Sabtu, 16 Maret 2013

Kanvas Pudar



Selamat pagi, Pangeran.
Atau lagi-lagi, selamat malam.
Atau selamat sore, kapan pun kau menyibak etensimu tuk menatap frasa-frasa ini.
.
.
Hari ini, kulangkahkan tungkaiku ke gudang sepi sunyi
Mereguk udara berdebu, kusingkap beledu itu
Kulihat kanvas berdebu
Kuraih dengan tanganku yang sempat meragu

Kuberitahu satu rahasia kecil, hai Pangeran.
Kala itu
Kubawa sang kanvas ke bawah kanopi malam
Kutaruh ia di atas patok kayu tegak
Melukisnya
Menyipratkannya
Kuas berwarna menari di atasnya
Dan kanvas itu hanya bergeming;
Tak tunjukkan setitikpun tanda siring

Pangeran,
Kulihat kanvas itu seraya terpana
Tahukah dirimu?
Kanvas itu menyerap semua entitas yang ada

Ia mencegah adhesi, menolak kohesi
Mengabaikan turbulensi, mencanangkan difusi
Simpulnya, si Kanvas meluluhlantahkan hukum sains yang ada

Dan lagi-lagi,
Tahukah dirimu, wahai Pangeran?
Apakah
Kaitan ini dengan rasa cintaku
Mungkin saja ini hanya kanvas
Namun kanvas pun telah memberiku secuil filsafat

Dengar ini, Pangeran:
Layaknya kanvas aku selalu menerima goras-gores curahan hatimu
Ibarat kanvas, aku selalu berdiri tegak terpaku tergugu
Seperti kanvasm goresan darimu 'kan kuresap, kusimpan, kukeringkan

Dan bak kanvas...
Walau kasar
Ia takkan pudar
.
.
Akhir kata,
Selamat Pagi, Pangeran
Atau selamat malam
Selamat sore, kapan pun kau melihat untaian aksara penutupan ini

Kututupkan kata-kata tak bermakna ini
Setidaknya, bagimu
Tapi mereguk napas dari sanubariku

Pangeran, kutiupkan cium jauh dari balik liang penjaraku

Dan bilamana tak sampai, kuharap kau mendengar frasa yang kuteriakkan lantang

Sampai jumpa.

Jumat, 15 Maret 2013

biar luluh lantah

Selamat pagi.

atau selamat malam.

kapan pun kau membaca ini, izinkan aku meraung tak tahu diuntung,

karena semua asa telah meretih.

mengisik rintih.

Biar kuberitahu, wahai pangeran tanpa nama.

kau telah membawa semua oksigen yang mengudara.

hanya menyisakan harapan kosong

yang tak ubahnya merantai kesetiaan tak kopong.

Bolehkah aku, wahai pangeranku,

walau aku bukan permaisurimu

bahkan bukan selir cantikmu

namun izinkanlah aku

memupuk rasa ini jauh lebih lama

merantai kesetiaan tanpa balasan

entah kapan

hingga sampai kapan.

karena aku adalah takhtamu. menopangmu. tapi hanya mendapatkan kepedulian terendah dari dirimu.