Selasa, 03 September 2019

Yogyakarta, 3 September



Ada beberapa kecemasan yang merundungku dalam beberapa hari belakangan ini.

Pertama, aku mulai membuat karya untuk dirimu. Aku menulis tentang kamu, menggambar dirimu dalam sudut-sudut buku tulis yang kutahu takkan dilihat siapapun, aku menyunting fotomu di aplikasi pemercantik foto di ponselku, dan aku menulis prosa ini untukmu.

Kedua, aku mulai menyadari hal-hal kecil tentangmu yang bagi orang terdengar remeh, tetapi bagiku tidak. Aku samar-samar bisa mengingat baumu. Bau tak bisa diingat, tapi seringkali ketika aku sedang melaju di tempat-tempat yang tak kusangka, ada kombinasi atmosfer yang bertabrakan dan menghadirkan imaji tentang dirimu. Kamu bau sabun, laundry, dan sesuatu yang seperti kayu—bau tentang higienitas dan elemen yang membumi. Selain itu, aku mulai menyadari kamu menyimpan memori dengan baik. Kamu merawat barang-barang dengan baik. Aku pikir kamu suka keteraturan, tapi ternyata kamu lebih suka sebuah kelanggengan. Kamu senang mewadahi orang-orang dengan sebuah kenyamanan, karena nyaman bagi dirimu adalah nyaman bagi orang lain. Kamu mendengarkan lagu hingga pagi hari. Bangun di awal pagi untuk mematikan lampu (dan buang air kecil). Kalau kamu tidur kamu akan melakukan gerakan-gerakan halus seperti orang yang terkejut, dan semoga ini bukan karena fisikmu mengandung banyak pikiran yang tak terkatakan dalam keseharianmu. Kamu kadang mengikat emosimu dalam-dalam karena kamu tampaknya takut, kalau merebak, ini akan jadi sesuatu yang tak bisa kamu kendalikan dan kamu tak suka keadaan yang liar jikalau berkaitan dengan dirimu. Kamu tak konsentrasi pada dua jam setelah kamu bangun pagi, kamu tak menyenangkan jika diajak mengobrol pada pukul satu hingga tiga siang.

Kamu hapal pengorganisasian barang-barangmu, bahkan barang orang lain. Kamu adalah akademisi yang artinya kamu pemerhati yang memakai logika, tapi jauh di dalam, kamu membalurkan hatimu dalam segala kegiatan yang kamu lakukan.

Ketiga, tampaknya aku sayang kamu, dan bagiku ini paling berat. Ketika aku sayang dengan seseorang, dua hal di atas akan menjadi penanda aku telah memasuki fase melihatnya dengan cara yang berbeda. Aku akan mulai menginternalisasikan dirinya ke dalam rutinitas dan pandangan-pandanganku akan masa depan, dan kerapuhanku akan mulai jadi milik bersama. Altruisme-ku akan muncul ke permukaan, dan tanpa bermaksud menghamba, aku akan menaikkan posisi seseorang ini di beberapa poin teratas skala prioritas. Ini berbahaya sekali, apalagi kalau ternyata, seseorang yang kuinternalisasikan ini hanya melihatku sebagai pengisi waktu luang yang tak benar-benar ia pedulikan.

--

Jadi, dengan membawa tiga kecemasan ini, aku berdoa semoga poin yang ketiga takkan merusak banyak hal. Semoga karya dan pengetahuan akan dirimu dapat menjadi elemen penguat untuk menghargai kehadiranmu. Dan jika aku tersesat dalam hal-hal yang mirip dengan kata "beban", semoga aku ingat bahwa tujuan awalku menemanimu adalah untuk mendampingimu berjalan entah ke mana, sampai kalau tiba di persimpangan, aku dapat dengan lega melepasmu dan demikian sebaliknya, karena toh kita sudah berjalan bersama sejak lama, meski pada jalan yang ini, Tuhan mengizinkan kita bergandengan dan bertalian sedikit lebih dalam.

--

Salam sayang dan selamat tidur.