Kusaksikan matamu sayu
dan agak hampa. Kau lelah mencintai, itu jelas. Kamu tampak selalu sedikit
lebih sedih dari orang biasa, bahkan ketika kamu terlalu bahagia. Kegelapan
sudah menjadi sifatmu, namun tak dinyana, sifat itu yang menarik
manusia-manusia keluar dari langkan, bertanya-tanya, seperti apakah kau ini?
Kau setia dalam sebuah emosi yang tabu, kau anggun dalam dukamu, bahkan kau
atraktif dalam pandanganmu yang pesimis. Cakapmu adalah sebuah nada jujur,
sinestesia yang memaknai kata. Hari-hari bersamamu tak pernah bosan, seperti
cerita pengantar tidur yang hanya berujung lelap dalam sebuah buai.
Aku selalu diam tak bersuara melihat pesonamu. Tak
pernah mengakui, karena aku takut kau akan menjumpai, dibandingkan kekagumanku
tentangmu; aku bukan apa-apa. Aku sempat yakin kau mencintaiku, tetapi kini aku
takut itu hanya ilusi, sebelum aku menyakitimu terlanjur dalam dan setelah
semua itu terjadi, tak ada yang tersisa. Dan boleh dikatakan, hal itu memang
mewujud menjadi realita.
Kau punya kemampuan untuk melihat rinai hujan yang
berelasi dengan seringanan awan. Kau bisa melihat semesta tidak seperti
orang-orang lain melihat semesta. Kau memiliki ketetapan rasa, dan aku paling
iri dengan kemampuanmu yang satu itu. Kau tahu, aku takut dengan ketetapan. Aku
takut dengan ketegasan. Aku takut dengan penolakan. Maka kau pun sepertinya tahu apa yang
terjadi dengan ketakutan itu, segala hal jadi pergi.
Selamat malam.
— the more you sad, the more i love everything about you
November 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar