Senin, 06 Juli 2020

Menakar Rasa Cinta

Bertanya

Dari ibuku aku belajar:
jangan terlalu dalam-dalam merasakan rasa sayang, dan jangan melebihi rasa sayang pasanganmu.

Dari seorang sahabat, aku belajar:
untuk merasakan cinta, atau sayang, bukan menaruhnya dalam kompetisi, tapi sesuatu yang kita ukur dan hibahkan sendiri.

betapa dua-duanya cukup berkontradiksi, betapa dua-duanya sama punya poin yang signifikan, dan betapa dua-duanya punya dua mata pisau yang sama sakitnya dan melindunginya; yang pertama adalah tidak mencintai dengan utuh dan terjebak dalam skema take-and-give, yang lainnya tidak berhati-hati dan dapat membuat kita tersungkur di jurang. tetapi, bila mencintai dengan yang pertama, kita akan terus aman: mudah melepas dan mudah pergi. sementara yang kedua cenderung mendalami dan berpotensi merusak.

dalam banyak hal, mungkin aku adalah seorang perempuan yang menyayangi partner-nya dengan rasa cinta yang mirip kasus kedua, walaupun seringkali aku masih dihantui pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam kasus pertama: apakah aku menyayangi terlalu dalam, hingga aku tak tahu mana yang benar dan mana yang salah? apakah aku lebih menyayanginya, dibandingkan bagaimana dia menyayangiku? apakah ini akan sehat, bilamana suatu hari ia yang pergi dan meninggalkanku dengan segala luka yang (bukan pertama kalinya) kurasakan?

(aku jelas pernah berkubang dengan rasa kehilangan dan kesepian, dan rasanya tak enak sekali. fisik ataupun emosi.)

lalu, bagaimana mengukur apakah rasa sayang seseorang benar-benar setara dengan kita? apa yang harus kita nilai? apakah pancaran kehangatannya? atau apa yang ia berikan dalam wujud materi? seberapa sering ia mewadahi perasaan dan kekhawatiran kita? seberapa ia memberikan ruang untuk kita untuk menjadi diri kita, dan tetap mencintai kita? yang mana?

tak ada yang tahu pasti, jadi aku lebih sering berteman dengan naluri. kadang aku bisa merasakan ketika seseorang menyayangiku seperti aku menyayangi dia, dan kadangkala aku bisa merasa sebaliknya. tetapi kadang naluriku itu bisa menghadapi sebuah kabut: tak yakin juga aku apakah aku cukup dicintai.

di hari-hari yang berat, aku takut sekali kalau rasa sayangku ini terlalu berlebihan dan tak bisa membuatku cukup sadar bahwa partnerku tidak menyayangiku dan diam-diam sudah mulai meninggalkanku. sesuatu yang pernah kurasakan, dan tidak ingin kurasakan lagi kalau aku boleh memilih.

Mengingat

Ada satu gambaran kuat yang masih bercokol di kepalaku, yang masih tak dapat kugebah dan mungkin saja melandasi bagaimana aku mengambil posisi Mama ketika mencintai seseorang.

Aku dulu berpikir Mama lah yang lebih menyayangi Abah, dengan segala kesetiaan dan pemaafannya, serta kerelaan untuk selalu menerima ayahku kembali. Ia juga lah yang menahbiskan hal-hal kecil: "Rambut Abah sudah panjang, ayo ke barber.", "Abah nanti malem dateng, ayo kita beresin rumah biar dia gak perlu ngeliat rumahnya kotor.", "Mama cari pete dulu, ya." (pete adalah makanan kesukaan Abah).

Tapi di suatu malam ketika mereka bertengkar dan Abah menangis, lalu dia memeluk Mama diam-diam di kegelapan, juga amarah dan ketakutannya ketika ia merasa Mama akan tak mencintainya lagi, atau ketika ia turun berat badan begitu drastis ketika merasa tak bisa kembali lagi dengan Mama, membuatku diam-diam mengambil kesimpulan: dua-duanya saling menyayangi, meskipun yang satu dengan cara yang problematis dan menyakiti. Dan seringkali, aku merasa Abah lah yang lebih takut kehilangan Mama daripada sebaliknya.

Dengan kesabaran Mama, dan kemauan Abah, dua-duanya berusaha untuk memahami cinta satu sama lain. Kurasa mereka sedikit berhasil, meskipun salah satu sering lupa diri dan harus diingatkan lagi. Tetapi berapa lama prosesnya? Ini terjadi sejak aku masih SD. Hampir 10 tahun! Apakah kalau begitu, perasaan cinta baru benar-benar bisa dilihat setelah bertahun-tahun bersama dan menjalani konflik yang sangat pelik?

Kesimpulan dan pengalamanku, yang mungkin membentukku menjadi pribadi yang tak mudah menyerah ketika menyayangi. Betapa aku berharap sebenarnya aku mudah menyerah dan bisa melihat orang lain sebagai "potensi". Tapi tidak bisa. Prinsipku tidak seperti itu, dan dengan prinsipku ini, konsekuensi terbesar yang bisa kualami adalah selalu ditinggalkan, dan ditinggalkan, dan ditinggalkan... dalam artian aku yang paling terakhir "menyayangi" kekasihku. Sering dan beberapa kali terjadi seperti itu. Ya, dan ini lah yang selalu menciptakan rasa takut ketika aku merangkul jiwa yang baru untuk kulimpahkan dengan kasih, cinta, dan sayang.

Bertekad

Tampaknya tak ada formula tertentu untuk mencintai dan menyayangi, karena aku pun masih belajar. Dan mencintai seberapa besar pun, seperti ucapan-ucapan cliche, won't make him stay. Tapi mungkin ada formula yang lebih jitu, yang kupegang sejak dulu:

adalah kita yang memilih untuk bagaimana mencintai, dan bagaimana menyayangi, dan hanya dengan "alat" ini lah kita tahu siapa yang berhak untuk menerimanya untuk jangka waktu yang lama. bilamana ada orang yang menyangsikannya, salah paham terhadap maknanya, dan tidak memercayainya, berarti bukankah ia adalah orang yang belum pantas merangkul cinta kita?

Dan dengan ini, biasanya, aku bisa terlelap dengan lebih tenang dan melanjutkan rasa cintaku, terhadap siapapun yang sedang bersamaku...


Ditulis sembari mendengarkan:
Alexandre Desplat - Dreamcatcher
Bon Iver - I Can't Make You Love Me


Salam hangat dan selamat tidur.