Waktu kadang-kadang kerap menuai
pelik, seakan ia datang di saat yang tak tepat, padahal waktu adalah waktu itu sendiri.
Bayangkan skenario seperti ini:
kau punya gambaran soal suami yang ideal, yang bersama dirinya lah kau hendak
membaktikan jiwa dan ragamu, masa lalu, masa kini, dan masa depanmu, dan kepada
ia lah kalian akan membesarkan anak-cucu kalian dan kepada ia lah kau hendak disemayamkan
berdampingan, pada haribaan yang terakhir. Namun ia datang sekarang—di waktu di mana kau begitu jauh dari pencapaian diri,
dari kematangan hidup, dari mimpi-mimpi yang bahkan belum sempat disuarakan.
Tentu skenario ini bisa kau gubah dengan satu-dua pengorbanan: korbankan saja
mimpimu, hidup bersama dia, rajut mimpi barumu yang kau sulam berdua.
Semudah itu kah?
Skenario di atas adalah kata-kata
bersayap, ketika cinta bisa dipastikan dan pernikahan takkan mengundang
pergolakkan. Sebagai anak yang lahir dari orangtua yang juga pernah berkonflik,
aku mengerti betul bahwa pernikahan bukan institusi tanpa perselisihan. Ada
banyak rintangan yang bisa ikut campur: perselingkuhan, ketidaksepakatan akan
finansial, ketidakkompakan dalam membesarkan anak, ekspektasi yang tak bertemu
di tengah, bahkan tuntutan peran terbias gender. Kadang kau bisa menyelesaikan
dengan tetap bersama suamimu, kadang kau mencapai deadlock dan memutuskan untuk berpisah. Lalu ketika berpisah,
ketika mimpi dirajut berdua, bukankah rajutan itu jadi harus diuraikan dan kau
harus menyulam lagi dari awal? Itu pun kalau kau mampu menyulam. Kalau kau
hanya ikat-mengikat si benang, tanpa punya pandangan akan bermuara dalam bentuk
apa, atau berfungsi seperti apa si kumpulan benang ini—ia akan tetap jadi
benang.
--
Setelah aku berkontemplasi dan
mencerna orang-orang yang meneguhkan sikap untuk menjadi istri—atau
suami—seseorang, kulihat polanya berkisar pada titik di mana mereka sudah
melewati beberapa pencapaian mimpi. Dan pencapaian mimpi itu tak perlu
muluk-muluk, ada yang sudah pernah bekerja, ada yang sudah pernah membangun dan
tinggal di rumah sendiri, ada yang sudah melewati pelbagai pribadi, ada yang
sudah pernah menahbiskan kontribusi untuk orangtuanya sendiri. Intinya sama:
mereka sudah cukup dengan diri sendiri.
Maka bila seseorang yang kau
proyeksikan—dan memenuhi kriteria—soal suami datang di saat yang tak tepat, di
saat masih ada mimpi dan diri yang harus dicukupi, apakah kau berhak untuk
meminta ia menunggu beberapa saat, selama kau masih harus menunaikan mimpi dan
kecukupan diri? Kupikir berhak. Dengan satu syarat, dalam kurun waktu tersebut,
kau berusaha keras untuk menggenapi dan membuktikan diri. Demikian pula, kau
patut melihat kerja keras dirinya untuk menggenapi dan membuktikan diri. Kau
pun bisa melihat bagaimana kalian mengatasi rintangan paling ajeg dalam Jagad Manusia yang ringkih
ini: Sang Waktu, yang kadang bisa terasa begitu lama, kadang begitu cepat.
Ingatlah bahwa kalian toh telah memiliki satu
sama lain. Namun, kalian belum memiliki waktu. Dan waktu yang tepat diraih dengan predikat aktif, bukan predikat pasif.
Kau (dan kalian) yang mewujudkan.
Bukan ia yang di-wujudkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar