanji akan membuktikan semuanya.
Salam sayang,
Shabia.
P.S: Arum, kamu bukan
satu-satunya subjek yang aku kirimi surat ini. Kamu pasti mengerti, dan tidak
keberatan, kan?
P.S.S: Aku sayang Arum!