Sabtu, 29 Februari 2020

Resah dalam Kerja


Seseorang pernah mengajarkanku untuk melakukan reality check kapan pun aku merasa tersesat dalam dunia yang riil, yang rasional, yang membawa lari diri kita dari mimpi-mimpi atau rencana kita menuju mimpi kita.
Saat ini, aku tengah merasa seperti itu. Baru saja lepas dari institusi tempatku belajar dan berjibaku dengan ilmu antropologi selama seminggu, aku kini telah bercokol dalam sebuah dunia kerja, yang, meskipun kukehendaki, tak kusangka akan berlangsung secepat ini. Aku bahkan belum sempat melakukan hal-hal kecil yang sebenarnya kudambakan; membeli kemasan-kemasan kecil untuk pegawai FIB yang telah banyak membantuku selama 4 tahun terakhir, pamit ke dosen-dosenku, membuat surat untuk mereka yang akan hengkang dari Yogya, atau sekadar mengucapkan selamat tinggal kepada sebagian manusia yang kukenal sebelum nantinya kita dipertemukan kembali (atau tidak dipertemukan kembali). Aku bahkan belum sempat menikmati Jogja selama seminggu untuk diriku seperti yang awalnya kupikirkan: entah mengunjungi pantai atau menyelam di kolam air terjun, naik gunung atau ke bukit dan merasakan semilir angin tanpa skripsi, atau sekadar rebahan bersama kekasihku—melewatkan waktu bersama tanpa beban yang mengada.
Cepat, cepat, cepat sekali, sungguh cepat, dan tak ada waktu untuk berpikir.
Ingin aku merutuk diriku sendiri karena begitu tergesa dan gegabah untuk tidak menyisakan suatu ruang untuk berhenti sejenak dan merenungi segala posibilitas, aku malahan terlarut dalam sebuah proses yang seharusnya bisa kulambatkan. Hanya karena aku takut melewatkan kesempatan yang ada, dan takut nganggur beberapa bulan.
Dan tak kusangka tawaran pekerjaan ini akan melibatkanku ke dalam skema kontrak yang mungkin harus kutekuni selama setahun—di saat aku telah menggenapkan diri  untuk pulang ke kota kelahiranku di tengah tahun. Linimasa yang kususun berantakan: beberapa bulan ini akan kugunakan untuk membaca, menulis, dan riset, begitu tekadku di awal. Riset setidaknya dua-tiga kali. Menulis setidaknya di tiga sampai empat media yang berbeda. Tiap hari baca silabus, bikin sendiri. Tiga hal ini tentu saja bertolak dari ide dan hasratku sendiri; aku ingin belajar apa?
Sungguh naif. Naif, naif, naif. Memangnya aku akan merasa cukup berbulan-bulan melakukan ini? Tapi kalau hal-hal ini terjadi karena kehendakku (tapi di tengah jalan mungkin mampet karena bosan dan aku mikir kenapa aku gak kerja aja, berbakti pada korporat), aku mungkin tidak akan merasa seresah ini dan menulis ini di blog.
Salah satu orang terkasih berkata padaku, “Bi, bisa jadi (tawaran pekerjaan) ini adalah sebuah berkah. Dan privilese. Ga semua orang mendapat kesempatan untuk kerja seperti kamu.” Iya! Aku juga merasa begitu—makanya aku menerima pekerjaan H+5 itu. Tapi makin ke sini, kok pertanyaan-pertanyaan tentang apakah yang ingin kupenuhi di awal masih bisa kejadian bermuara pada jawaban yang gak enak, yaitu tidak bisa, karena kita sama-sama tahu ketika menghamba pada korporasi, banyak waktu yang akan terokupasi dan diri ini bisa semakin tak kita miliki? Lalu, apakah kerja H+5 ini jadi punya nilai yang sama? Pikiranku sungguh berisik, dan aku capek menangis…
Tulisan keresahan ini kutumpahkan agar aku bisa mengeluarkan unek-unek, sekaligus untuk jujur dan menata apa yang sebenarnya kurasakan, kausalitas apa yang menyebabkanku jadi segelisah ini? Karena memang belum pernah-pernah kupikirkan, tapi ini sangat menggangguku.
Lantas sehabis ini, aku akan memulai untuk mengorganisir kesadaranku kembali. Aku ingin melakukan reality check dengan diriku. Kalau ternyata diri ini butuh pelesir, mungkin aku akan pergi ke suatu tempat, menginap selama dua-tiga hari di sana. Dan yang paling penting, aku sedang takut sekali melakukan hal-hal yang seolah-olah ingin kutekuni padahal kutahu aku melakukannya untuk seseorang. Bukan karena aku tak mau membuat hal-hal untuk diberikan khusus pada satu orang, tapi lebih karena: ketika aku melakukan ini, akan ada kegelisahan dan ketidakpuasan yang terbit di hatiku, dan ini malah akan mengacaukan segalanya.
Aku tak mau mengacaukan segalanya. Apalagi mengacaukan orang-orang di sekitarku.
Apalagi mengacaukan diriku.

Dari:
Shabia, S. Ant.
Yang udah jadi sarjana tapi masih tetap resah dan gelisah.