So one week ago, I was waiting S11 in front of my school after practical test that
made my day became sucks, and I was searching some solution to refresh my mood.
Then suddenly
this great idea came to me. I decided to bring my feet to Salihara, as I remember
there is one exhibition and still available to visit. And I was right,
Salihara seemed so lonely that afternoon; the display room was tedious and
there’s no one but me (and also the caretaker) in that exhibition. But I like
it tho, because I can enjoy and explore the masterpiece of the artist by myself
alone.
(Okay. Enough for
writing so much of English phrases right here. I was prepared for speaking
examination when I wrote this article too.)
---
Jadi tepatnya
hari Rabu, tanggal 26 Februari 2015 berdirilah saya di ruang pameran Salihara.
Untuk yang belum tahu Salihara, Salihara adalah sebuah komunitas dimana sering
diadakan pertemuan, pameran, pentas, konser, teater, workshop, dan lain-lainnya yang berbau-bau seni, filosofis,
politik, pokoknya sesuatu yang for instance bisa dipelajarin sama orang-orang
‘kaya’. Bagi yang tertarik untuk mengunjungi, ini website resminya:
Dan ini keempat
kalinya saya mengunjungi Salihara (yang hanya buat ambil brosur dan cuci-cuci
mata gak termasuk, ya.) setelah melihat-lihat pameran Asian Pop Culture, terus
nonton Australian Dance Theater, dan ngeliat pamerannya Mas Erik Prasetya yang
Estetika Banal. Dan beruntungnya, meskipun pameran yang ini tergolong kecil
dari jumlah materi pamerannya (hanya lukisan berupa layar hitam yang guede, 3D
Arts, documentary film, dan philosophy thing yang akan saya jelaskan
lebih lanjut di bawah), saya cukup menikmatinya karena saya sukaaaa sekali
dengan beberapa materi yang dipamerkan. Baik gimana pun, mau sejelek apapun, seni
selalu memanjakan mata saya, sih. Hehe.
Dikutip dari handbook Salihara yang saya dapatkan
secara cuma-cuma dari rak informasinya:
EXHIBITION OF WOMEN ARTIST’
WORKS: EXTENSIVE – THE OTHER SIDE
Seniman/Artist: Gitte Saetre, Mona
Nordaas, Ingeborg Annie Lindahl, Annie Knutsen.
Kurator/Curator: KJeel-Erik Ruud
In Bahasa Indonesia:
Extensive – The Other Side menampilkan karya-karya empat seniman
perempuan Norwegia kontemporer. Inilah karya-karya dari sebuah negeri yang
dikelilingi oleh pegunungan tinggi dan garis pantai yang panjang. Ada semacam
“isolasi artistic” yang membuat karya-karya mereka menarik. Ada isu global, di
samping soal-soal lokal yang diprotet dengan kepekaan artistic sang seminal yang
khas.
Ingeborg Annie Lindahl misalknya,
lewat perspektif mata burung menampilkan lanskap gunung api dalam rupa goresan
kapur tulis hitam. Sementara Mona Nordaas mengangkat kembali konsep
“metamorphosis” dengan mendefinisikan kembali sampah dari kehidupan sehari-hari
sebagai karya seni.
Gitte Saetre menampilkan video performance tentang pekerjaan
“membersihkan” yang memiliki pesan politik yang sangat kuat dan menantang
keterlibatan pemirsa. Adapun Anne Knutsen berbicara tentang pertanian oleh
perubahan iklim..
In English:
Extensive
– The Other Side exhibits artwork from four contemporary Norwegian women
artist. These artworks come from a country surrounded by high mountains and
long coastlines. There is a kind of “Artistic isolation” that makes their artworks
very interesting. There are global issues, besides the local contents,
portrayed with the distinctive artistic sensitivity of the artist.
Ingeborg Annie Lindahl, for
instance, through bird’s eye perspective, exhibits a volcanic mountain
landscape using white chalk on blackboards. Meanwhile, Mona Nordaas
re-highlights the concept of “metamorphosis” by redefining everyday rubbish as
artworks.
Gitta Saetre screens a performance
video about a “cleaning” job that conveys a strong political message and challenges
the viewers involvement. Meanwhile, Anne Knutsen reflects on how agriculture is
under the threat of climate change.
(I disclaim for the content. Copyright
belongs to Salihara.)
Karena pameran
ini berlangsung dari 7 Februari hingga 28 Februari, saya termasuk datang di
saat-saat terakhir, dan saya bersyukur karena menyempatkan diri untuk
bertandang sejenak, karena pamerannya worth
it!
Memasuki ruang
pameran, mungkin karena saya selalu tertarik dengan benda-benda berwarna gelap
atau karena pemandangan yang langsung menyita perhatian saya adalah dinding, hingga
mata saya langsung tertuju ke layar hitam yang dibentangkan dari kanan ke kiri
(ruang pameran Salihara berbentuk lingkaran) dengan lukisan kapur berwarna
putih di atasnya. Apa istilah Indonesia untuk breathtaking? Oh, ya, kehabisan napas. Saya sempat nyesek ngeliat lukisannya (ini gak
lebay, lho), karena keren, monokrom gitu!
(gambar letusan |
( |
Impresi pertama
saya adalah: wah, mega sekali lukisannya, perspektifnya bagus banget untuk
mengeksplor sisi filosofis gunung. Ternyata bener juga, saat saya baca
keterangan lebih lanjut, ternyata lukisan gunung dari kapur itu memang punya
arti filosofis dan dilihat dari sisi pandang burung sebagai makhluk “bebas”.
Usut punya usut,
lukisan ini adalah karya masterpiece
dari: Ingeborg Annie Lindahl! Dari kiri ke kanan, lukisan pertama adalah
lukisan gunung yang mungkin bertipe strato—seperti kebanyakan gunung di
Indonesia. Kelihatan pasif. Lalu gunung kedua, yang kini gunung itu disandingi
dengan gunung lain jadi mungkin bisa disebut pegunungan, bentuknya masih
strato. Memasuki gunung ketiga, gunung yang masih terlihat pasif, tetapi
bentuknya sudah perisai (seperti Gunung Bromo). Lalu gunung keempat, perspektif
mulai berubah. Gunungnya menampakkan ciri-ciri aktif: asap yang pekat. Mungkin
itu pra-erupsi atau ketika erupsi, karena tampak wedhus gembel yang bergumpal-gumpal. Gunung keempat, menampakkan
semburan lahar ke atas langit. Gunung kelima, gunungnya sudah jinak kembali.
Saya mendapatkan gambaran umum kalau gunung terakhir itu pemandangan di Norway,
yaitu berupa kawah. Tapi Faris (yang pada hari kedua ikut sama saya),
menyuarakan pikirannya bahwa lukisan itu terlihat seperti Danau Sagara Anakan
di Rinjani, Lombok.
Keren sekali, ya,
mbak Lindahl ini. Ia memaparkan, lukisan ciptaannya itu menekankan pada proses
pelukisannya yang nggak permanen. ia memilih bentuk gunung sebagai metafora
dari suatu hal yang sering dieksploitasi orang namun pada kenyataannya tidak
permanen dan bisa meledak pada suatu saat. Setelah saya ngekepoin biografinya
di internet pun, saya tahu Lindahl sudah berkutat dengan kapur dan layar hitam
hampir lama, dan ia nyaris menggambar bentuk-bentuk pemandangan atau kontur
alam untuk berfilosofi.
Dari persepsi
saya sendiri, saya menganggap bahwa lukisan Annie Lindahl menggambarkan suatu
proses. Bagaimana mulanya alam adalah sosok yang megah dan mudah dieksploitasi,
dan terkadang terlihat seperti subjek yang dikontrol manusia, padahal pada
kenyataannya adalah, mereka adalah objek yang mengontrol manusia. Fisis determinis. Lalu bagaimana
sesuatu yang kelihatan permanen seperti gunung sebenarnya tidak permanen dan
cenderung bisa menimbulkan letusan. Namun dari letusan itu, fenomena-fenomena
kenampakan alam bisa terbentuk. Mungkin dari sudut pandang geografi, lukisan
ini adalah penggambaran sempurna dari siklus vulkanisme—melahirkan danau,
lahar, kawah, dll. Dari sudut pandang sosiologi, sebuah re-integrasi dari
konflik. Sudut pandang filosofis, seperti yang saya paparkan di atas. Belum
lagi sudut pandang ideologis dan politik. Seni adalah sebuah equivocal—saya telah belajar bahwa
mereka mengapproach audience dan
menimbulkan arti yang berbeda-beda.
tasnya berlalu sebagai pot btw |
Kemudian setelah
puas menikmati dinding, mata saya bergerak ke sayap tenggara, di mana ada
sebuah backpack lusuh, isinya ada ranting tanaman yang meranggas. Ini adalah
karya metaforik dari Anne Knutsen “A Traveler and His Tree”. Pesan yang saya
tangkap dari sebuah representasi ini adalah: bagaimana seseorang harus membawa warisan
“keluarga” (yang ternyata barulah saya tahu “keluarga” itu adalah negara) di
beban di punggungnya dalam rangka melakukan perjalanan hidupnya. Jadi dia kayak
semacam (saya pake istilah kasar) multitasking,
sambil berusaha untuk menemukan hidup dirinya sendiri, dia juga membawa beban
tanggung jawabnya. Gitu. He carry the
duty with him on his shoulder; a backpack full of apples, parents,
grandparents, great-grandparents, expectation, and tradition. It more like
showing the metaphor of our duty as young generation to our ‘country’, ‘family’.
Terus, di samping
backpack tersebut ada—lima I-Pad!
Halah, mental kere saya langsung
muncul berasa mau ngambil (nggak deng). I-Pad tersebut menampilkan video
eksklusif karya Gitte Saetre, lima-limanya meaningful
and contain politic aspects. Yang pertama, Woman Cleaning Final Destination. Kedua, Woman Cleaning a Tank took place at Israel, Woman Cleaning (lupa, tentang bersihin shameness, maybe? Ah.) Terus
Woman Cleaning European History, dan
terakhir Woman Cleaning Nation Identity. Mungkin
karena basic saya menikmati karya
seni yang tradisional dan saya gak terlalu dalemin dokumenter, saya jadi gak
terlalu keambil hati yha. Tapi saya paling suka Woman Cleaning yang saya lupa
namanya , isinya tentang dia gak nyambut kedatengan Dalai Lama, karena terlalu
sibuk membersihkan negaranya. Keren ya :”) dia juga sempet bikin short film ini di Indonesia, tepatnya di
TPA (prediksi saya Bantar Gebang) jyang udulnya Woman Cleaning Final Destination. Itu keren juga (lebih karena saya
subjektif seneng negaranya dijadiin latar seni wuakaka).
Puas ngeliat film
dokumenter, sebenernya saya langsung girang karena juga akan memfokuskan
perhatian ke sesuatu yang sudah menarik perhatian saya sejak awal, hampir
berbarengan dengan karya Lindahl, tapi saya memutuskan untuk menikmatinya
terakhir. Dan karya itu adalah:
Nih dibold: Phyllotaxis, 2015 oleh Mona
Nordaas! Keren. Banget.
Woke, jadi according to the term, Phyllotaxis adalah: “suatu
susunan biologis yang sering didapati dari struktur daun, batang, atau sesuatu
yang memiliki range yang pasti”.
Dan ya, karya
Mona Nordaas ini berpola filotaksis. Setelah saya gugling, phyllotaxis pun sering didapati di tumbuh-tumbuhan dan selalu
memiliki sudut yang sama dari berbagai angle,
makanya dia disebut divergence angle.
Phyllotaxis ini rumit, mengandung barisan Fibonacci, ribet HEHE.
ini yang berwarna biru! |
ini yang berwarna merah: lihat! ada kartu, ada foto bekas pameran, terus tutup botol, stiker, koin, dll |
Yang menarik bagi
saya adalah karya ini: WARNA-WARNI BANGET! Luchuk! Eye catching, dan blinky.
Jadi seniman perempuan ini “memetamorfosiskan” barang-barang remeh temeh dan
barang-barang bekas menjadi mahakarya 3D seperti ini. Mbak Nordaas cerdas loh,
bukan hanya sembarang nyusun-nyusun barang, ia mengurutkannya jadi sebuah
gambar lambang yang warna-warni, merah kuning hijau biru hitam putih coklat dll
sbgnya. Semua barang bisa dipake, mulai dari koin, foto-foto bekas, hasil
print, kartu (saya sampe pengen ngambil kartu tarot yang masih bagus banget hiks), dll sebagainya. Yang juga
menarik, Mona Nordaas ini dalam semua
karya serupa menaruh semacam benda poros di tengah-tengah lambang. Seru ya :D
saya jadi pengen nerapin ini di rumah, tapi pasti Mama saya langsung berubah
jadi Eyang Sapu Jagad gatel pengen membenahi, hihi.
Agak susah
berfilosofi dan menafsirkan arti karya 3D
art ini, karena sang seniman sendiri juga mengartikan karya dia sebagai
sesuatu yang sederhana, cuman “metamorfosa”. Tadinya saya mikir tiap fragmen
beda warna ada artinya, tapi nggak juga. Selain nyeni, ternyata karya seperti
ini bisa menjadi gerakan yang menyelamatkan lingkungan loh, yaitu Recycle. Wow.
By putting together the most ordinary
thing into something beautiful, to give the viewer of the artwork the
opportunity to see things with a new look.
Maka sudah itu,
habislah sudah hal-hal yang bisa saya eksplor lagi. Saya pun jalan ke pintu
keluar untuk pulang, tapi perasaan yang sama selalu mendera saya di detik-detik
terakhir. Kalau sehabis mengunjungi pameran seni, hati saya tuh gatal pengen
berbagi pikiran sama orang biasa, orang ahli, atau bahkan mungkin senimannya
sekalian mengenai interpretasi mereka terhadap karya seni yang dipamerkan.
Tapi, hingga kini, setelah sepuluh (iya, Alhamdulilah, udah sampe angka 10 nih
kunjungannya) saya ngunjungin pameran seni, saya belum bener-bener ketemu orang
yang bisa jelasin apa makna seluruh karya yang dipamerkan, padahal saya pengen
bangeeeet L
Satu hal,
meskipun saya ngerasa gak terlalu pantes untuk komen, semoga buat pameran
selanjutnya, Salihara agak ngasih pengaman untuk display materinya, karena karya 3D Arts itu gak ada pengaman, bok,
gimana kalo yang ngunjungin itu pengunjung gak bertanggung jawab dan mau
ngambil kartu tarot itu seperti hasrat klepto saya? HEHE. Sayang banget kalo sampai
barang hilang. :)
Sukses deh
Salihara buat ke depannya, semoga saya masih bisa terus meelanglangbuana di dalem
galeri-nya!
cheers,
Bia.
(photos credit to A. Faris, one of amazing photographer and boyfie i've ever had, yeay! Terima kasih, pobs.) |
cheers,
Bia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar