Selasa, 27 Mei 2014

Saya hanyalah Setapak yang Mengantar



Saya ini hanyalah setapak yang mengantar.

            Saya tidak bisa menjanjikan kamu jalan yang mewah dan penuh dengan kemudahan, karena saya, sekali lagi, hanyalah setapak yang mengantar.

Dahulu kala, pernah ada periode di mana pengembara kerap kali menapak tungkai di atas raga saya. Mereka berbisik, mereka takkan jera mengarung melintas tubuh saya, karena saya adalah satu-satunya opsi yang mereka miliki.

Saya sudah pernah mengingatkan mereka—

—saya hanyalah setapak yang mengantar. (yang penuh derita dan kekurangan.)

Saya berkata, “Aku tidak dapat melindungimu dari bias sinar kalacakra tatkala Kemarau bertakhta. Aku juga tidak dapat melindungimu dari jarum-jarum likuid yang menyerangmu ketika Penghujan berkuasa. Kamu bisa kembali dan memutuskan untuk tidak menapak dalam setapakku.”

Hening sejenak, …

satu detik.

… Kemudian mereka menyahut, “Tak apa, kami masih memiliki tudung untuk menutup ubun-ubun kami tanpa perlu merasa panas dan penat, juga menghindari basah dari hujan gerimis.”

Maka saya biarkan mereka berjalan beberapa kilo.

Hingga kembali saya mengingatkan mereka—

—saya hanyalah setapak yang mengantar. (yang penuh derita dan kekurangan.)

Saya berkata, “Aku akan merentang melalui belantara, saat di mana siang hari bisa menjadi waktu kamu semua bereksplorasi, namun ketika kresnapaksa menyorot dari jumantara—marahabaya akan mengintai kalian semua dari sesemakan. Kamu bisa kembali dan memutuskan untuk tidak menapak dalam setapakku.”

Hening sejenak, …

dua detik, satu detik.

… Kemudian mereka menyahut, “Tak apa, kami masih memiliki pedang untuk membutakan mata-mata itu dan kekuatan untuk bertarung.”

Maka saya biarkan mereka berjalan beberapa kilo.

Hingga kembali saya mengingatkan mereka—

—saya hanyalah setapak yang mengantar. (yang penuh derita dan kekurangan.)
Saya berkata, “Aku masih akan mengantarmu lebih jauh. Sehabis ini, kontur dan tekstur di atas ragaku akan bertambah menguji. Ketika bermandikan banyu, tanahku bisa mengikat tungkai-tungkai kuatmu dan membuatmu berjalan lebih lambat, dan ketika kering menghembus bayu, tanahku akan membuat atensimu mengerjap karena debu. Kamu bisa kembali dan memutuskan untuk tidak menapak dalam setapakku.”

Hening sejenak, …

tiga detik, dua detik, satu detik.

… Kemudian mereka menyahut. “Tak apa, kami memiliki alas kaki yang resisten dengan lumpur coklat itu, kami juga bisa memejamkan mata kami ketika debu itu mengangkasa.”

Maka saya biarkan mereka berjalan, untuk kali ini, berkilo-kilo.

Saya tidak pernah mengingatkan mereka lagi, karena harsa menguasai akal sehat saya. Saya begitu ria karena mereka sudah melangkah sejauh ini, walaupun terkadang mereka berbisik penuh keluh ketika menyangka saya sudah terlelap. Walaupun mereka menendangi saya ketika mereka frustasi dan putus asa. Walaupun begitu, saya tetap mengarahkan mereka ke mata air dimana mereka dapat memuaskan dahaga mereka, ke petak-petak dimana pohon buah dapat memuaskan lapar mereka—intinya, saya memberikan mereka sebagaimana setapak memberikan seluruh kelebihannya. Dan tujuan mereka semakin saya dekatkan.

Lalu, terhembuslah kabar angin itu.

Ketika saya tersadar dari tidur saya, saya merasa sepi berjengkuh raga saya. Tak ada bisik-bisik semangat yang biasanya termelodi di subuh yang dingin. Tak ada entitas yang menancap di atas raga saya. Kosong—

Kemudian dirgantara berbisik prihatin di atas sana, “Mereka sudah pergi, Setapak. Ketika kau lelap, bayu bertiup melintas, berkata jalan aspal di ujung sana sudah dibangun. Jalan aspal itu menyajikan tudung kaca untuk melindungi mereka dari gejala cuaca, dan jalanan licin yang tak sebanding dengan keropeng-keropeng tanahmu. Mereka terlalu lelah untuk melanjutkan perjalanan—jadi selepas subuh mereka telah meninggalkan jalanmu.”

Saya hanya bisa terdiam.

Saya ingin murka, saya ingin marah, saya ingin muntab—

—tapi sekali lagi, saya hanya setapak yang mengantar.

Hanya dibutuhkan dua hari hingga negeri di ujung sana terbentang di depan pengembara yang saya antar. Hanya dibutuhkan kesabaran menghadang gerimis, terik, becekan, debu, teror, dan rintangan lain selama beberapa kilo, karena medan di depan sana tidak seekstrim ini.

Katanya mereka takkan jera?

Padahal, saya bukanlah setapak yang ingkar. Di jalan di mana kelok saya pun berakhir, gerbang yang paling indah yang didambakan para pengembara itu akan menyongsong mereka.

Tahun-tahun berlalu, dan siklus ini terjadi berulang.

Saya akan memperingatkan mereka dengan larik-larik yang sama, dan Para Pengembara menjanjikan kalimat yang sama. “Aku takkan jera”, katanya.

Tapi di tengah jalan, mereka akan raib.

Mereka, tentu saja, lebih memilih opsi di mana jalan aspal akan mengantar mereka penuh kenyamanan. setapak saya pun bertambah sepi. Saya mati.

Bahkan di beberapa paruh waktu, mereka menghancurkan raga saya—membuang limbah, mengeksploitasi tanah yang menyelimuti raga. setapak saya pun bertambah sepi. Saya terluka. 

Saya masuk ke dalam diri lebih dalam.

Di gerbang di mana setapak saya mengawali jalan, saya biarkan dedaunan dan tanaman jalar merambatinya, agar tak ada Pengembara yang melirik saya dan melukai setapak saya jauh lebih buruk lagi. Di gerbang di mana setapak saya mengawali jalan, saya biarkan mereka memasang palang tanda “berbahaya” agar tak ada Pengembara yang masuk dan melukai setapak saya jauh lebih buruk lagi.

Saya, sejujurnya, agak lelah.
.
.
Sekali lagi, saya hanyalah setapak yang mengantar.

Jangan salah, saya merindukan sesosok Pengembara di atas raga saya. Saya mendambakan kehadiran mereka, tetapi sekaligus saya takut.

Mereka tidak bisa menerima saya apa adanya.

Katakan saya naif, karena saya ingin mereka menjawab, “Tak apa, saya butuh gerimis dan sengatan mentari agar saya lebih merasa hidup ketika berjalan di atasmu.”

Katakan saya bebal, karena saya ingin mereka menjawab, “Tak apa, saya butuh kresnapaksa menyorot saya sehingga saya dihinggapi teror, dengan begitu saya dibiasakan untuk menghadapi kerasnya buana.”

Dan katakan saya irasionalis, karena saya ingin mereka menjawab, “Tak apa, saya bisa terbiasa melangkah dengan kuat agar tak ada yang menghalangi saya, dan saya bisa melatih mata saya awas, dengan debu-debu yang beterbangan itu.”

Saya hanya setapak yang mengantar. (yang penuh derita dan kekurangan.)

Dengarkan ini, Pengembara. Maafkan saya bila saya tak memberi kesempatan untukmu. Maafkan saya karena saya menguji, maafkan saya karena setapak saya buruk rupanya. Maafkan saya apabila saya menutup jalan ini begitu lama dan seakan tidak percaya.

Tapi tidak.

Saya masih memercayai kamu. Sibaklah gerbang saya dengan pedang yang kamu miliki dan lengkapilah dirimu dengan perbekalan, lalu mulailah memulai perjalananmu melintas saya.

Kuperingatkan kamu.

Saya hanya setapak yang mengantar. (yang penuh derita dan kekurangan.)

Dan ada si jalanan aspal yang juga mengantar. (yang penuh sukacita dan kelebihan.)

Tidaklah mudah untuk mengarung di atas saya. Itu saja. Tetapi saya berjanji, jika kamu tabah, begitu pula saya. Setapak saya akan mengantar kamu ke gerbang yang terindah, tetapi akan banyak cobaan yang kamu hadapi dalam jalanmu bersama saya.

            Jadi,

            Saya harap kamu adalah Pengembara yang takkan jera.

            Karena saya hanya setapak yang mengantar, yang sudah terluka namun tulus dan penuh harap.
            
             Saya menantikan Pengembara yang berkata, "Saya takkan menyerah, karena walaupun setapak ini menguji, kamu yang akan mengantar saya ke kebahagiaan hidup saya."

Jakarta
Dari kamar ungu
27/5/2014