Jumat, 22 Juli 2022

Umbut dan Pecel Lele

Ketika fieldwork kemarin, aku ditertawai seorang Mina (sebutan dalam bahasa Dayak untuk memanggil ibu-ibu), karena semua yang ada di rumahnya aku tanyai, dari mulai benih padi tertua yang digantung di pintu (“buat apa, Mina?”), daun manggis yang menyertainya (“kenapa kok dipasang di situ, Mina?”), hingga menunjuk sebuah umbut yang diurai seperti rambut palsu, gondrong berwarna coklat, karena kupikir itu bagian penting dari ritual tanam-dan-panen padi.

Ternyata, Mina tertawa karena …

Umbut (sulur merambat) itu dipakainya hanya untuk cuci piring, merupakan sisa-sisa lotong (ransel anyaman yang dibawa orang-orang Dayak Manuhing ketika pergi ke ladang) yang bisa dipakai lagi.

Aku tertawa bersamanya, meskipun juga mencatat bahwa info ini penting menilik kebutuhan peralatan rumah tangga pun bisa dicukupi dari apa yang disediakan oleh hutan. Juga soal waste management – betapa sebuah barang yang sudah tidak bagus masih bisa dipakai dan diredefinisi fungsinya. Namun, aku jadi teringat percakapanku dengan pacarku setahun yang lalu. Kami sedang membelah Jl Mayjend Sutoyo, Yogyakarta (sepanjang pojok beteng wetan ke kulon!), melewati aneka warung pecel lele dengan spanduk-spanduk yang apik dan memang khas.

Kami berpikir bahwa jika peradaban kami musnah, kami semua mati dan abu vulkanis menyapu sisa-sisa kebudayaan manusia (ini sebenarnya pikiranku), lantas lahir lah manusia-manusia di masa depan yang mengembangkan kebudayaan yang berbeda dengan kami, suatu hari nanti spanduk Pecel Lele yang berserakan di jalan itu akan ditemukan sebagai temuan arkeologi. Kami tertawa-tawa memikirkan kemungkinan bahwa si arkeolog masa depan bisa saja salah paham, berpikir bahwa spanduk pecel lele itu merupakan permadani yang menghiasi rumah-rumah kami, media belajar soal fauna di sekolah-sekolah kami, hingga tapestri yang penting sebagai prasyarat ritual.

Betapa interpretasi bisa jadi salah kaprah, dan jangan-jangan interpretasi akademisi bisa saja tidak memotret secara akurat tentang peradaban masa lalu? Meskipun aku tahu teman-temanku yang merupakan lulusan arkeologi atau sejarah pasti punya cara tersendiri untuk menyimpulkan benda dari masa lalu itu merepresentasikan apa, apa fungsinya, dan apa signifikansinya, bukankah akan selalu ada hal-hal yang bisa jadi kurang bukti dan salah? Lalu bayangan kita akan masa lalu, bisa gak sepenuhnya benar, dong, ya?

Seperti spanduk pecel lele yang mungkin hanya jadi satu-satunya yang bertahan dari bagaimana sebuah usaha pecel lele dijalankan: kompornya hilang, kursinya raib, etalasenya sirna, begitu pula tulang-tulang abang-abang atau emak-emak yang berjualan serta makanan-makanan khas pecel lele (mungkin daun kemangi dan duri-duri si lele bisa bertahan setelah sekian zaman?), akan sulit sekali bagi arkeolog masa depan untuk mereka-reka bentuk kebudayaan kita. tapi setiap peninggalan pasti meninggalkan pembelajaran, dan esensi yang paling benar mungkin bukan keakuratan ya.. tetapi hanya bayangan soal masa lalu. dan apa yang bisa dipetik darinya. 

terima kasih Mina Indu Ruji, yang sudah melengkapi kejenakaan soal membayangkan fungsi barang-barang yang kami tak kenal, dan membuat beberapa hal jadi lebih terang!


 

Jumat, 15 Juli 2022

yuk, menulis, yuk





adalah di tengah perjalanan menuju sebuah desa aku mendengar percakapan yang menohok. bahkan percakapannya sedang tidak melibatkan diriku, tapi terasa begitu personal. kami berempat di dalam mobil, tiga perempuan satu laki-laki (termasuk aku), dan seorang perempuan muda berdarah Sumba tengah memuji tulisan seorang berdarah Jawa yang memegang kemudi. Alkisah, lelaki ini rutin menuangkan resah pikiran dan refleksinya di dalam blog, dan perempuan ini melihat tulisan-tulisan itu di blognya. dapat kusimpulkan bahwa perempuan merasa tulisan-tulisan ini sangat inspiratif sebab ia mengingat sebagian besar di antaranya.

"bagaimana bisa merangkai kata-kata dengan kemasan yang bagus seperti itu?" kurang lebih pertanyaan si perempuan muda begini.

si laki-laki tampak sedikit rikuh (mungkin karena canggung dan situasinya cukup gemas bagiku waktu itu, seperti jumpa fans) tetapi senang, "gimana ya, sering-sering menulis saja dan sering-sering membaca. dua hal itu gak bisa dipisahkan." 

mereka lantas membahas beberapa tulisan yang kusimpulkan adalah momen-momen penting bagi si lelaki dan si perempuan mengeluarkan kata-kata yang menohok lagi, "tapi aku jadi bisa melihat di dalam diri abang (nama lelaki ini) bahwa hatinya lembut," lalu pikiranku melayang ke saat-saat di mana ada beberapa orang yang datang padaku untuk membaca, sepakat, dan terinspirasi dari tulisan-tulisanku. aku bahkan dipertemukan dengan beberapa orang yang mengaku telah membaca blogku sedari dulu dan berbagi perasaan yang sama. aku teringat pernah berkorespondensi dengan dua teman perempuanku saat kami sedang patah hati dan melihat relasi perempuan-laki laki, merasa belajar banyak dari kedua dara muda itu. aku mengingat momen-momen di mana saat merasakan sesuatu, ada sesuatu yang membuncah di dalam diriku untuk segera dituangkan dan hal pertama yang kulakukan ketika sampai di kos adalah menyalakan laptopku lalu mulai menulis, sebelum ide-ide itu menguap begitu saja. tulisan telah menjadi teman dekatku selama bertahun-tahun, membuatku bangkit dan jatuh juga, untuk segera bangkit lagi. tulisan membuat hidupku jadi lebih lamat-lamat dengan cara yang tak kuketahui sebagai sesuatu yang kubutuhkan.

*menghela napas

keinginanku untuk menulis (rutin) (lagi), yang personal dan serius, sebenarnya juga sudah meretih menjadi api-api kecil saat seorang kawan laki-laki berkata di dalam DM-ku, "aku kangen tulisan-tulisan reflektifmu, ada yang baru gak nih sehabis jalan-jalan? kayaknya seru banget turun lapangannya ..." kupikir ini bukan sebuah kalimat godaan, tetapi kalimat tulus yang suportif pada tulisan-tulisanku, bahwa curahan hati gak jelasku ini cukup layak baca dan masih berisi emosi-emosi yang kuat (dan mungkin valid? hahaha). pertanyaan ini menjadi sentilan bagiku tetapi belum kuperiksa lebih lanjut.

oleh karena itu, ini rencanaku: menulis reflektif via notes hp atau jurnal yang bisa kubawa kemana-mana, lalu kuunggah ke blog ini, dan menulis versi serius tentang pangan ke blog lainnya: ke Jaladwara, meskipun aku punya rencana memisahkan konten-konten soal pangan ke blog bernama rekampangan (ps: aku terlibat masalah teknis untuk membuat situs web wordpress yang punya template apik, jadi sepertinya aku akan pakai domain blogspot aja). 

rencanaku yang pertama tidak mau kurincikan, karena prosesnya nanti gak organik, sedangkan rencanaku yang kedua akan ku-jembreng segera setelah urusan duniawiku usai, sebab ini adalah nazar menuju Shabia yang Lebih Cerdas 2022 sesaat setelah ia diberi kesempatan oleh Tuhan untuk menginjak bumi yang lebih luas! :) (tentang ini akan kuceritakan lain kali saja, intinya, kawanmu ini dapat kesempatan untuk pergi sekolah lagi di tahun depan... yey)

Doakan aku, kawan-kawan, dan terima kasih atas percakapan yang mengilhami, wahai teman-teman yang kusebutkan di atas (meskipun belum tentu kalian akan baca ini).

Kamis, 14 Juli 2022

Ladang Kami Tak Bertepi



Ladang kami tak bertepi

Bertepi pun ujung kali

Kalinya jernih, dulu banyak ikannya

Di dalam ikan ada rasa tak terhingga

Yang akan dihidangkan bersama sepiring nasi


Ladang kami tak bertepi

Bertepi pun hanya di kisi-kisi

Di atas-bawahnya

Ada benih, sayur dan padi

Dulu ada api -- temaram untuk membakar zarah dan hara

Tak ada cemas, tak ada waswas


Ladang kami kini bertepi

Oleh keadaan dan kuasa

Konsesi melibas apa yang dianggap bukan ladang kami

Hujan menerabas kemarau yang datang pada musim daun gugur

Aparat menyergap api yang bahkan tak sisa jadi jerebu

Banyak dari ladang kami terpaksa jadi kebun,

Tempat tanaman pasar harus hinggap dan mendatangkan penghidupan yang lebih baik


Ladang kami

Kini bertepi

Oleh rezim kuasa

Yang tak bertepi


Kuala Kurun, Juli 2022