Aku menjalani hidupku akhir-akhir
ini sebagai sepotong kentang beku di tengah-tengah swalayan; menunggu untuk
jatuh ke lantai dingin dan merasa tak berharga.
Tapi pada akhirnya, malam ini aku
menangis. Dan rasanya lega sekali. Orang bilang mereka takut menghadapi
kesedihan, tapi aku malah menanti-nantinya. Aku sudah lama tidak merasakan
emosi yang dalam dan melankolis – hidupku akhir-akhir ini hanya berupa serangkaian
kode etik yang memaksaku untuk terus bergerak dan berinteraksi dengan
orang-orang yang bahkan tak terlalu kuanggap sanak. Aku lelah di dalam hati.
Aku rindu kesedihan dan kegelisahan yang bercokol dalam relung jiwaku dan
menstimulasi rasa puitisku. Aku sebegitu kangennya melarikan jemariku dalam
situasi yang genting: tatkala sebuah rasa menuntut untuk disuarakan ke dalam
untaian kata.
Mungkin malam ini adalah
kulminasi dari stres yang kupendam hingga ke alam bawah sadar. Kopi lah
pemicunya. Sebuah cold brew dan
berita tentang keberhasilan orang-orang hebat, yang tak lain adalah
teman-temanku. Mau jadi apa aku ini? Aku hanyalah sebongkah tubuh perempuan
berlekuk yang berlemak di sana-sini yang terlihat cerdas dan seksi tapi aku tak
lebih dari orang yang sering demotivasi, tak setia kawan, terlalu problematik,
punya banyak wacana, tidak bisa membuat determinasi, dan masih banyak lagi.
Aku tak punya masa depan. Aku tak punya harapan. Perjuanganku tidak cukup. Aku sampah.
Aku sampah. Aku takut. Aku takut jatuh dan tidak punya kekuatan untuk menjulang
kembali.
Betapa pikiranku kembali berisik
dengan rasa cemas. Akankah hidupku lebih baik dari ini? Akankah diriku
menjemput sesuatu yang bisa membuatku lebih bersinar lagi? Ketakutan sebenarnya
lebih kompleks, tapi aku takkan terlalu menuangkannya dengan gamblang dalam
tulisanku ini. Akhir-akhir ini aku juga mengingatkan diri untuk tidak terlalu
publik. Publik itu mengerikan, kau tahu.
Tapi ketahuilah, setelah
kecemasanku berkurang dan pikiranku yang berisik jadi berubah menjadi rangkaian
bisik-bisik, aku mendapati rasa syukur dan kelegaan kembali merayapi diriku.
Aku senang aku cemas. Berarti aku masih punya rasa untuk masa depanku. Setidaknya
aku tidak menjadi kentang di swalayan yang menunggu untuk dijatuhkan. Sekarang aku
kecoak yang masuk dalam pembuangan rahasia di swalayan yang sering mengganggu
kentang-kentang tadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar