Jumat, 29 Januari 2016

Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti

Perempuan muda yang sering memakai syal etnik itu lamat-lamat menyesap coklat hangat yang ia pegang kuat-kuat dalam sela-sela jemari lentiknya; seakan cangkir itu akan siup dan pecah bak porselen, padahal bahan penyusunnya adalah plastik.

Ia melihat desau daun yang jatuh dengan anggun. Kemudian  merpati yang membentangkan sayapnya. Nun jauh di sana, awan berarak membimbing mentari sore untuk pensiun.

"Lelaki tak suka dikekang," suara itu menyeruak.

"Ya. Aku tahu."

"..."

"Aku tak mengekangnya."

"Hm..."

"Perempuan tak suka dikhianati, seperti lelaki tak suka dikekang."

Kini gantian gadis muda satunya yang diam. Si syal etnik membetulkan cangkirnya, menyeruputnya hingga tandas, lalu menaruh cangkir itu di cawan. Ia menghela napas dan menghembuskan napasnya perlahan. Dengan tegas, ia menatap sahabatnya, gadis yang selalu memakai turtleneck warna monokrom. Jemarinya, berhiaskan sebuah cincin berbatu amorfit merah, menunjuk keluar etalase.

"Bayangkan. Aku adalah langit. Udara. Kekasihku, adalah dedaunan. Atau burung merpati."

Turtleneck mengangguk. 

"Aku membayangkan diriku sebagai langit; udara, karena ..." Ia berhenti sejenak. Memikirkan kata-kata yang tidak akan mentransformasikan dirinya sebagai seorang yang angkuh. "Aku membatasi laju mereka. Hanya untuk tujuan yang lebih baik."

Sunyi sejenak sementara mereka berdua berpikir.

"Daun itu kubiarkan jatuh. Aku tidak begitu memikirkan mengapa ia jatuh, mungkin untuk bercumbu dengan tanah humus atau bahkan hanya ingin meliuk dalam kebebasan. Yang kutahu, aku perlu memperlambat lajunya. Membekukan waktu, agar aku bisa berdialog kepadanya dan memeluknya sejenak. Pada akhirnya, agar ia tidak mencelakai dirinya sendiri dan membuat gerakannya gemulai."

"Dan merpati—"

"Ya?" syal etnik tersenyum kecil. 

Turtleneck nyengir. Dirinya tidak sebegitunya suka berbicara kepada konotasi, tetapi ia sudah lebih jauh memahami maksud sahabatnya. "Burung melayang pada udara. Gaya gesek."


"Ya. Sekarang kamu mengerti maksudku tentang kekangan dan mengkhianati, bukan?" syal etnik mengedip, kemudian membetulkan duduknya. Seraya mengambil ponsel, ia mencermati waktu yang tertera di layar. "Sudah dua setengah jam kita teronggok di sini."

"Menyedihkan. Air matamu sudah kering?"

"Dari tadi malam. Yang hari ini kita anggap saja sarana agar kau bisa berempati kepadaku."

"Hahaha," turtleneck tertawa renyah. Mereka bertatapan. Namun sahabatnya tahu syal etnik sedang patah hati. Beberapa menit yang lalu, si syal etnik terus-terusan berbicara tentang dirinya yang merasa disimpangkan, dengan tetesan air mata yang meluncur dari bola mata eboni-nya.

"Kamu sudah merasa lebih baik?"

"Sudah. Terima kasih atas perhatiannya."

Maka mereka membenahi meja kecil di sudut kafe itu, membersihkan sisa-sisa air (mungkin itu embun atau air mata si syal etnik, mereka tidak peduli), kemudian berjalan berdampingan, berbicara tentang guyonan tentang lelaki yang tidak setia.

judul entri ini saya ambil pada lagu yang saya dengarkan,
dibuat oleh Banda Neira dalam album barunya.
Jika teman-teman tertarik mendengarnya, saya telah
 memuatnya  di playlist saya di blog ini. Sila didengar,
sembari membaca entri ini.
salam mentari pagi. :)

Rabu, 20 Januari 2016

Mentari Pagi


“Dia cerah, seperti sebuah mega.”

Gadis itu mengernyitkan dahinya ketika mendengar ia memuji seorang perempuan lain yang ada dalam potret di ponselnya. Perempuan yang ia sebut "mega" itu bersurai hitam, bermanik coklat muda, sedang tertawa lebar dan dikelilingi teman-temannya yang tenar.

“Sementara aku bintang katai yang telah lama mati.”

Ganti lelaki itu yang mengerenyit. “Tidak,” bantahnya.

“Lalu? Lalu apa?”

“Kamu ...”

Gadis itu diam menanti.

“Kamu mentari pagi,” katanya dalam sebuah bisik. “Kamu ialah cahaya yang muncul di waktu fajar, membangunkan makhluk fana dari mimpinya yang kadang kelewat batas, membawa sebuah letupan: ‘BANGUN! Dan realisasikan mimpi-mimpimu!’.”

Senyuman kecil terbit ketika gadis itu menyelipkan rambutnya yang jatuh ke sisi kanan.

Lelaki itu menambahkan lembut, “Kamu adalah cahaya pengampunan yang memberkas di sisi kasurku setiap pagi.”

Maka lelaki itu menggeliat sementara gadis itu menyibak gorden, kemudian rebahlah mereka; saling berpelukan; dalam diam; menikmati hening; lanskap subuh yang agung baru saja menyingsing dari jendela kamar tempat mereka tidur bersama.
"kalau kamu mentari pagi, aku ini apa?"
"kamu embun pagi."