Rabu, 23 Juni 2021

Turbulences

Maybe this is how it feels; constant turbulence in an uncertain weather. 

Don't know if I have promising future, or if I have so much values in myself. Don't know if my limitation will restrain me pursuing my dream and my ambition (it's good to have an ambition, as long you have strong principles, don't you think?) or if it's just hanging there, telling me to step slowly, scrutiny every steps I take. 

Seeing all my friends in their own stages and steps making me feel uncertain and insecure. Where am I? Who am I? Am I doing right? Will I do good for myself in the future? Is the old me still stay there, deep inside my heart? 

lack of capabilities.

lack of certainty.

lack of achievements.

but at least no regret. 

if all of these are the part of my long journey, I will accept it and try to be more patient (and optimistic).

little by little. 

Kamis, 10 Juni 2021

Penggalan Percakapan #1

 "... tapi bersama dia aku jadi lebih dewasa, memandang dunia juga jadi lebih baik. kamu begitu juga, kan?"

aku terdiam. lidahku serasa kelu. 

akhirnya aku menghela napas lalu menghembuskannya dengan sedikit berat. terlalu kentara. 

"dewasa mungkin iya. tapi memandang dunia jadi lebih baik?"

kuakhiri tanda tanya. aku tak sampai hati mengutarakannya. dan mungkin memang tak bisa pula menjawabnya. 

Sabtu, 05 Juni 2021

Sentrifugal

pagi hari adalah waktu yang pas untuk berpisah. Langit masih bersih, udara ringan, matahari penuh kasih, dan harapan masih bergantung di udara. sudah dua kali kita berpisah dalam permulaan hari, dan aku bersyukur atas waktu yang membayangi perpisahan kita untuk sementara. 

sempat kubayangkan kita akan berpisah di stasiun, malam hari, dengan sebuah kereta yang akan membawaku kembali ke ibukota. sebuah bayangan yang sendu, ritmis, romantis, tapi mengerikan sekali! kanvas itu nampak jelas bagiku; kau mengantarku ke Tugu, dilatarbelakangi oleh langit malam Jogja yang selalu megah, lampu kuning, dan asap menggantang dari jalan-jalan Malioboro yang selalu ramai. sayup-sayup terdengar suara khas tanda kereta telah sampai. kau tidak boleh berhenti begitu lama karena kalau tidak penjaga akan perlahan mendekatimu dengan gestur mengingatkan, jadi kusaksikan dirimu memudar  ke jalan raya. aku berbalik dan menjemput rel serta sang kuda besi. lantas, lakon itu ditutup dengan sebuah lagu dari Mas Gardika Gigih, "... pernahkah kau sedekat ini? ku berlari. dan berlari ..." 

tidak tahu apakah berlari menjauhimu atau mendekatimu. 
menjauhi kotamu dan mendekati kotaku, itu yang paling jelas.

dan membayangkan ini, aku bisa tersedu-sedu dalam diam.

.
.
.

pagi hari, dengan pesawat, lakonnya tak perlu sesedih itu. pagi menunjukkan kanvas-kanvas yang penuh realita tentang Jogja yang sebenarnya tak kalah indah. kali pertama kita berangkat dari Kulonprogo, aku bisa memandang puncak-puncak bukit menoreh yang berwarna biru-hijau, begitu jelas batasnya dengan horizon. kali kedua kita berangkat dari Adi Sucipto, aku bisa memandang jalan cincin Jogja yang mulai merayap, dengan aneka kendaraan disesaki berbagai urusan. masih terasa seperti perpisahan dan masih asin juga air mataku di bibirku saat kusaksikan pundakmu berbalik dan kau berjalan menjauh, tapi berpisah dalam pagi hari jelas lebih mudah. 

.
.
.

selamat berjarak kembali,
berapa bulan lagi kita harus saling menjaga dari jauh? (kuharap tidak lama)


salam sayang dan selamat tidur.