Sabtu, 27 Mei 2017

Berkisahlah



Malam kemarin saya menemukan pencerahan di dalam kos teman lelaki saya yang berukuran 3 x 3 meter, di antara selongsong pai susu yang masa kadaluwarsanya hari ini, susu Greenfields yang langsung menghabiskan uang jajan saya hari itu, asbak yang terisi rokok, kopi instan, dan sisa-sisa cerita kami yang belum tuntas. Teman lelaki saya yang satu, Lutfi, masih bercerocos, dan diam-diam saya mencuri waktu untuk berpikir sejenak dari pencerahan yang tadi itu.


Saya menemukan jawaban dari kegelisahan yang akhir-akhir ini saya alami. Puji Tuhan saya tengah menjalani kehidupan yang biasa saja, yang tidak menyedihkan, masa-masa itu sudah lewat, tapi saya tengah muram karena hal-hal terjadi begitu cepat tanpa makna yang dalam. Orang-orang hanya lewat, peristiwa-peristiwa hanya terjadi dalam sekejap.


Lalu muncul pemikiran itu: sebab kamu tidak pernah meluangkan waktu untuk mendengarkan kisah dan berkisah, Shab. 


Pencerahan ini mungkin muncul karena obrolan saya dengan Lutfi dan Resqi malam kemarin, juga dari kencan saya dengan Nida, teman saya yang sebentar lagi akan terbang ke negeri apel untuk mengejar mimpi baru. Waktu yang berkualitas. Dengan kisah yang dipertukarkan. Serta emosi.


Lutfi selalu bercerita dengan mata berbinar. Ia jujur dalam emosi-emosinya. Yang mana, orang yang akan mendengarkan kisahnya pasti larut, ingin tahu lebih dalam. Dalam keseharian sebenarnya saya tak terlalu dekat dengan Mas Lutfi -- tapi malam itu ia berkisah banyak. Ajaibnya, sebuah kisah bisa mendekatkan rasa dan atensi. Demikian pula Resqi. Malam itu, ia juga mengungkap dirinya. Saya senang bisa mendengarkannya.


Dengan Nida, berbeda lagi. Kencan yang berdurasi empat jam memberikan kami waktu untuk bertukar cerita yang jarang kami kisahkan karena saya punya tendensi lama bales chat dan dia jadi males sama saya (hehehe). Kami ke Sade, lanjut ke Cemeti Art House, lanjut nongkrong di Six Senses, kemudian berlabuh di LAF Garden. Kisah kami banyak level-nya. Dari yang remeh sampai yang dalam. Saya mesti meralat sedikit. Apa yang saya bicarakan di sini bukan hanya kisah biasa belaka. Akan tetapi kisah yang berkualitas, deep conversation


Kemudian, muncul pencerahan lain. Saya sudah lama tidak pernah menggali orang untuk berkisah lebih lama, untuk berkisah lebih dalam. Alasannya ada dua, yang pertama, saya memang seklise itu untuk bilang saya gak punya waktu. Yang kedua, dulu pernah ada orang yang mencela saya, "Bi, kamu itu jangan terlalu ngorek-ngorek pribadi orang. Ada orang yang mau di-kepoin dan ada yang enggak." Saya yang masih bego dan suka menelan saran mentah-mentah langsung menerima saran itu dengan gamblang dan jadi jarang ngegali orang. Padahal kalau dipikir-pikir, dulu ada banyak orang yang dekat sama saya karena saya mengamati hal-hal kecil dari mereka, dan saya selalu dengan jujur ngomong ke orang terkait tentang hal kecil yang saya perhatikan itu. Misalkan, saya suka ngeliat temen saya nyelipin rambut ke belakang telinga kalo sedang gugup. Maka suatu hari saya iseng bilang, "Nan, kamu lucu ya, kalo gugup nyelipin rambut ke telinga. Padahal santai aja lho, suara kamu itu punya karisma buat didengerin orang."


Bikin orang dekat sama kita sebenarnya perkara gampang, tinggal tunjukkin kalau kamu cukup peduli untuk approach dia dan melihat hal-hal yang melebihi apa yang mereka tampakkan dalam tataran general. Saya udah lama gak melakukan hal ini. Sekarang saya jadi ngerti kenapa hubungan saya sama beberapa orang yang ada hanya terletak di tataran "biasa saja". Saya kurang membuat dan mendengarkan kisah yang berkualitas dan menggali mereka sebagai pribadi yang saya sayangi.


Mungkin perlahan, mulai dari sekarang, saya akan mencoba menggali kisah-kisah dari orang, melihat mata mereka berbinar, melihat emosi mereka terpampang di muka, menghabiskan waktu kencan dengan mereka....


Siapa pun itu.


P.S: serta jangan sungkan untuk berkisah sama saya, ya. Insya Allah saya dengerin :)

Rabu, 17 Mei 2017

malam ini, aku berpikir di atas ranjangku

aku pikir kita jadi tau setelah kita semakin dewasa
ada individu-individu yang perangainya tak bisa kita ubah
dan kita hanya bisa terima saja
dan percaya:
setiap orang mengekspresikan sukanya dengan berbagai cara,
setiap orang mengekspresikan dukanya dengan berbagai cara.
ada orang yang mengekspresikan cinta dengan suara lantang,
dan ada juga yang hanya diam, tapi tangannya terentang ...