Kamis, 26 Desember 2019

Pulang


kapan kita tahu kita harus pulang, dan kita memang benar-benar "pulang"?
seperti kata "rumah", bukankah "pulang" punya banyak makna?

pulang bisa dilakukan dengan tetap berjalan, dengan tetap mengembara
bila rumah yang kita bawa adalah diri kita sendiri, dan tidak berwujud bangunan tiga dimensi yang mesti bercokol di satu ruang.
suku dan kelompok adat yang nomadik, kupikir, pulang setiap mereka melangkah.

tapi pulang juga berarti berlabuh, mendarat, menetap di satu tempat, baik tempat yang awal, yang baru, yang lama, yang usang.
ketika manusia banyak yang sudah sedenter, menanamkan penghidupannya di suatu ruang, berikut pola-pola keseharian mereka, pulang menjadi relatif pada suatu tempat.

pendefinisian makna pulang akan terus hidup, dan bergerak, tapi apakah "pulang" yang baru akan mengkhianati "pulang" yang lama?
bagaimana untuk merasa kita pulang, padahal kita merasa tercerabut dari kebebasan, masuk ke dalam sebuah situasi di mana, ya, kita memang pulang, pulang ke keterikatan, ke tanggung jawab tanpa penghargaan akan diri personal, yang sesak dengan ekspektasi, rasa tak percaya diri, dan isolasi?


Minggu, 13 Oktober 2019

Azan Subuh


langkan langit
dan busur bawah
yang hari itu pun
terjamah.

"ini pertama kalinya aku menjelajah"
demikian katamu.
kau berhenti pada napas ketiga,
karena kau cemas udara sirna
"benarkah?"
kau tiup-tiup kulit yang terbuka
di sela-sela perbincangan kita

lalu kau ceritakan sebuah kisah pengantar tidur
yang melibatkan selongsong kapal kayu
bertenaga bayu,
dan arus samudera
di geladaknya, ada seseorang yang ingin menemukan rasionalitas
bagaimana perpindahan dan aglomerasi dapat terjadi secara alami
dan bagaimana manusia akan mengakar pada tanah yang baru

ritme napasmu melambat
dan baumu samar-samar terhisap pekat
dengan mengantuk,
aku pelan-pelan mengumpulkan kisahmu dalam sebentuk tanya:
apa yang akan kau tanyakan dalam penjelajahan ini?


Selasa, 03 September 2019

Yogyakarta, 3 September



Ada beberapa kecemasan yang merundungku dalam beberapa hari belakangan ini.

Pertama, aku mulai membuat karya untuk dirimu. Aku menulis tentang kamu, menggambar dirimu dalam sudut-sudut buku tulis yang kutahu takkan dilihat siapapun, aku menyunting fotomu di aplikasi pemercantik foto di ponselku, dan aku menulis prosa ini untukmu.

Kedua, aku mulai menyadari hal-hal kecil tentangmu yang bagi orang terdengar remeh, tetapi bagiku tidak. Aku samar-samar bisa mengingat baumu. Bau tak bisa diingat, tapi seringkali ketika aku sedang melaju di tempat-tempat yang tak kusangka, ada kombinasi atmosfer yang bertabrakan dan menghadirkan imaji tentang dirimu. Kamu bau sabun, laundry, dan sesuatu yang seperti kayu—bau tentang higienitas dan elemen yang membumi. Selain itu, aku mulai menyadari kamu menyimpan memori dengan baik. Kamu merawat barang-barang dengan baik. Aku pikir kamu suka keteraturan, tapi ternyata kamu lebih suka sebuah kelanggengan. Kamu senang mewadahi orang-orang dengan sebuah kenyamanan, karena nyaman bagi dirimu adalah nyaman bagi orang lain. Kamu mendengarkan lagu hingga pagi hari. Bangun di awal pagi untuk mematikan lampu (dan buang air kecil). Kalau kamu tidur kamu akan melakukan gerakan-gerakan halus seperti orang yang terkejut, dan semoga ini bukan karena fisikmu mengandung banyak pikiran yang tak terkatakan dalam keseharianmu. Kamu kadang mengikat emosimu dalam-dalam karena kamu tampaknya takut, kalau merebak, ini akan jadi sesuatu yang tak bisa kamu kendalikan dan kamu tak suka keadaan yang liar jikalau berkaitan dengan dirimu. Kamu tak konsentrasi pada dua jam setelah kamu bangun pagi, kamu tak menyenangkan jika diajak mengobrol pada pukul satu hingga tiga siang.

Kamu hapal pengorganisasian barang-barangmu, bahkan barang orang lain. Kamu adalah akademisi yang artinya kamu pemerhati yang memakai logika, tapi jauh di dalam, kamu membalurkan hatimu dalam segala kegiatan yang kamu lakukan.

Ketiga, tampaknya aku sayang kamu, dan bagiku ini paling berat. Ketika aku sayang dengan seseorang, dua hal di atas akan menjadi penanda aku telah memasuki fase melihatnya dengan cara yang berbeda. Aku akan mulai menginternalisasikan dirinya ke dalam rutinitas dan pandangan-pandanganku akan masa depan, dan kerapuhanku akan mulai jadi milik bersama. Altruisme-ku akan muncul ke permukaan, dan tanpa bermaksud menghamba, aku akan menaikkan posisi seseorang ini di beberapa poin teratas skala prioritas. Ini berbahaya sekali, apalagi kalau ternyata, seseorang yang kuinternalisasikan ini hanya melihatku sebagai pengisi waktu luang yang tak benar-benar ia pedulikan.

--

Jadi, dengan membawa tiga kecemasan ini, aku berdoa semoga poin yang ketiga takkan merusak banyak hal. Semoga karya dan pengetahuan akan dirimu dapat menjadi elemen penguat untuk menghargai kehadiranmu. Dan jika aku tersesat dalam hal-hal yang mirip dengan kata "beban", semoga aku ingat bahwa tujuan awalku menemanimu adalah untuk mendampingimu berjalan entah ke mana, sampai kalau tiba di persimpangan, aku dapat dengan lega melepasmu dan demikian sebaliknya, karena toh kita sudah berjalan bersama sejak lama, meski pada jalan yang ini, Tuhan mengizinkan kita bergandengan dan bertalian sedikit lebih dalam.

--

Salam sayang dan selamat tidur.   

Selasa, 09 Juli 2019

(R)Evolusi

bumi melaju dalam orbitnya, mengitari matahari, dan sampai lagi pada sebuah titik awal.


tak ada  yang benar-benar menyadari, jika kita tak menampik perputaran bumi pada porosnya, bukankah perjalanan bumi sebegitu jauhnya? sebegitu peliknya? sebegitu lamanya--karena waktu dan ruang mungkin tak terhitung dengan jarak, melainkan dengan respon atas dalam diri dan luar diri?

pernahkah ada yang menghitung bumi juga berproses dalam intinya, dalam tarik-menariknya dengan bulan?

--

aku kembali, dengan segala tekad untuk membenahi diri.
bila matahari pagi akan mengajariku untuk mengingat hal-hal signifikan dalam bujur kehidupan ini, mari melintas lagi, setelah aku ber-evolusi dalam kegelapan selama beberapa bulan.

--

Selamat 1 tahun, 4 bulan, 14 hari.
Selamat bersua kembali.