Halo! Saya bikin cerita perjalanan lagi! Kali ini, saya akan
menceritakan perjalanan saya mendaki gunung yang tak terlalu tinggi, setelah
sekian lama saya belom pernah naik gunung lagi.
.
.
.
Sekitar dua hari
yang lalu, tepatnya tanggal 24 September, saya dan beberapa orang teman: Mas
Aziz, Wisnu, dan Mas Lanang memulai pendakian ke Gunung Andong yang berdiri
kukuh di Magelang. Andong rendah saja, tingginya 1726 mdpl, dan waktu tempuh ke
atasnya nggak terlalu lama. Kurang lebih sekitar
1,5 - 2 jam lamanya.
Lucunya, motivasi
naik gunung ini agak miris (dan di sisi lain puitis HA). Sejak dua tahun yang
lalu, saya pengen banget ngerayain ultah saya di atas gunung, dan waktu itu
pengennya Semeru. Tapi karena medan Semeru berat dan saya gak cukup kuat,
akhirnya saya mikir: ya udah gunung apa aja juga boleh. Lalu muncul masalah
lain. Saya punya firasat ultah ini akan jadi ultah terburuk saya. HEHEHE. Tidak
ada keluarga (untuk pertama kalinya: tahun lalu saya bahkan sampe pulang ke
Jakarta) karena kedua orangtua saya sedang sibuk, saya baru putus dari lelaki
terakhir saya, dan teman-teman saya juga sibuk dengan urusannya masing-masing.
Saya juga sedang galau (lol saya gak malu mengakuinya) dan dulu saya pernah
membuka kegalauan ini dengan gunung, saya juga ingin mengakhiri dengan gunung.
Jadi sejak seminggu sebelumnya saya minta ke Mas Aziz yang memang sudah
menguasai gunung di Jateng buat nemenin saya. Gak sangka dia mau! Lalu menyusul
anak-anak lainnya yang pengen ikut, yang ternyata motivasinya juga lagi galau.
WGWG.
Hujan Deras, Ponco Hijau, Wisnu bengong. |
Kami berangkat
dari Jogja pukul 14.30-an yang sebenarnya sudah sangat telat karena hujan
mengguyur Kota Jogja. Kami sempat kering di perbatasan Magelang-Jogja, lalu
diguyur hujan yang kali ini diiringi angin sesampainya di daerah Kopeng.
Alhasil celana kami kuyup semua, Voye (motor saya) juga becek :( kami sampai di
Pos Gogik sekitar pukul 17.30-an, padahal awalnya kami gak berencana mendaki
malam. Di sini kami mengurus tiket, istirahat dan mengeringkan diri, lalu minum
teh dan makan bakso. Oh ya, Pos Gogik ini bisa dicapai melalui Kopeng kemudian
ambil arah ke Dusun Ngablak. Pos Gogik ini merupakan jalur yang paling mudah
dan cepat untuk menuju ke atas, tapi emang muaranya Puncak Alap-Alap, bukan
Puncak Andong (ada dua puncak, paling tinggi Puncak Andong).
Peta Jalur di Base Camp Gogik |
Siap-siap di Base Camp Gogik |
KAMI MENDAKI
MALAM, sudah gitu harus pakai ponco karena hujan gerimis. Bisa dibayangkan
ribetnya kayak apa, apalagi saya. Sudah gitu ketika mendaki, tubuh saya yang
memang butuh proses aklimatisasi lama (sekitar 1.5 jam tubuh saya baru bisa
adaptasi sama tekanan dan suhu sekitar. Huft.) dan emang karena badan saya tuh
lemah, saya pun sering meminta untuk istirahat setiap 15-30 menit sekali.
Ketika kami istirahat, kami mendapat pemandangan Gunung Telomoyo yang gelap dan
Merbabu nun jauh di sana. Kota Magelang dan Salatiga juga sayup-sayup terlihat.
Sekadar mengingatkan, medan mendaki Andong tidak memiliki bonus (jalur datar)
walaupun relatif pendek. Jadi, memang sedikit susah. Apalagi medannya
tanah-rumput, jadi juga agak licin.
Pukul 21.00 kurang
akhirnya kami sampai di bawah Puncak Alap-Alap dan memutuskan nge-camp di bawah puncak saja karena angin
gunung cukup berbahaya: frame tenda bisa terbang dan kami bisa menggigil di
atas. Kami berempat langsung mendirikan tenda, mengganti pakaian yang basah
(bahkan kaos Wisnu bisa diperes ewww), naruh barang-barang, mengeluarkan
amunisi memasak, lalu siap-siap makan malam. Hehehe asyik!
Kami baru bersiap
untuk tidur pukul 23.00, dan saya sudah malas banget berpikir untuk
membangunkan diri saya jam 00.00 karena apa yang harus dirayakan? Ditambah,
kaki saya pegel. Ugh. BTW ini lucu banget, saya ngerasa canggung soalnya ini
pertama kalinya saya ngedaki sama cowo semua. Tapi ternyata mereka
santai-santai aja, malah antusias kalo saya bilang maaf kalo malem-malem saya
reflek meluk karena ngira mereka guling :( tapi ternyata saya berhasil ga meluk
siapa-siapa HAKHAKHAK.
Kagetnya, pukul
00.20, Emak Bapak saya nelpon saya, ngucapin ultah. Hehe, ternyata sinyal Telkomsel
masih kuat sampe puncak, bro! Saya yang ngantuk ini ngangkat dan bilang
makasih-makasih aja, lalu tepar lagi. Eh, jam 3.15an saya dibangunin Mas Aziz,
ternyata dia bakarin saya roti bakar (ya iyalah) lengkap dengan meises dan
lilin yang nyala, lalu ngucapin selamat ultah:"""") Mas
Aziz memang kakak yang baik (kita sering dikira kembar kalau di Antro). Yey,
saya tiup lilin deh di dalem tenda.
"Selamat ulang tahun, Dek." |
Pagi-pagi, setelah
saya tewas lagi sehabis dikasih kue, saya bangun karena suara ribut-ribut Mas
Aziz yang sudah bangun karena lagi beresin alat-alat masak. Karena saya
ngantuk, saya tidur lagi, ngantuk, tidur lagi, sampe Mas Aziz geli sendiri
ngeliatnya. Soalnya saya agak sedih! Saya kan punya obsesi (bukan obsesi sih,
apa ya ... semacam kecintaan) terhadap matahari terbit, dan ternyata walaupun
siluet mentari pagi cukup keliatan di ufuk timur ... ia gak terlalu bersinar
karena ada kabut di kaki cakrawala :( sedih deh. Untung pas mataharinya agak
naik dan kabut menipis, baru terlihat deh bagusnya.
Puncak Gunung Telomoyo, pas di samping tenda. |
Matahari Pagi |
Pemandangan Tenda Tetangga dan hei, nun jauh di sana, ada Lawu! |
dari dalam tenda, pada suatu pagi |
PESTA MAKAN!: Yam Goyeng x Sayur Sop x Nasi |
Setelah puas-puas
ngeliat matahari terbit dan embun yang ngebuat rumput-rumput di sekitar tenda
kami jadi romantis, Wisnu dan Mas Lanang yang gak lama menyusul kebangunan (?)
kami, kami segera masak-masak. Saya bersikeras ngupas wortel, yang ternyata
caranya salah. HAHAHAH malu, ya, ketauan deh jarang di dapur. Tapi untungnya
sayur sop saya lumayan, lumayan hambar maksudnya. Kami pesta makan, lho. Siapa
lagi coba yang naik gunung masak ayam goreng dan sayur sop + sosis rebus?
:>
Habis makan, saya
dan Mas Aziz jalan ke arah puncak, kami pengen ke Puncak Alap-Alap, lalu ke
Jembatan Setan, dan terakhir ke Puncak Andong. Seperti biasa, saya membawa
jurnal saya yang selalu saya tulis sesuatu kalau naik gunung. Puncak bisa bawa
inspirasi, soalnya.
Membuat jurnal di sini, melayangkan pandang ke Jembatan Setan dan Puncak Andong di seberang. |
1726 mdpl |
Kami cukup lama di
puncak dan angin menderu-deru di Jembatan Setan, tapi pemandangannya bagus
banget ... sampe di Puncak Andong, buset deh, rame! Kami sampai gak
punya kesempatan foto di tugu 1726 mdpl. Ya udah deh, saya moto orang, terus
turun lagi. Ternyata kabut tipis udah semakin turun. Semakin bergegaslah kami
ke tenda.
Cie beberes nih ye |
Pukul 11.00, kami
mengepak barang-barang kami untuk turun, melipat tenda, dan bersiap-siap
memulai perjalanan kembali. Nih yang paling saya gak suka. Sejujurnya saya
lebih menguasai teknik mendaki daripada teknik turun gunung. SAYA KEPLESET
TERUS :""""( pantat sama paha saya sampe gemetar. Karena
Andong bermedan tanah dan batu-batu, makin stress lah saya! Ada satu part di
mana saya akhirnya putus asa terus meluncur pake sepatu, alhasil kaki ke bawah
penuh tanah coklat. Huft (sampe sekarang kaki saya juga masih pegel banget
haaaaa).
kakak ajij |
Anthropos Terjang Hujan! HEHEHEHE |
TUH MEDANNYA. lalu mas lanang ngetawain saya mulu tiap denger suara "syuut" di belakang: maksudnya saya kepeleset. |
Dan pukul 12.35-an
setelah gerimis di kawasan hutan, AKHIRNYA SAMPE BASECAMP GOGIK LAGIII... saya
langsung ngegelesor minum teh manis hangat, merasa senang sekaligus kesel. Kaki
saya sengklek....
Pukul 13.10,
akhirnya kami bersiap-siap untuk pulang. Naasnya, baru keluar dari Kecamatan
Ngablak, hujan angin lagi! Kami pergi dengan kuyup, pulang dengan kuyup. Tapi,
pemandangan di kiri kanan sangat indah (walau diselingi rintik) karena kami
lewat Ketep Pass dan persawahan warga. Kami sampai di kosan saya pada pukul
15.30, dan saya langsung tepar.
Pada akhirnya,
apa? Andong, seperti Merbabu, membawa saya terhadap kesadaran yang pernah saya
tulis di suatu post atau di satu surat dua tahun yang lalu. Gunung tidak pernah
memberikan jawaban. Ia hanya mengukuhkan. Ia cuma memberikan pertanda kalau
kita terlalu buta. Dan ya, turun gunung, hati saya masih kosong. Tapi ada yang
baru di sana—pengukuhan. Saya sudah setinggi ini! Masa saya gak mempelajari
sesuatu?
sendirian dan kedinginan, tapi toh merekah sempurna. latar belakang: Gunung Merapi dan Merbabu. |
Dan mengutip
jurnal saya:
Awal bisa
menjadi apa saja.
Dan, laut
memang berisi hal-hal yang tak pasti. Debur ombak akan pergi dan kembali. Kau
mau menunggu? Silakan. Tapi untuk saat ini, beralihlah ke gunung. Masih ada
mimpi-mimpi yang patut diwujudkan. Masih ada puncak yang menunggu sebuah
harapan untuk direalisasikan. Masih ada lereng yang membawamu dari titik
terendah menuju titik tertinggi.
Dengar ini:
Laut bisa
menunggu.
Gadis 18 tahun :) |
Selamat ulang
tahun, Shabia, dan saya mengirim berkah Semesta untuk kalian semua! :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar