Sabtu, 24 Desember 2022

Surat Untuk Sahabatku: Dewi Bulan (Jia)

Dear Jia,

(Kamu kupanggil begitu karena sahabat kita yang satu lagi pernah memberitahuku namamu dalam bahasa Mandarin. Dan kucari di gugel, artinya bisa jadi perempuan luar biasa. Sementara nama panggilanmu yang biasa katanya berarti dewi bulan)

Semoga kamu dalam keadaan baik. Atau kalau sedang tidak baik-baik saja, semoga kamu dalam keadaan cukup baik untuk bisa melangkah dan dikelilingi orang-orang yang sayang padamu. Kalau tidak salah hari ini kamu akan pulang ke kota kelahiranmu, bertemu Mama dan artinya tidak akan sendirian. Aku tentunya mau minta maaf dulu karena hari-hari terakhir ini begitu sibuk untuk urusan duniawi dan tidak bisa dengan mumpuni berada di sisimu.

--

Jia, aku pernah mengingat satu masa di mana kamu menceritakan satu orang secara partikular dengan mata berbinar. Bagaimana kamu menceritakan gestur-gesturnya, termasuk kebaikannya pada makhluk kecil kita yang menghuni bumi (baca: kucing). Kamu bertemu dia setelah perjalanan panjang menghabiskan energi dan waktu untuk laki-laki yang tak pantas buatmu. Aku masih ingat pada saat itu merasa lega, karena kamu akhirnya menemukan seseorang yang pantas, layak, dan yang paling penting: memberikan afeksi yang sehat dan memperlakukanmu dengans etara. Dari dulu ucapanmu selalu sama: "Doakan ya, Bi." dan kamu bercerita ekspektasimu pada saat itu benar-benar kamu rendahkan, agar kamu tidak terburu-buru, memburu-buru, atau merasa kecewa dengan prosesnya. Aku masih ingat kamu ingin hal ini berjalan dengan hati-hati dan tentunya disadari. 

Jia, hampir seminggu yang lalu kamu mengabariku bahwa orang ini, yang ternyata berproses bersamamu dengan serius beberapa bulan belakangan dan kamu percaya hampir sepenuh hati, memutuskan untuk berpisah jalan darimu. Perasaan dingin kurasakan, dan yang paling dominan adalah merasa khawatir karena rasanya pasti sakit sekali. Baik bagaimanapun pasti susah bagimu untuk percaya, apalagi menitipkan hatimu, hanya untuk remuk karena keputusan ini. Aku bisa merasakan emosimu campur aduk: kecewa, kesal, sedih, terluka, kehilangan, mungkin ada penyesalan dan juga pertanyaan-pertanyaan yang melesak di benak yang tak juga terjawab: kenapa begini? kenapa begitu? kenapa tidak bisa begini, atau begitu? 

Mungkin juga kamu merasa dirimu begitu kurang, hingga akhirnya ia pergi.

Atau merasa bodoh, karena ia memilih untuk pergi (di saat kamu masih mau memperjuangkan ini meski juga tidak bisa dibilang tidak setengah mati). 

Merasa tak berdaya. Hatimu tak tenang, pikiranmu juga. Merasa kosong dan hampa. Kemudian ada kesepian yang amat sangat ... Namun karena kita orang dewasa, semua ini harus kita tekan ke ambang batas emosi yang ditolerir dalam ruang yang bukan dihuni kita saja: ketika kita bekerja, ketika kita bersua orang lain, membuatnya merebak begitu dahsyat kalau kita sedang sendirian. 

--

Jia, memang sangat menyebalkan ketika kita mempertaruhkan perasaan dan rasa percaya kita untuk seseorang yang pada akhirnya tidak cukup siap untuk menerima dan mengolah perasaan itu. Dan rasanya tak adil ketika di masa kita masih mempertahankan dinding untuk melindungi diri agar tak terluka, seseorang malah berjuang sepenuh hati agar kita menggerus dinding ini pelan-pelan, hanya untuk meninggalkan kita dan membuat kita kembali ke perasaan itu lagi. Lalu saat kita ingin berjuang dan berupaya keras melakukannya, ia yang merasa bahwa perjuangan ini terasa tidak bermakna. Atau merasa bahwa kamu tidak pantas berjuang karena kamu berhak untuk beristirahat, atau tidak kepikiran banyak hal.

Mungkin tidak adil juga di dalam satu hubungan, kita mengidam-idamkan afirmasi dan rasa nyaman untuk membuat dua orang saling merayakan relasi dan keberadaan satu sama lain, tetapi orang lain mengartikan itu sebagai suatu hal yang terlalu menekan dan membuat sesat pikir. Mungkin karakter orang terlalu kompleks, masa lalu mereka terlalu membuat diri mereka tidak bisa mengkompromikan hal-hal, dan masih menjadi misteri kapan kita mengerti bahwa ini persoalan ego saja (sehingga ada keinginan egois untuk tidak mau bertemu di tengah) atau bukan itu saja.

Namun bagaimanapun, keputusan memang sudah dibuat, dan ini adalah pilihannya, yang bisa kita lakukan sekarang adalah menghargai pilihannya dan berfokus pada penyembuhan diri kita, meskipun tentunya ada hal-hal yang tidak boleh kita lihat sebagai salah kita semata dan akan jadi bumerang untuk kesehatan jiwa, raga, serta pikiran kita.

Kalau aku bilang segalanya baik-baik saja, itu akan cliche sekali dan menafikan segala kerja keras yang tubuh dan pikiranmu lakukan agar kamu tidak terlalu terpuruk. Dalam beberapa minggu bahkan bulan ke depan mungkin takkan baik-baik saja. 

Membasuh tubuh dari sisa-sisa memori butuh waktu yang lama. Tapi bukan berarti tidak bisa. Jia dulu pernah bertekad, bahwa apapun ini akhirnya, yang paling penting adalah memberanikan diri untuk merasa, dan belajar, dan bertumbuh dari prosesnya. Kamu sudah melakukan itu. Jia yang ada di muara relasi ini adalah Jia yang pemberani, bijak, dan menguasai hal-hal yang tidak bisa dilakukan Jia di hulu relasi ini. Dan untuk hal-hal itu, kita bangga dengan Jia. 

Sekarang kita fokus ke penyembuhan diri, tetapi sekaligus merayakan kebebasan: setidaknya apa yang menjadi sesat pikir sekarang jelas (meskipun dengan kepergian). Tapi kamu sekarang kembali bisa memiliki dan memeluk diri sendiri tanpa pelbagai pertimbangan yang bikin sakit kepala tiap hari. 

Kamu bisa melakukan ini :) 

P.S: aku mengirimkan puisi Sarah Kay juga untukmu di sini.

Salam hangat,

Shabia



Rabu, 02 November 2022

Beruntung

aku gadis yang sangat beruntung.

terselamatkan oleh banyak hal. 

kukira kapal penyelamatku paling besar adalah mama, karena berkatnya aku punya prinsip dan perspektif yang cukup kuat untuk menghadapi hidup ini. untuk merasa dikasihi tetapi tidak dimanjakan, dan menikmati hal-hal yang meskipun bukan kemewahan, tetapi tetap menimbulkan kenyamanan. mama adalah ibu yang sudah siap jadi ibu. orang tua yang sudah siap jadi orang tua. semakin dewasa, aku melihat ada banyak orang dewasa yang tidak siap jadi orang dewasa, apalagi jadi orang tua.

kapal penyelamatku yang kedua adalah, aku hidup di ibukota dan lahir dalam keluarga kelas menengah yang dikelilingi oleh keluarga-keluarga kecil dengan ekonomi menengah ke atas.  

aku beruntung karena aku hampir bisa merealisasikan mimpi-mimpiku dan hal-hal yang kubatinkan tanpa susah payah. aku bisa diterima kampus yang kuidamkan. bisa pergi ke sebuah negara yang kuimpikan sejak kecil. bisa menginjak benua Eropa beberapa kali, tanpa pernah pakai uangku secara penuh. aku bisa keterima beasiswa di kali pertama, keterima sekolah di kali pertama. aku hampir pasti masuk ke beberapa kesempatan belajar semasa kuliah dulu, meskipun pernah ditolak juga. aku diterima pekerjaan yang sekarang tanpa melamar secara sengaja.

keberuntunganku adalah alasan mengapa aku tertarik dengan konsep ekonomi solidaritas. bahwa ekonomi yang melingkupiku (karena hal-hal di atas dimungkinkan dan memerlukan hubungan transaksional juga) dapat terbangun karena banyak jejaring pengaman yang dibangun dengan landasan kepercayaan yang dibangun dari keseharian. itu lah mengapa pendulum tentang keberuntungan ini selalu bergerak bolak-balik dari kutub kesempatan dan kepercayaan. dan energi geraknya adalah solidaritas. dan karena keberuntungan ini pula, aku selalu merasa gelisah untuk membentuk ruang yang sama: ruang yang berisi harapan, dibangun dengan prinsip solidaritas, dan dimotori dengan keadilan. 

memperoleh beasiswa tak perlu les atau mentorship yang dibiayai. hanya perlu beberapa kelompok belajar yang tentunya datang dari aneka ragam privilese dan kemampuan untuk berbagi secara gratis, misalnya. 

aku berharap keberuntunganku ini akan semakin menyuburkan keinginanku untuk berbagi dan membentuk ruang-ruang solidaritas. dan semoga aku bisa mewujudkannya. amin. 

Rabu, 31 Agustus 2022

di balik tabir

Pasti ada alasan mengapa embun pagi tak lagi muncul pada pukul empat dinihari

Dan daun-daun hanya diwarnai seberkas debu yang kering, hilang ketika sinar matahari pertama muncul di ufuk timur

Pasti ada alasan mengapa langkah-langkah bayi yang tadinya menggaung dari ruang sebelah dinding itu

Kini senyap, menyisakan gema yang nirmakna dan lindap

Pasti ada alasan mengapa sirkus misterius di atas bukit itu dibubarkan

Dan para pemain luntang-lantung mencari penghidupan yang mungkin lebih mapan

 

Pasti ada alasan mengapa waktu berhenti dan musim melakukan satu putaran penuh

Kendati daun gugur belum jadi hara, kristal salju belum jadi miasma, serbuk sari belum jadi bunga,

Kau dan aku

Belum jadi apa-apa

Rabu, 24 Agustus 2022

Cecak di Kamarku

setidaknya ada sekitar tiga cecak di kamarku, dengan karakter yang berbeda-beda. 

yang satu badannya besar. jarang muncul. teritorinya berada di belakang lemari dan ia hanya akan nongol pada waktu-waktu yang nokturnal: di atas pukul 22.00, di saat ia pikir aku sudah tidur, padahal belum. cecak yang ini tampaknya adalah tipikal cecak jantan yang demen memelihara karakter misterius karena sebentar-sebentar ia undur diri ke kerajaannya di belakang lemari. sebentar-sebentar muncul lagi. lalu mundur lagi. haduh, capek. beberapa bulan yang lalu, saat aku setengah mengantuk, tampaknya aku mendengar dia kawin, barangkali dengan cecak betina yang menghuni kamar mandiku (yang sering jatuh menimpaku). cecak ini maskulin sekali kalau kubilang. 

yang satu lagi badannya sedang, paling percaya diri dan nomaden. cecak yang ini tinggal di dekat koperku yang warnanya merah muda, wilayah yang mungkin paling hangat di antara furnitur-furnitur lain di kamarku. wilayah jelajahnya luas dan ia melintas cepat sekali, dari koper sampai ke kamar luar, barangkali ia suka menaklukan aneka topografi (tebing koper, gurun pasir [re: tikar lampit-ku yang kubeli dari kalimantan selatan], dan lumpur penghisap alias kesetku yang pating kriwil dan bisa membuat seekor cecak belibet di sana). cecak yang ini agak sulit ditelaah karakternya karena ia begitu merkurial, tapi satu hal yang pasti: ia suka petualangan.

cecak yang paling kecil adalah favoritku. sampai sekarang aku tak tahu asal muasalnya di mana, tapi ia sering menunjukkan diri di tempat-tempat yang justru paling sering kuhuni. pernah satu kali membuatku jantungan karena melintasi jempolku (aku pikir dia kecoak), pernah satu kali melintas di belakang laptopku saat aku sedang kerja di dekat jendela. seperti cecak kedua, ia juga percaya diri, tapi basis percaya dirinya lebih dilandasi pada karakter berani mengambil risiko. mungkin juga ia ramah, karena sesekali kuyakin ia melirik dengan mata hitamnya yang tidak ada iris ataupun kornea. seperti mereka-reka apa reaksi yang akan kuberikan kalau dia melengos saja melewati aku yang sedang memerhatikannya. tampaknya ia juga jenaka, karena suka bikin aku kaget. tapi cecak ketiga ini buat aku sayang padanya, dan kadang menunggu saat-saat kemunculannya.

aku belum pernah melihat ketiga cecak ini berinteraksi satu sama lain, meskipun aku tak yakin juga apakah jadi sifat cecak untuk berkolektif dan saling bahu-membahu. bagaimanapun aku tak pernah baca di literatur manapun bahwa cecak adalah makhluk sosial. atau bikin koperasi atau komunitas. aku cuma sering lihat mereka sama-sama kalau mau kawin, mau makan nyamuk, atau kalau kebetulan lagi sama-sama mau jalan-jalan saja. sepertinya cecak adalah makhluk yang soliter dan bodo amat: sifat yang kuinginkan tumbuh di diriku.

cecak di kamarku barangkali tidak tahu aku siapa, atau aktivitasku seperti apa. kalau mereka punya nama, aku juga tidak terlalu paham bahasa mereka sampai bisa berkenalan dan mengetahui nama mereka siapa.

tapi aku ingin jadi cecak di kamarku. terutama cecak yang ketiga. cecak kecil mungil yang sering lewat di mejaku tanpa tedeng aling-aling, izinkan aku berguru padamu, ya, boleh gak kira-kira?




Kamis, 18 Agustus 2022

Sigur Ros: momen berharga

cerita ini akan dimulai dari pengawal yang cukup banal untuk nonton band favoritku dan liesta:

photo courtersy: Merio, 2022 

diawali dari impulsivitas pada bulan April 2022. dan poster hitam yang bilang bahwa setelah sekian tahun (dari 2013, berarti berapa tahun?), Sigur Ros world tour lagi. aku lupa kronologinya, apa waktu itu jari-jemari ini langsung tergerak unggah poster dan mengumumkan pada dunia bahwa aku sedang cari teman nonton konser, tapi saat itu aku terhubung sama liesta dan langsung sepakat dengannya untuk nonton bareng band dari Islandia ini. dan voila, kami pesan kursi dan dapat dua tiket early bird untuk nonton Sigur Ros tanggal 17 Agustus 2022 di The Star Performing Arts Theatre Singapura!!!

lol, memang kantong langsung jadi boncos karena 1.7juta melayang. tapi dibandingkan ngarep nonton langsung ke Reykjavik yang superduper mahal itu (nyaris imposibel tanpa dibayari kantor atau elpidipi, ya), posibilitas ini harus disambar.

long story short, dari April ke Agustus (5 bulan, mennn), aku dan liesta merencanakan perjalanan untuk bertemu dengan Jonsi dan teman-temannya. kami nabung, pesen tiket pesawat (paling murah), pesen akomodasi (budget rendah), dan planning 3 hari 2 malam di Singapura. tujuan utama kami ketemu Jonsi, jadi pelesir di negara Macan Asia ini cuma jadi pemanis saja. dipikir-pikir perjalanan ini lucu juga, karena Liesta yang juga mengenalkan Sigur Ros ke aku, bantu menjelaskan ini tuh band opoto, siapa mereka, mereka ngapain ... dan perkenalan ini berujung pada malam kemarin, aku dan Liesta masuk ke Star Theatre yang bangunannya pun bagus banget, nangis dan senyum bahagia menyaksikan Jonsi, Kjartan, Orri, dan Georg mempersembahkan lagu-lagu mereka. 

Sigur Ros

agak mundur sedikit kenapa aku bisa jatuh hati sama Sigur Ros. beberapa tahun ini aku sadar aku adalah tipe orang yang jatuh cinta sama karya/musik seseorang bukan karena liriknya, tapi pertama-tama benar-benar pada aransemen dan atmosfer yang dibangun instrumental si musisi/senimannya (kecuali mungkin Barasuara kali ya.. they've enchanted me with both aspects). jadi kalau ngintip Spotify-ku musikku banyak yang liriknya ya B aja dan kebanyakan soundtrack film. 

dalam mencoba memahami diriku dan seleraku dengan musik, aku sadar aku bukan tipikal orang yang bisa mengidolakan satu musisi dan ngikutin karya-karyanya. tetapi karya-karya tertentu aja baru ditelusuri ke musisinya. jadi ketika di suatu hari di mana aku lagi siap-siap untuk fieldwork ke Jerman, lantunan Hoppippolla masuk ke rekomendasi Spotify dan aku suka dengan lagunya. sedikit kuketahui, ternyata lagu ini ini basic Sigur Ros banget dan lagu mereka yang paling populer. tapi waktu aku mencoba mendengarkan beberapa lagu lainnya, kurang begitu cocok. dan balik lagi ke prinsip pertama, kalo ada beberapa yang ga cocok, aku ga langsung ngikutin si musisinya.

barulah ketika aku pergi ke Freiburg, terus muter Hoppippolla lagi tanpa berniat mencari lagu Sigur Ros lainnya, dan malah algoritmanya mengarahkan pada beberapa lagu yang mungkin relevan dengan selera musikku yang gitu-gitu aja dan jarang ada liriknya, aku dikenalkan ke Ekki mukk. Kurang lebih begini liriknya kalau diterjemahkan:

Unreal
You appeared to me
To no other
And became nothing
 
We hold our breath
As long as
We can achieve
We close our eyes
And hold our hands against our ears
We hear no sound
 
Breathing
Heartbeats
Breathe and dive down
And travel

dari https://lyricstranslate.com/en/ekki-m%C3%BAkk-no-sound.html

aku denger ini dalam posisi lagi dicemplungin di lokasi riset yang dilingkupi musim dingin, dalam posisi jauh dari siapa-siapa (perwakilan UGM lainnya pindah ke desa di tengah-tengah periode riset dan aku sempet tinggal sendiri), gak bisa berbahasa Jerman, dan Jerman sendiri bukan benua paling hangat untuk menimbulkan rasa kerasan dalam waktu yang sekejap (meskipun informan di tempat penelitianku ramah-ramah). Aku lagi ngerasa hopeless. awalnya aku ngerasa Ekki mukk ini memvalidasi perasaanku karena dia bicara soal orang yang mengembara lalu tersesat. Nuansa musiknya juga bikin desperate abis. Tapi lalu kudengarkan liriknya yang ternyata mengena sekali: "jaga napas dan tutup mata", kuartikan bahwa aku harus menampik emosi-emosi jelek yang bikin aku stuck dan tetap bernapas, menyadari detak jantung, dan berjalan. Ini semua diiringi dengan musik Ekki mukk sendiri yang awalnya gak ada suara piano dan membangun emosi soal perjuangan, dilanjutkan dengan reff yang naik perlahan dan lamat-lamat jadi hopeful. tepat seperti apa yang ingin kurasakan waktu itu.  



Sejak saat itu aku denger musik-musiknya Sigur Ros. main ke Basel sembari liat burung-burung terbang di danau aku dipertemukan dengan Staralfur (waktu itu mulai masuk musim semi, jadi pas). Pas di Berlin aku dengerin macam-macam lagu dia: Olsen olsen salah satunya, ditambah Samskeyti (Untitled #3), dan Svefn-g-englar. Ketika aku lagi apply-apply beasiswa untuk S2-ku baru-baru ini, Rembihnutur, Glosoli, Fjogur piano, dan Saeglopur masuk dalam kehidupanku. Aku punya titik kesukaan berbeda-beda sama lagunya Sigur Ros: aku suka Samskeyti yang diulang-ulang tetapi menekankan pengharapan dan dominan suara pianonya, sementara Rembihnutur lebih kepada revelation dan suara Jonsi di sini kayak semacam imam yang lagi cerita nabi-nabi (hahaha, tapi ini interpretasiku ya). Tampaknya aku suka lagu-lagu Sigur Ros yang lebih ke arah ambient dan dream pop--meskipun beberapa yang bener-bener post-rock kayak Brennistain atau Isjaki aku juga suka-suka aja. seperti dibawa sama Sigur Ros untuk melihat alam Islandia, menyerap emosi-emosinya, dan mengakui bahwa kita ini kecil saja dan hanya numpang lewat di alam raya.

Satu review di Youtube bilang misteri Sigur Ros terbesar adalah gimana bisa dia menyihir orang dari berbagai latar belakang budaya dan bahasa yang beda, untuk suka sama lagu yang kata-katanya sendiri aja mereka gak ngerti? Kupikir kunci jawabannya ada di cara mereka mengemas dan mengombinasikan instrumennya -- aku baru benar-benar ngerti gimana Sigur Ros bereksperimen ketika ngeliat Jonsi, Kjartan, (bahkan kayaknya drummer-nya juga deh), gak cuma menguasai satu instrumen/alat musik tetapi juga gonta-ganti, Jonsi ngegesek gitar (apa bass?), pakai semacam kolintang yang berdenting, dan pakai alat (sepertinya semacam synth pad?) untuk loop serta mendistorsi suara mereka sesuai makna yang ingin mereka sampaikan. Sigur Ros banyak menambahkan musik-musik yang sebenarnya aneh dan liminal, tapi sifatnya yang banal dan sehari-hari relatable buatku dan mungkin untuk banyak dari kami sebagai penggemarnya. Ekologi juga jadi inspirasi buat mereka: hal yang bikin aku ngerti juga kenapa aku ngebayangin bukit, padang, fjord, dan sungai-sungai negara-negara Skandinavia kalau denger musik mereka. 

Experience, not a Concert

Aku harus jujur bahwa pas konser kemarin aku sempet blank di beberapa lagu yang dibawain Sigur Ros kecuali beberapa lagu yang udah familier di atas: setidaknya aku mengenali Ekki mukk, Samskeyti, dan Svefn-g-englar, samar-samar mengenali Saeglopur, tapi aku menikmati semuanya. Tapi aku gak menemukan ini sebagai masalah, apalagi membuatku jadi kena tanggung. Paduan antara lighting performance, cara Jonsi improve nyanyian mereka, dan bahkan performance mereka (misal Jonsi yang nandak-nandak dan nunduk-nunduk di paruh penampilan terakhir), juga pas mereka berempat duduk sama-sama di Heysatan/Popplagid, menyihirku untuk tetap menikmati musik mereka. Maka dari itu bagiku nonton Sigur Ros lebih kayak mengalami daripada sekadar menyaksikan. Lagu-lagu mereka bukan tipikal yang bisa diikutin ritmenya apalagi dinyanyikan sama-sama. Yaudah nonton aja gitu, merenungi kehidupan, dan untukku: nangis di beberapa lagu.

Bukti bahwa rasa cintaku ke Sigur Ros akan terus berjalan dan akan selalu ada hal baru yang kutemukan dari mereka salah satunya adalah ketika aku berkenalan sama  lagunya Sigur Ros yang aku belum pernah dengar atau masuk ke Spotify-ku secara gak sengaja: Smaskifa. Di lagu ini Sigur Ros pakai alat tiup dan piano yang tutsnya ditekan sama-sama dalam waktu yang lama, dikasih efek suara anak kecil yang semakin menggema dan nyanyian yang berupa gumam-gumaman. Aku terenyuh sekali dengarnya, karena bagiku lagu ini seperti menggemakan suara-suara keresahanku soal mimpi masa kecil dan diriku yang lebih kuat dan lugu di masa lalu, yang sekarang lagi hilang dan timbul-tenggelam ke permukaan. tapi dia ada di sana: terus menggema, muncul di saat-saat paling carut-marut dalam hidup kita, di antara instrumen yang berkecamuk, tetapi memang harus didengarkan dan dipisahkan dari yang lain-lainnya supaya kentara. ibarat Sigur Ros bilang: dia gak raib, kok.






takk, thank you, terima kasih, Sigur Ros.
it was ethereal.
it was transcending.
it was divine ...
it was heart-rending.
but my heart was so full. 

Minggu, 14 Agustus 2022

Padang Bulan

Terang bulan, 

di empat penjuru. 

Sudut-sudut desa diseka gemintang,

dan purnama menyelipkan seberkas cahayanya


Desa tampak tidak tidur:

nyanyian burung walet yang artifisial menggema dari balik sarang seng,

dan dari hutan, serangga tampak tidak lekas terlelap juga, mereka berorkestra.

Takhayul mengatakan mereka ada yang melantunkan petaka, tapi Sayang, masa kau setuju begitu? petaka hanyalah produk budaya, bukan serangga biangnya, mereka hanya menginterpretasi semesta raya.

jikalau banjir, mereka mengeluarkan suara kepak yang berdesir. bila terdapat ancaman puting beliung, ada beberapa yang menggerung. aku lebih percaya ada spesies yang aktif bersuara di malam hari, berinteraksi dalam bahasa yang manusia tak sampai memahaminya ...

.

.

.

Sayang, pernahkah suatu malam kita berbicara soal hiruk-pikuk kota dan kita lari ke desa? 

Sekarang kita mengerti, dikotomi desa-kota tidak sesederhana itu. Masalah takkan selesai bila kita memijak lanskap yang lebih banyak hijau daripada kelabu. Kelabu pun banyak menggantikan hijau di desa-desa. Namun, Sayang, bisakah kita sekali waktu duduk bersama, di bawah padang bulan di sebuah desa, sama-sama merenung dan berbicara masa depan, membiarkan kantuk dibawa sejenak ke langit yang berpendar-pendar dan tak siap digantikan fajar?

(Tak ada padang bulan di kota-kota. Dan tak ada bulan di langit-langit kamar kita.)


salam sayang dan selamat tidur. 

Manuhing Raya, Kalimantan Tengah

11 Agustus 2022


Jumat, 05 Agustus 2022

Doa Untuk Orang Kecil

Tuhanku yang baik,

Maha Pengasih dan Penyayang,

ampunilah diriku yang tak bisa memeluk satu per satu dari mereka:

yang menderita, 

yang merasakan kekerasan,

yang mengalami kehilangan yang teramat dahsyat,

yang dirundung luka dan trauma,

yang tak menemukan keadilan barang satu depa,

yang habis hidupnya sebelum membuka mulutnya. 


Tuhanku,

dengan segala keterbatasan

aku hanya kuasa membaca cerita-cerita mereka

mengabarkan kisahnya dari satu ke lain insan

mencoba melakukan

apa yang bisa diemban seorang biasa

yang selalu kau lindungi dari tragedi

tak pernah merasa apa yang menimpa hidup mereka

(aku bertanya Tuhan: bagaimana orang bisa hidup setelah disiksa oleh majikannya dengan dicabut giginya pakai tang, bagaimana orang merasa sakit setelah digergaji hidup-hidup, bagaimana orang bisa percaya dengan orang lain setelah diperkosa dan dipaksa separuh hidupnya, bagaimana? bagaimana kau menciptakan toleransi yang begitu besar dan kekuatan untuk tidak hancur berkeping-keping? bagaimana kau menyelamatkan mereka di tengah rasa sakitnya?)


Tuhanku yang baik,

bila hidup adalah perkara menunda kekalahan (seperti kata chairil)

aku berdoa Surga-mu adalah kemenangan

tempat keadilan hadir dan ditegakkan

tempat segala darah dan luka tak pernah ada


aku berdoa api sucimu adalah imunitas yang melampaui rasa sakit, 

dan kau antar jiwa-jiwa ini terbang 

ke haribaan 

di mana kekerasan tak boleh dan tak bisa bertandang


Tuhanku,

Kututup doaku dengan satu permintaan lain:

jadikanlah aku pembawa damai

Karena dengan mati berjuang

Kami bangkit kembali, untuk selama-lamanya


(puisi ini ditulis setelah membaca Mariance Kabu, teringat Salim Kancil, mengenang orang hilang di masa Orde Baru, dan korban-korban kekerasan seksual yang namanya disamarkan oleh berbagai media. Bait terakhir terinspirasi dari Doa St. Fransiskus dari Assisi, "Tuhan, Jadikanlah Aku Pembawa Damai")






Jumat, 22 Juli 2022

Umbut dan Pecel Lele

Ketika fieldwork kemarin, aku ditertawai seorang Mina (sebutan dalam bahasa Dayak untuk memanggil ibu-ibu), karena semua yang ada di rumahnya aku tanyai, dari mulai benih padi tertua yang digantung di pintu (“buat apa, Mina?”), daun manggis yang menyertainya (“kenapa kok dipasang di situ, Mina?”), hingga menunjuk sebuah umbut yang diurai seperti rambut palsu, gondrong berwarna coklat, karena kupikir itu bagian penting dari ritual tanam-dan-panen padi.

Ternyata, Mina tertawa karena …

Umbut (sulur merambat) itu dipakainya hanya untuk cuci piring, merupakan sisa-sisa lotong (ransel anyaman yang dibawa orang-orang Dayak Manuhing ketika pergi ke ladang) yang bisa dipakai lagi.

Aku tertawa bersamanya, meskipun juga mencatat bahwa info ini penting menilik kebutuhan peralatan rumah tangga pun bisa dicukupi dari apa yang disediakan oleh hutan. Juga soal waste management – betapa sebuah barang yang sudah tidak bagus masih bisa dipakai dan diredefinisi fungsinya. Namun, aku jadi teringat percakapanku dengan pacarku setahun yang lalu. Kami sedang membelah Jl Mayjend Sutoyo, Yogyakarta (sepanjang pojok beteng wetan ke kulon!), melewati aneka warung pecel lele dengan spanduk-spanduk yang apik dan memang khas.

Kami berpikir bahwa jika peradaban kami musnah, kami semua mati dan abu vulkanis menyapu sisa-sisa kebudayaan manusia (ini sebenarnya pikiranku), lantas lahir lah manusia-manusia di masa depan yang mengembangkan kebudayaan yang berbeda dengan kami, suatu hari nanti spanduk Pecel Lele yang berserakan di jalan itu akan ditemukan sebagai temuan arkeologi. Kami tertawa-tawa memikirkan kemungkinan bahwa si arkeolog masa depan bisa saja salah paham, berpikir bahwa spanduk pecel lele itu merupakan permadani yang menghiasi rumah-rumah kami, media belajar soal fauna di sekolah-sekolah kami, hingga tapestri yang penting sebagai prasyarat ritual.

Betapa interpretasi bisa jadi salah kaprah, dan jangan-jangan interpretasi akademisi bisa saja tidak memotret secara akurat tentang peradaban masa lalu? Meskipun aku tahu teman-temanku yang merupakan lulusan arkeologi atau sejarah pasti punya cara tersendiri untuk menyimpulkan benda dari masa lalu itu merepresentasikan apa, apa fungsinya, dan apa signifikansinya, bukankah akan selalu ada hal-hal yang bisa jadi kurang bukti dan salah? Lalu bayangan kita akan masa lalu, bisa gak sepenuhnya benar, dong, ya?

Seperti spanduk pecel lele yang mungkin hanya jadi satu-satunya yang bertahan dari bagaimana sebuah usaha pecel lele dijalankan: kompornya hilang, kursinya raib, etalasenya sirna, begitu pula tulang-tulang abang-abang atau emak-emak yang berjualan serta makanan-makanan khas pecel lele (mungkin daun kemangi dan duri-duri si lele bisa bertahan setelah sekian zaman?), akan sulit sekali bagi arkeolog masa depan untuk mereka-reka bentuk kebudayaan kita. tapi setiap peninggalan pasti meninggalkan pembelajaran, dan esensi yang paling benar mungkin bukan keakuratan ya.. tetapi hanya bayangan soal masa lalu. dan apa yang bisa dipetik darinya. 

terima kasih Mina Indu Ruji, yang sudah melengkapi kejenakaan soal membayangkan fungsi barang-barang yang kami tak kenal, dan membuat beberapa hal jadi lebih terang!


 

Jumat, 15 Juli 2022

yuk, menulis, yuk





adalah di tengah perjalanan menuju sebuah desa aku mendengar percakapan yang menohok. bahkan percakapannya sedang tidak melibatkan diriku, tapi terasa begitu personal. kami berempat di dalam mobil, tiga perempuan satu laki-laki (termasuk aku), dan seorang perempuan muda berdarah Sumba tengah memuji tulisan seorang berdarah Jawa yang memegang kemudi. Alkisah, lelaki ini rutin menuangkan resah pikiran dan refleksinya di dalam blog, dan perempuan ini melihat tulisan-tulisan itu di blognya. dapat kusimpulkan bahwa perempuan merasa tulisan-tulisan ini sangat inspiratif sebab ia mengingat sebagian besar di antaranya.

"bagaimana bisa merangkai kata-kata dengan kemasan yang bagus seperti itu?" kurang lebih pertanyaan si perempuan muda begini.

si laki-laki tampak sedikit rikuh (mungkin karena canggung dan situasinya cukup gemas bagiku waktu itu, seperti jumpa fans) tetapi senang, "gimana ya, sering-sering menulis saja dan sering-sering membaca. dua hal itu gak bisa dipisahkan." 

mereka lantas membahas beberapa tulisan yang kusimpulkan adalah momen-momen penting bagi si lelaki dan si perempuan mengeluarkan kata-kata yang menohok lagi, "tapi aku jadi bisa melihat di dalam diri abang (nama lelaki ini) bahwa hatinya lembut," lalu pikiranku melayang ke saat-saat di mana ada beberapa orang yang datang padaku untuk membaca, sepakat, dan terinspirasi dari tulisan-tulisanku. aku bahkan dipertemukan dengan beberapa orang yang mengaku telah membaca blogku sedari dulu dan berbagi perasaan yang sama. aku teringat pernah berkorespondensi dengan dua teman perempuanku saat kami sedang patah hati dan melihat relasi perempuan-laki laki, merasa belajar banyak dari kedua dara muda itu. aku mengingat momen-momen di mana saat merasakan sesuatu, ada sesuatu yang membuncah di dalam diriku untuk segera dituangkan dan hal pertama yang kulakukan ketika sampai di kos adalah menyalakan laptopku lalu mulai menulis, sebelum ide-ide itu menguap begitu saja. tulisan telah menjadi teman dekatku selama bertahun-tahun, membuatku bangkit dan jatuh juga, untuk segera bangkit lagi. tulisan membuat hidupku jadi lebih lamat-lamat dengan cara yang tak kuketahui sebagai sesuatu yang kubutuhkan.

*menghela napas

keinginanku untuk menulis (rutin) (lagi), yang personal dan serius, sebenarnya juga sudah meretih menjadi api-api kecil saat seorang kawan laki-laki berkata di dalam DM-ku, "aku kangen tulisan-tulisan reflektifmu, ada yang baru gak nih sehabis jalan-jalan? kayaknya seru banget turun lapangannya ..." kupikir ini bukan sebuah kalimat godaan, tetapi kalimat tulus yang suportif pada tulisan-tulisanku, bahwa curahan hati gak jelasku ini cukup layak baca dan masih berisi emosi-emosi yang kuat (dan mungkin valid? hahaha). pertanyaan ini menjadi sentilan bagiku tetapi belum kuperiksa lebih lanjut.

oleh karena itu, ini rencanaku: menulis reflektif via notes hp atau jurnal yang bisa kubawa kemana-mana, lalu kuunggah ke blog ini, dan menulis versi serius tentang pangan ke blog lainnya: ke Jaladwara, meskipun aku punya rencana memisahkan konten-konten soal pangan ke blog bernama rekampangan (ps: aku terlibat masalah teknis untuk membuat situs web wordpress yang punya template apik, jadi sepertinya aku akan pakai domain blogspot aja). 

rencanaku yang pertama tidak mau kurincikan, karena prosesnya nanti gak organik, sedangkan rencanaku yang kedua akan ku-jembreng segera setelah urusan duniawiku usai, sebab ini adalah nazar menuju Shabia yang Lebih Cerdas 2022 sesaat setelah ia diberi kesempatan oleh Tuhan untuk menginjak bumi yang lebih luas! :) (tentang ini akan kuceritakan lain kali saja, intinya, kawanmu ini dapat kesempatan untuk pergi sekolah lagi di tahun depan... yey)

Doakan aku, kawan-kawan, dan terima kasih atas percakapan yang mengilhami, wahai teman-teman yang kusebutkan di atas (meskipun belum tentu kalian akan baca ini).

Kamis, 14 Juli 2022

Ladang Kami Tak Bertepi



Ladang kami tak bertepi

Bertepi pun ujung kali

Kalinya jernih, dulu banyak ikannya

Di dalam ikan ada rasa tak terhingga

Yang akan dihidangkan bersama sepiring nasi


Ladang kami tak bertepi

Bertepi pun hanya di kisi-kisi

Di atas-bawahnya

Ada benih, sayur dan padi

Dulu ada api -- temaram untuk membakar zarah dan hara

Tak ada cemas, tak ada waswas


Ladang kami kini bertepi

Oleh keadaan dan kuasa

Konsesi melibas apa yang dianggap bukan ladang kami

Hujan menerabas kemarau yang datang pada musim daun gugur

Aparat menyergap api yang bahkan tak sisa jadi jerebu

Banyak dari ladang kami terpaksa jadi kebun,

Tempat tanaman pasar harus hinggap dan mendatangkan penghidupan yang lebih baik


Ladang kami

Kini bertepi

Oleh rezim kuasa

Yang tak bertepi


Kuala Kurun, Juli 2022