Kamis, 29 Januari 2015

Cinta itu Lucu, Ya?

Ada berapa banyak manusia di dunia ini? Oke, gak usah terlalu memakai kolam yang besar untuk melihat hubungan antar ikan: Ada berapa jumlah penduduk di Indonesia? Dengan umur penduduk dewasa di dalamnya? Dengan rasio antar laki-laki dan perempuan? 

Tahun 2014, jumlah penduduk di Indonesia itu 135.000.000 orang. bukan angka yang kecil, dan kita persempit lagi, kemungkinan jumlah penduduk usia 11 ke atas itu 3/5nya. Kita dapet hasil 81.000.000 penduduk! Masih banyak juga, iya kan.
.
.

Dari 81.000.000 orang itu, dengan pembagian yang kasar dan asal nebak, 6/10-nya perempuan, dan 4/10nya laki-laki. Ada berapa banyak peluang dari penduduk berbeda jender itu buat ketemu, kalo beruntung tertarik, kalo lebih beruntung lagi suka, kalo lebih lebih beruntung lagi sayang, kalo lebih lebih lebih beruntung lagi cinta dan menikah? Kemungkinan besar, terjadi pangkat-pangkat yang mencapai... entahlah. Gue bahkan pusing ngeliat digitnya.
.
.
Jadi sudah entah lama gue sering berpikir tentang keajaiban, keabsurdan, kegakjelasan, keunikan, --entah bagaimana kalian lebih suka membuat terminologinya-- cinta yang ada di dunia ini. Dan pikiran gue yang sudah tenggelam disesaki prioritas yang lebih penting itu kembali muncul ke permukaan pas gue tengah asyik-asyiknya ngeliatin profile orang di ask.fm (lalz it's not stalking by the way) dan ada answernya Natha, salah satu orang yang gue admire di Gonz, udah dari jaman jebot banget:

"... Lucu ya. Tuhan kreatif banget bikin "cinta kasih" di dunia, gw membayangkan mungkin Tuhan jua senyum2 liat anak2 nya kasmaran gitu hahah. Gak ada yang tau kalau nantinya siapa tau mereka memang bertahan dan jd suami istri. punya keluarga kecil.. saling sayang.. hangat.
Langsung inget film AADC yg syutingnya di gonz.. hahah. bersyukurlah kalian yang memiliki cinta dan di izinkan untuk saling mencintai."


Natha, kamu benar sekali.

Kadang gue mikir, satu orang seperti gue saja (maaf berorientasi diri sendiri dan terlihat menyombong, hehe) sudah mengalami beberapa *gak mau nyebutin* peristiwa romansa dan jatuh cinta. Tiga di antaranya terbalas dalam hubungan. Banyak di antaranya terbalas, tapi tidak terstruktur dalam hubungan. Lebih banyak lagi yang cuman sekedar peristiwa mengagumi dalam diam, atau yang paling nyesek, harapan palsu. Ehm.

Jadi totalnya: gue mengalami 20 kasus jatuh cinta! dengan plot yang berbeda. alur yang beda. ups and down, klimaks antiklimaks yang beda. dan di Indonesia ini, ada 81.000.000 orang yang mengalami sama dengan gue, dan bukan sesuatu yang gak mungkin kalo ada individu individu yang kita sebut player yang sendirinya bisa menghasilkan lebih: puluhan, mungkin kalo gila playing-nya ratusan. Nah, kalau kayak gitu, ada berapa kisah cinta dan kisah romansa di dunia ini, wahai teman-teman yang baik?

Kadang, lo bisa menjumpai kisah romansa bak dongeng-dongengnya Disney. Cintanya terbalas. happily ever after. Jenis cinta yang monoton tapi manis, yang cliche tapi fluffy, yang pada akhirnya selalu membawa kepada kebahagiaan.

Lo juga bisa menjumpai kisah cinta yang unik, anti-mainstream. Kayak Kugy sama Keenan di Perahu Kertas. Yang cewek unik dan peka sama semesta, yang cowo nyeni dan peka sama estetis. Gue juga punya temen (pake inisial aja ya), mereka unik abis: Jub dan Gun. Wen dan Ben. Juga Sen dan Nat. Mereka semua masih dalam tahap pacaran, dan semoga langgeng sampe nikah.

Ada juga tipikal kisah romansa yang bak perjodohan Edward-Bella di Twilight, atau Sangkuriang-Dayang Sumbi, atau kisah-kisah dimana keadaan terlalu sulit buat ngelampiasin cinta mereka. Ya, mereka ini adalah makhluk-makhluk pecinta yang tidak bisa mencinta karena cinta terlarang. Ada yang karena hubungan darah, status sosial, agama, ikatan pernikahan. Mereka yang nontonin kisah cinta ini akan merasa sangat senang karena konfliknya sangat terasa dan seru ngeliat emosi mereka (wahai, manusia-manusia kejam), tapi para pemeran sendiri serasa mau mati, mereka pasti udah capek-pek-pek ngadepin cinta terlarang yang memasung mereka. Gak usah jauh-jauh, affairnya Prince Charles dan Camilla yang sangat fenomenal. Kenapa Charles mau ninggalin Diana yang udah sebegitu perfectnya dan ngadepin kemelut yang bikin dunia nyerca dia? Iya, cinta. Cinta itu lucu. Tapi cinta itu taik, bikin orang jadi begok.

duh, jadi rambling.

Yang mau gue omongin, cinta itu lucu. lucu banget. Mungkin dengan umur segue yang masih sangat prematur, gue terlalu naif buat kata cinta kali ya? Dan gue sendiri punya prinsip, gak bakal ngomong "aku cinta kamu" kepada pendamping pra-pernikahan gue, karena cinta itu sakral. Butuh pertanggungjawaban besar. Kamu nggak boleh ninggalin orang yang kamu cintain. Plus, yang dapet kata "aku cinta kamu itu" harusnya suami lo doanggg karena ya iyaaa namanya juga cintrong, bow.

Cinta itu lucu, karena walaupun manusia selalu beranak-pinak dan dimana seharusnya versi kisah cinta mulai menipis dan mencapai kemonotonan (maksudnya gak ada lagi kisah cinta yang menarik buat didengerin atau disaksikan), selalu ada kisah cinta baru. Dengan objek yang berbeda. Lucu juga ngebayangin tahun lalu mungkin lo memandang si A dengan penuh cinta, terus kalian putus, dan kini lo memandang si B dengan penuh cinta. dan gak tau sampai kapan pandangan cinta itu akan bertahan. Bisa aja lo ngelirik C yang bahkan tadinya gak ada di bucket list lo atau bahkan list "orang-orang yang aduh bisa gue jadiin pacar ihihi"

Gue pun selalu merasa bahagia kalau melihat kawan-kawan gue mengalami cinta dengan caranya masing-masing. Ada yang masih berupa kasih platonis, sekadar meliat dari jauh: "gue seneng kalo ngeliat dia ketawa, bi", ada yang mengagumi dan deket secara sehari-hari tapi gak terbalas: "bi gue sayang dia, tapi dia suka sama orang lain...", ada yang berhasil "bi. gue lagi deket sama si anu" atau "bi gue akhirnya jadian sama si anu", ada yang bergejolak "lo musti tau si anu blablabla lagi sama gue, gue berantem lagi bi" dan ada yang-- "gue putus, bi." --kandas.

Kapan lagi lo ngebela-belain waktu dan tenaga lo buat create something yang bisa bikin orang yang lo cintai senyum, atau ketawa? kapan lagi lo ngerasa begitu hangat kalau dia sangat menghargai lo dan bertingkah impulsif, meluk lo-- nyium lo--belai rambut lo, nyelipin rambut lo ke belakang telinga, mainin pipi lo? Gak ada yang lebih hangat dari pelukan, dari orang yang kita cintai. Digandeng itu menenangkan, apalagi kalo ibu jari ada seakan ngasih gestur "gue ada di sini, di samping lo". Dipeluk, dibisikin "aku sayang kamu", "aku cinta kamu" ... berdua tidur berdampingan, natap mata satu sama lain, atau sekedar berbaring ngeliat hujan gerimis atau bintang jatuh? Gak ada yang lebih berharga dari itu, kalo semua itu dilakuin sama orang yang lo cintai. Dan rasanya dikecup, dicium--gak pernah kan lo ngerasa sedeket itu sama orang lain selain diri lo sendiri? Bahkan cinta yang ngegerakin lo buat ngelakuin itu. :)

Sounds cliche. but it's true in many ways. Gue pun yakin siapapun yang membaca post ini, akan membayangi orang yang dia cinta atau minimal suka--dengan jenis cinta dan kisah cinta yang beyond my imagination, betul? admit it! :p (karena gue sendiri juga ngebayangin orang yang gue cin--ups, sayang--ketika bikin post ini. hoho)

dan ya. cinta itu lucu karena gak pernah abis versi kisahnya. cinta itu lucu karena nagih, bikin pengecualian, cinta itu lucu karena seakan menjadi semua alasan kenapa ada kata pengorbanan. cinta itu lucu KARENA ADUH GUE GAK BIASA NULIS YANG KLISE DAN CHEESY KAYAK GINI TAPI GUE MALAH NULIS GINIAN DI SELA-SELA TRY OUT. HUFT.

Pokoknya, cinta itu lucu. perbanyak diri lo berkecimpung di kisah-kisah cinta selama lo masih bisa merasakan cinta dengan bebas (atau kisah-kisah sayang untuk remaja sepantar gue karena kita belum terlalu matang untuk bertanggungjawab sama "cinta"), karena beberapa tahun lagi, teman, kita akan dihadapin sama: cinta.

in books unread, we lie between their pages.
as they turn us to lovers like season's change -lang leav
(source: tumblr)

Kamis, 15 Januari 2015

Surat Untuk :


Halo.

Ketika kamu berdiri di ujung depan, berhadapan dengan khalayak dan satu linier dengan lokasiku duduk, aku merasa jutaan milisekon terhisap, melintasi dimensi dan waktu dengan gerakan mundur, dan membawa kita tepat ke satu tahun yang lalu. Lalu cuman ada kamu. Dan ada aku. Secara atensi, karena suara-suara orang lain hanya menjadi backsound.

Terbukti sudah portal waktu yang dicari para ilmuwan untuk berpindah zaman sia-sia belaka. Mereka mencari apa yang sudah ada dari waktu yang lama. Setiap dari kita memiliki portal waktu, bahkan lengkap dengan rekam perasaan dan sesekali, suasana yang ditangkap indra yang persis sama. Portal waktu tersebut ada dalam serebrum kita. Dan, aku tengah menggunakannya. Aku melintasi setahun hanya khusus beraparasi pada tanggal 15 Januari 2014. Waktu yang sama dan suasana yang sama.

Bukankah kita berubah?

Kala itu kita duduk bersisian. Pundak bertemu pundak. Baru saja menyelesaikan pertanyaan yang terkirim dariku kamu-masih-sayang-aku-atau-nggak yang kamu jawab dengan keyakinan penuh ya-aku-masih-sayang-sama-kamu-lah. Lalu kita berdebat. Tentang kandidat yang kamu suka dan aku tidak suka. Dengan tangan kita yang secara sembunyi-sembunyi bertaut, takut melanggar batas Public Display of Affection. Sekilas tak ada yang berubah, memang: Pesta Demokrasi, orang lain sebagai subjek pesta, dan posisi kita yang linier. Hanya tiga hal, yang cuman tiga tetapi krusial, yang kini telah bertransformasi. Posisi yang kini terentang jarak, kamu sebagai subjek pesta, dan… kita.

Apa kabar? (bahkan aku harus melewati tiga paragraf bertele-tele untuk bertanya ini.)

Kini aku sudah kembali menjejak tanah masa kini. Portal-ku tidak rusak, ia masih bisa meresonansikan ingatan. Dan aku kembali melihatmu. Yang berdiri penuh percaya diri di depan sana, tapi kutangkap satu-dua nada presentasi yang bergetar. Kamu gugup, tentu, kan?

Kamu berubah. Kamu bukan lilin yang polos lagi. Mungkin kamu sekarang sudah menjelma menjadi lentera atau bahkan bohlam wolfram. Hasil usaha-mu mati-matian itu—surai yang kini meriap-riap liar—rambut gondrong yang makin membuatmu mumpuni (iya kamu tambah ganteng. Jangan tinggi hati.) dan postur tubuhmu. Kepolosan masih mengendap di sana, tapi lilin itu sudah tak gampang meleleh sekarang. Kamu telah jauh lebih dewasa. Kamu tegap, kamu percaya diri, kamu kritis, kamu sampaikan visi misimu dengan lugas—lilin yang berjuang agar kerlipnya tak mati. Tapi, ada kepahitan di sana. Dan keinginan untuk membuktikan diri. Setahun sudah menunjukan bahwa sekolah kita menyimpan banyak kebusukan: sistemnya, makhluk-makhluknya, pengajarnya, bahkan romansanya? Mungkin aku juga ambil andil di salah satu kepahitan itu. Mungkin juga keluargamu. Atau hal lain. Tapi percaya lah, kepahitan ada agar dunia masih sempat memberikan gula untukmu. Tetap waspada, jangan sampai terbuai kemanisan, padahal yang dikasih ke kamu itu siklamat.

Aku juga berubah. Aku tambah gendut, tambah mulus (ini sarkasme), tambah dewasa, tambah beban, tambah tidak lugu, dan kini sudah menggenapkan diriku kepada orang lain. Seseorang yang seperti kamu yang dulu tapi juga tidak seperti kamu. (Tapi aku takkan membahas aku. atau dia. Kita akan membahas kamu.)

Aku sedih. Aku sedih kita berubah. Kini kita tak lebih dari dua pasang mata yang tabrakan di koridor yang dilanjutkan senyum. Formal. Dan tadi, ketika aku melihat pembuktian diri yang kamu pertaruhkan di depan sana ketika pertanyaan-pertanyaan sulit mulai bermunculan, aku ingin menghambur ke kamu. Menepuk bahumu dan berkata baik-baik saja. Menjadi ketua adalah visi yang lain dari dirimu selain keluarga dan akademis. Tapi, percaya lah, sekalipun kamu tidak jadi ketua, tidak apa-apa. Masih banyak peran lain yang harus kamu mainkan demi menyuburkan sekolah kita. Aku menyesal sempat memutuskan untuk jaga jarak denganmu dan tak bisa menyemangatimu. Aku kesal, kamu selalu menghinaku. (mengejek muka mulus itu menghina, loh. Apalagi untuk aku yang sensitivitasnya sudah kamu tahu banget.)

Aku bukan milikmu lagi. Kamu bukan milikku lagi. Kupikir dua hal itu yang paling krusial berubah di galaksi kita. Tapi, sadarkah kamu kita melangkah terlalu jauh? Kita pernah berjanji akan menyokong satu sama lain. Aku tak memintamu untuk kembali, hanya untuk bilang kita bisa seperti dulu sebelum periode itu, teman pulang, dimana kamu bisa ceritakan rahasiamu dan berbagi beban. Matamu masih sama seperti dulu. Lilin yang menerangi gelap, tapi juga punya gelapnya sendiri. Masalah-masalahmu makin baik kan? Atau makin buruk? Aku bahkan tak tahu. Aku pengin tahu.

Sebulan lagi dikurangi 4 hari, adalah tepat dimana kita memutuskan untuk melangkah di jalur eskalator yang berbeda. Tapi, arahnya masih sama. Jadi kita masih bisa ngobrol, masih bisa curhat. Masih bisa menunaikan pinky swear kita agar tak jadi bullshit belaka.

Aku tak tahu apakah pesan ini akan pernah sampai padamu atau tidak. Aku sudah mengirimkan pertanda, dan berharap kamu temukan jawabnya. Ayo pulang bareng lagi, berbagi beban, aku masih bisa jadi pendengar yang baik.

Jadi … itu saja. kalau kamu teliti, ada tiga hal penting di surat yang bertele-tele ini. Dan oh, ya, apa kabar si R***? Sebulan kurang 4 hari lagi, habis sudah masa perjanjian kita yang aku curangi—dan ayo lah, jadikan dia teman berlarimu. Dia sudah sepenuh hati ingin bersamamu, dan aku akan senang melihat kalian berjalan bersisian.

Jangan menyerah kepada kepahitan ya. Tetap berkeluh kesahlah denganku. Dan, cepat-cepat lepas status jomblomu. Ada yang nunggu, jangan sampai lepas lagi lho :)

Sampai mengobrol lagi. Kamu akan tetap menjadi lilin yang menjanterakan harsa dan keluguan bagi saya.

Salam,
B







Minggu, 11 Januari 2015

Tak Sudi Mati

Perlukah kita memanggil malam, mencuri sepi, menyiasati waktu, menyambangi jarak, hanya untuk melontar kerinduan dan merangkul gigil yang rambati iga kita?

Hendakkah Semesta menahan gerimisnya, redakan panasnya, mengacau sirkulasi oksigennya, hanya untuk ciptakan samsara dan derita agar kita tak semudah itu mengecap moksa?

Kita sadar, jagat yang satukan kita adalah jagat yang sulit untuk kompromi

Kita patuh, alam yang beri pertanda akan kita adalah alam yang juga suka sembunyikan makna.

Namun kita tak peduli; kita berkikik-canda, bergurau, sentrifugal ke ruang angkasa, kemudian berhenti di Phobos dan Deimos dan mulai mengitari Mars. Kita lihat Venus bagai kejora petang yang kesepian tanpa teman. Elongasi tak berlaku. Andromeda bagaikan satu mikrokoma yang bisa kita raih tanpa jemu.

Tak ada jalan untuk kembali, tetapi kita santai sambil mengongkang kaki


Lalu: kita mengecup busur sesama, berpeluk serupa Ares Aphrodite di ranjang penuh jebakan, kita tak peduli, kita adalah dua yang tak sudi mati