Tuhanku yang baik,
Maha Pengasih dan Penyayang,
ampunilah diriku yang tak bisa memeluk satu per satu dari mereka:
yang menderita,
yang merasakan kekerasan,
yang mengalami kehilangan yang teramat dahsyat,
yang dirundung luka dan trauma,
yang tak menemukan keadilan barang satu depa,
yang habis hidupnya sebelum membuka mulutnya.
Tuhanku,
dengan segala keterbatasan
aku hanya kuasa membaca cerita-cerita mereka
mengabarkan kisahnya dari satu ke lain insan
mencoba melakukan
apa yang bisa diemban seorang biasa
yang selalu kau lindungi dari tragedi
tak pernah merasa apa yang menimpa hidup mereka
(aku bertanya Tuhan: bagaimana orang bisa hidup setelah disiksa oleh majikannya dengan dicabut giginya pakai tang, bagaimana orang merasa sakit setelah digergaji hidup-hidup, bagaimana orang bisa percaya dengan orang lain setelah diperkosa dan dipaksa separuh hidupnya, bagaimana? bagaimana kau menciptakan toleransi yang begitu besar dan kekuatan untuk tidak hancur berkeping-keping? bagaimana kau menyelamatkan mereka di tengah rasa sakitnya?)
Tuhanku yang baik,
bila hidup adalah perkara menunda kekalahan (seperti kata chairil)
aku berdoa Surga-mu adalah kemenangan
tempat keadilan hadir dan ditegakkan
tempat segala darah dan luka tak pernah ada
aku berdoa api sucimu adalah imunitas yang melampaui rasa sakit,
dan kau antar jiwa-jiwa ini terbang
ke haribaan
di mana kekerasan tak boleh dan tak bisa bertandang
Tuhanku,
Kututup doaku dengan satu permintaan lain:
jadikanlah aku pembawa damai
Karena dengan mati berjuang
Kami bangkit kembali, untuk selama-lamanya
(puisi ini ditulis setelah membaca Mariance Kabu, teringat Salim Kancil, mengenang orang hilang di masa Orde Baru, dan korban-korban kekerasan seksual yang namanya disamarkan oleh berbagai media. Bait terakhir terinspirasi dari Doa St. Fransiskus dari Assisi, "Tuhan, Jadikanlah Aku Pembawa Damai")
Tidak ada komentar:
Posting Komentar