Kamis, 22 Oktober 2020

Afeksi

afeksi,

afeksi dimana-mana.

di mana-mana,

orang menunjukkan afeksi


untuk aku:

afeksi di dalam sepi

(hanya berdua)

sepi sekali...

Senin, 12 Oktober 2020

Apakah

Apakah,
Takut kehilangan 
Bisa termanifestasi
Jadi satu kemarahan
Dan satu kemarahan 
Bisa jadi satu ketidakpedulian?

Apakah, 
Kata-kata kasar
Akan menggantikan
Kalimat takut kehilangan
Yang paling purba?
Ketika misalnya
Mencegah untuk tidak pergi
Adalah suatu hal yang musykil
Dan meruntuhkan harga diri?

Apakah,
Dirimu,
(Pernah)
Takut,
Kehilangan,
Diriku?

(Seseorang pernah berkata padaku bahwa dia sangat takut kehilangan diriku, tapi tak bisa menerjemahkannya menjadi suatu kalimat yang jujur. Tapi apakah begitu? Tak yakin juga aku. Mengapa kehilangan diterjemahkan menjadi satu kemarahan, bukankah dengan marah seseorang bisa merasa tak dibutuhkan kembali?)

Sabtu, 10 Oktober 2020

Perlahan-lahan Sehat


 
"Selamat ultah, semoga panjang umur, dan sehat selalu ..."


25 September kemarin aku ulangtahun. Usiaku genap 22 tahun. Belum sampai seminggu aku menikmati usia baruku, aku sudah jatuh sakit lagi; kali ini asam lambung lagi dan beberapa hari kemudian, hipertiroid. Diketahui kadar tiroidku berlebihan meski masih dalam batas yang tidak terlalu tinggi. Inilah yang menyebabkan aku kerap merasa lemas, tidak semangat kerja, dan berat badanku turun, di samping kombinasi rasa mual, muntah, perut tidak enak, dan brain fog.

Untuk orang yang suka kerja sepertiku, dua penyakit ini sangat menyiksa. Aku jadi tidak bisa "produktif" dan merasa putus asa karenanya. Untuk pertama kalinya, aku tahu rasanya hampir kehilangan harapan itu apa. Aku takut penyakit hipertiroidku tidak sembuh, asam lambung jadi penyakit langganan setiap bulan dan tak bisa kutanggulangi datangnya, dan yang paling parah: aku takut penyakit-penyakit ini akan menghalangi mimpiku untuk pergi sekolah keluar negeri, memperoleh karir yang bagus, membangun keluarga dan punya anak, dan yang paling parah: mati muda. Sebab kalau kambuh ketika aku kuliah di luar negeri, gimana? Kalau kambuh setiap aku stress, gimana? Apakah hidupku selamanya harus dihantui oleh penyakit ini, dan aku tak bisa benar-benar menjadi manusia yang sempurna sepenuhnya?

Seminggu terakhir ini seram sekali isi kepalaku. Oleh sebab itu, aku memutuskan untuk pulang ke Jakarta sejenak demi menyelamatkan diriku sendiri dari jurang stress atau yang lebih parah, depresi.

Rasanya, ucapan ulangtahun yang dituturkan teman-teman dan kekasihku kemarin menjadi sangat penting. Sehat. Panjang umur. Duapuluh dua tahun aku diucapkan ini, baru kusadari signifikansinya sekarang. "Ya, tolong," batinku menjawab harapan-harapan itu. Aku ingin panjang umur dan sehat selalu. Tak perlu ucapkan aku sukses dulu. Tanpa kesehatan yang memadai, tentu hal-hal lainnya menjadi tidak penting. 

--

Saat ini aku di rumah, dan aku merasa kondisiku membaik. Aku tidak perlu pusing kalau makan, aku merasa tenang kalau tidur, aku merasa tidak banyak waktu kosong bagiku untuk melamun dan membiarkan kecemasanku membawa pikiranku kemana-mana, karena banyak yang mengajakku mengobrol. Yang paling penting: aku merasa punya harapan. Dua mala lalu tatkala aku menangis, mengatakan ketakutanku bahwa ini takkan sembuh, aku dipeluk Mama dan dinasehati: aku harus membantah semua pikiran burukku karena apa yang kualami itu masih bisa diselesaikan, meski perlahan-lahan. Mama bilang Shabia adalah gadis yang pantang menyerah bahkan dalam keadaan sulit sekalipun, dan semangat itu dilihatnya memudar dari kehidupanku. Aku harus tetap semangat. Masih banyak orang yang kondisinya lebih parah dariku tetapi masih terus berjuang. Seperti mereka; aku harus tetap berusaha. 

--

Dalam situasi pandemi, kurasakan jadi lebih sulit untuk berkubang dalam stress, sebab pilihan kita untuk mengalihkan perhatian jadi terbatas. Ternyata aku pun juga tak sekuat yang kubayangkan; dan ini bukan sesuatu yang patut kusesalkan tetapi kuterima jadi bagian dari diriku. Sebab semua orang berbeda-beda, bukankah begitu? Rasanya pasti sedih harus mengidap penyakit-penyakit unik yang bisa berpengaruh pada tubuh kita di usia semuda ini, ketika teman-temanku dapat dengan bebas berlarian sana-sini tanpa melakukan pengobatan tertentu. Tapi kalau dibandingkan terus, ini tak hanya berdampak negatif pada psikis-ku, tetapi fisikku. 

Sekarang, aku sedang belajar untuk perlahan-lahan sembuh dan lebih bersabar dalam prosesnya. Untuk menggunakan waktu yang ada dengan lebih bijak dan maksimal, sembari pintar-pintar memanajemen stress yang seringkali datang seiring kerja yang banyak, konflik dengan kekasih, dan kabar buruk yang tak terduga. Doakan aku ya teman-teman...


Salam,

Shabia