Halo.
Ketika kamu
berdiri di ujung depan, berhadapan dengan khalayak dan satu linier dengan
lokasiku duduk, aku merasa jutaan milisekon terhisap, melintasi dimensi dan
waktu dengan gerakan mundur, dan membawa kita tepat ke satu tahun yang lalu.
Lalu cuman ada kamu. Dan ada aku. Secara atensi, karena suara-suara orang lain
hanya menjadi backsound.
Terbukti
sudah portal waktu yang dicari para ilmuwan untuk berpindah zaman sia-sia
belaka. Mereka mencari apa yang sudah ada dari waktu yang lama. Setiap dari
kita memiliki portal waktu, bahkan lengkap dengan rekam perasaan dan sesekali,
suasana yang ditangkap indra yang persis sama. Portal waktu tersebut ada dalam
serebrum kita. Dan, aku tengah menggunakannya. Aku melintasi setahun hanya
khusus beraparasi pada tanggal 15 Januari 2014. Waktu yang sama dan suasana
yang sama.
Bukankah
kita berubah?
Kala itu
kita duduk bersisian. Pundak bertemu pundak. Baru saja menyelesaikan pertanyaan
yang terkirim dariku kamu-masih-sayang-aku-atau-nggak yang kamu jawab dengan
keyakinan penuh ya-aku-masih-sayang-sama-kamu-lah. Lalu kita berdebat. Tentang
kandidat yang kamu suka dan aku tidak suka. Dengan tangan kita yang secara
sembunyi-sembunyi bertaut, takut melanggar batas Public Display of Affection. Sekilas tak ada yang berubah, memang:
Pesta Demokrasi, orang lain sebagai subjek pesta, dan posisi kita yang linier. Hanya
tiga hal, yang cuman tiga tetapi krusial, yang kini telah bertransformasi.
Posisi yang kini terentang jarak, kamu sebagai subjek pesta, dan… kita.
Apa kabar?
(bahkan aku harus melewati tiga paragraf bertele-tele untuk bertanya ini.)
Kini aku
sudah kembali menjejak tanah masa kini. Portal-ku tidak rusak, ia masih bisa
meresonansikan ingatan. Dan aku kembali melihatmu. Yang berdiri penuh percaya
diri di depan sana, tapi kutangkap satu-dua nada presentasi yang bergetar. Kamu
gugup, tentu, kan?
Kamu
berubah. Kamu bukan lilin yang polos lagi. Mungkin kamu sekarang sudah menjelma
menjadi lentera atau bahkan bohlam wolfram. Hasil usaha-mu mati-matian
itu—surai yang kini meriap-riap liar—rambut gondrong yang makin membuatmu
mumpuni (iya kamu tambah ganteng. Jangan tinggi hati.) dan postur tubuhmu.
Kepolosan masih mengendap di sana, tapi lilin itu sudah tak gampang meleleh
sekarang. Kamu telah jauh lebih dewasa. Kamu tegap, kamu percaya diri, kamu
kritis, kamu sampaikan visi misimu dengan lugas—lilin yang berjuang agar
kerlipnya tak mati. Tapi, ada kepahitan di sana. Dan keinginan untuk
membuktikan diri. Setahun sudah menunjukan bahwa sekolah kita menyimpan banyak
kebusukan: sistemnya, makhluk-makhluknya, pengajarnya, bahkan romansanya?
Mungkin aku juga ambil andil di salah satu kepahitan itu. Mungkin juga
keluargamu. Atau hal lain. Tapi percaya lah, kepahitan ada agar dunia masih
sempat memberikan gula untukmu. Tetap waspada, jangan sampai terbuai kemanisan,
padahal yang dikasih ke kamu itu siklamat.
Aku juga
berubah. Aku tambah gendut, tambah mulus (ini sarkasme), tambah dewasa, tambah
beban, tambah tidak lugu, dan kini sudah menggenapkan diriku kepada orang lain.
Seseorang yang seperti kamu yang dulu tapi juga tidak seperti kamu. (Tapi aku
takkan membahas aku. atau dia. Kita akan membahas kamu.)
Aku sedih.
Aku sedih kita berubah. Kini kita tak lebih dari dua pasang mata yang tabrakan
di koridor yang dilanjutkan senyum. Formal. Dan tadi, ketika aku melihat
pembuktian diri yang kamu pertaruhkan di depan sana ketika
pertanyaan-pertanyaan sulit mulai bermunculan, aku ingin menghambur ke kamu.
Menepuk bahumu dan berkata baik-baik saja. Menjadi ketua adalah visi yang lain
dari dirimu selain keluarga dan akademis. Tapi, percaya lah, sekalipun kamu
tidak jadi ketua, tidak apa-apa. Masih banyak peran lain yang harus kamu
mainkan demi menyuburkan sekolah kita. Aku menyesal sempat memutuskan untuk
jaga jarak denganmu dan tak bisa menyemangatimu. Aku kesal, kamu selalu
menghinaku. (mengejek muka mulus itu menghina, loh. Apalagi untuk aku yang
sensitivitasnya sudah kamu tahu banget.)
Aku bukan
milikmu lagi. Kamu bukan milikku lagi. Kupikir dua hal itu yang paling krusial berubah
di galaksi kita. Tapi, sadarkah kamu kita melangkah terlalu jauh? Kita pernah
berjanji akan menyokong satu sama lain. Aku tak memintamu untuk kembali, hanya
untuk bilang kita bisa seperti dulu sebelum periode itu, teman pulang, dimana
kamu bisa ceritakan rahasiamu dan berbagi beban. Matamu masih sama seperti
dulu. Lilin yang menerangi gelap, tapi juga punya gelapnya sendiri.
Masalah-masalahmu makin baik kan? Atau makin buruk? Aku bahkan tak tahu. Aku
pengin tahu.
Sebulan lagi
dikurangi 4 hari, adalah tepat dimana kita memutuskan untuk melangkah di jalur
eskalator yang berbeda. Tapi, arahnya masih sama. Jadi kita masih bisa ngobrol, masih bisa curhat. Masih bisa
menunaikan pinky swear kita agar tak
jadi bullshit belaka.
Aku tak tahu
apakah pesan ini akan pernah sampai padamu atau tidak. Aku sudah mengirimkan
pertanda, dan berharap kamu temukan jawabnya. Ayo pulang bareng lagi, berbagi beban, aku masih bisa jadi pendengar
yang baik.
Jadi … itu
saja. kalau kamu teliti, ada tiga hal penting di surat yang bertele-tele ini. Dan
oh, ya, apa kabar si R***? Sebulan kurang 4 hari lagi, habis sudah masa
perjanjian kita yang aku curangi—dan ayo lah, jadikan dia teman berlarimu. Dia
sudah sepenuh hati ingin bersamamu, dan aku akan senang melihat kalian berjalan
bersisian.
Jangan
menyerah kepada kepahitan ya. Tetap berkeluh kesahlah denganku. Dan,
cepat-cepat lepas status jomblomu. Ada yang nunggu, jangan sampai lepas lagi lho :)
Sampai
mengobrol lagi. Kamu akan tetap menjadi lilin yang menjanterakan harsa dan keluguan
bagi saya.
Salam,
B
Tidak ada komentar:
Posting Komentar