[Terinspirasi dari
Chicken Soup For The Soul, Pintu yang Tak Pernah Terkunci]
.
.
.
Tak pernah ada yang
tinggal lama, maka pemuda itu pergi, setelah sebelumnya ia pernah angkat kaki dan
sempat kembali. Membawa semua kepenuhan dan kebahagiaan yang pernah mengisi hari-hari di ruangan itu, hingga rumah itu gelap bermalam-malam karena lilin tak pernah dinyalakan.
Dingin juga kian merasuk, karena pendiangan tidak pernah dikobarkan hingga
membusuk.
Gadis itu diam saja di
sana, menunggu di depan pintu, seperti anjing yang patuh, memasang telinga, sekaligus harapan, kalau-kalau ada tapak-tapak
yang menghantar di setapaknya. Ia bertanya-tanya, apa salahnya hingga pemuda itu
pergi dan tetap diam seribu bahasa? Pemuda itu akan kemana? Untuk berapa lama?
Ia bertanya-tanya dan tetap memasang telinga.
Tapi berhari-hari –
berminggu-minggu – tak pernah ada sosoknya. Hanya kekosongan belaka, hingga musim berganti, hatinya semakin dingin, wajahnya semakin kuyup karena air mata, dan tubuhnya
semakin layu karena ia hanya bergerak jika urgensi perut merajalela.
Hingga akhirnya, di malam
yang sangat dingin, ia tergopoh-gopoh menyalakan pendiangan dan lilin, kemudian menyadari, ia cukup kuat untuk berdiri sendiri. Ia paksa tungkainya melangkah ke sofa di ujung
ruangan tempat pemuda itu biasa duduk dan menatapnya dengan lembut, tempat ia menjanjikan
Kota Kincir Angin nun jauh di Negeri Dahlia yang akan mereka datangi dan tempat ia menulis puisi-puisi.
Ia hempas sofa itu hingga terbalik, merasa tetiba gusar, lalu ia dorong ke gudang. Ia tak mau
melihat sofa itu untuk sementara.
Lalu ia tertegun.
Di balik sofa itu, ia
melihat sebuah ransel dan amunisi yang dulu ia pakai untuk pergi jauh, ketika
rumah ini masih ia tempati sendiri dan ia tak punya alasan untuk ama-lama menyendiri. Ia tersenyum kecil. Gadis itu menyadari kepergian seseorang bukanlah sarana
untuk melupakan dan pergi, tetapi mengingat mereka pernah baik, lalu pergi untuk
kembali. Entah ada seseorang yang menunggunya, sama atau berbeda, tapi ia akan kembali dengan bentuk yang berbeda. Maka malam itu ia bereskan ransel dan ia pak beberapa buah baju
serta bekal makanan.
Subuh-subuh ia berangkat
dengan mantap, setelah terlebih dahulu melempar pandangnya ke bingkai foto di
mana ia dan pemudanya tengah memeluk. Ia akan mencoba untuk tidak mengingat
pemuda itu. Untuk sementara. Atau selamanya. Entahlah, tak apa. Waktu yang akan menuntunnya.
Kemudian ia pergi. Ke
arah yang berbeda dari pemuda itu raib. Memutuskan ia akan mengembangkan
dirinya dahulu – bertemu banyak orang, banyak cinta, kemudian letih dan biarkan itu lagi: Waktu yang akan menuntunnya.
[FINISH]
.
.
.
[PLOT TWIST]
Sudah berbulan-bulan atau
bertahun-tahun—ia tak ingat—tapi ini setapak yang dulu mengarah ke rumahnya,
bukan? Ia tersenyum. Ia rindu rumah. Betisnya kini hampir berotot dan kulitnya
bertambah coklat sejak pertama kali ia pergi.
Namun ada yang aneh.
Jalan itu seperti bersih dari kotoran dan ilalangnya seperti sehabis diinjak,
padahal ia sudah pergi lama.
Gadis itu menyiagakan
diri dengan waswas, pergi ke teras, lalu membuka pintu yang tidak terkunci.
Pintu membuka dengan lambat dan ia bersiap-siap dengan kuda-kuda untuk melawan (siapa tau di dalam itu maling!).
Ia membeku. Orang itu
juga membeku.
Di depan pendiangan ada
pemuda-nya yang telah lama ia lupakan, sedikit lebih jelek dan acakadut dari
pertama kali ia pergi, tapi sinar mata dan sikap tubuh yang diam-diam ia
rindukan masih sama. Canggung tetapi mantap. Sepi tetapi kuat. Tapi, pemuda itu
sedang marah.
“Kamu kemana saja?!”
“Pintu tidak dikunci!
Barang-barang berharga masih di sini! Bagaimana kalau dicuri?! Rumah kosong,
tetangga tidak tahu kamu kemana, katanya kamu pergi diam-diam! Dan semua orang
berpikir kamu cuek saja karena kamu tidak akan kembali ke sini!”
Gadis itu tetap diam
terpana.
Pemuda itu menghembuskan
napas. “Kalau bukan aku yang kembali tetapi orang jahat, mungkin kamu sudah
mati. Kamu masih saja teledor seperti bia—”
“Aku tidak lupa.”
Ia diam sejenak, ragu-ragu.
“Aku memang membiarkan
pintunya tak terkunci ...” jawab gadis itu pelan-pelan tersenyum. “Aku akan
mengambil resiko kalau itu adalah orang jahat. Sejak kamu pergi, aku
tak pernah menguncinya. Aku tahu kamu akan kembali.”
Gadis itu memegang pipi
pemudanya, berbisik. “Demikian pula aku.”
[END]
“Kalau aku tidak kembali,
apa yang akan kamu lakukan?”
“Akan ada plot twist yang lain. Dan kita akan baik-baik saja. Aku pergi untuk mempersiapkan segala kemungkinan. Tapi untuk saat
ini, aku selalu memikirkan plot twist itu
walaupun peluang nyata dan tidak nyata-nya sama-sama besar. Tapi ini dongeng
sudut, kuambil konsekuensinya. Jangan khawatir. Apapun yang terjadi, hidup akan bekerja untuk kita."
Yang ini untuk marcel, teri ma ka sih, Marcel! (you can visit him here) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar