Rabu, 10 November 2021

Merancang Mimpi

 "Apa mimpimu saat ini? Mengapa setelah sekian perjalanan jauh yang kamu tapaki, beratus pilihan yang mungkin menghadang di depan dirimu, ini lah mimpi yang kamu rangkul untuk diwujudkan?"

Sembari membasuh diri dalam balutan air hangat tadi, aku berhasrat untuk menanyakan ini, pertama tentu saja untuk diriku sendiri, tetapi juga ingin kulontarkan kepada orang lain. Beberapa tahun yang lalu, saat aku masih duduk di sekolah menengah atas, tidak sulit untuk menerakan mimpi-mimpiku dalam secarik kertas. Imajinasiku bisa kukembangkan hingga sudut-sudut terliar tanpa mengikutsertakan kata kunci seperti kapabilitas, sumber daya, dan masalah-masalah yang baru membekuk ketika kita dewasa.

Tapi saat ini, bukankah sulit sekali untuk merumuskan mimpi, apalagi ketika kita merasa tengah tersesat? Bukankah semakin sulit untuk membangun jalan menuju ke sana, karena lanjut kuliah di universitas A atau bekerja di institusi B tidak hanya semudah menggambar diagram dan peta jalan menuju cita-cita?

Namun, di balik kesulitannya, kulihat orang-orang di sekelilingku masih punya mimpi dan berusaha sekeras mungkin memakadam setapak menuju hal-hal "abstrak" tersebut. Apakah ruang hidup yang mereka tengah geluti saat ini memang masih mengizinkan mereka bermimpi, atau adalah tekad yang mempertahankan mereka untuk bermimpi, seberapa tidak mendukung lingkungan yang mengungkungnya? Aku punya kawan yang bekerja di perusahaan bonafide, kebetulan sejalan dengan apa yang ingin ia tekuni. Ia masih punya mimpi. Tetapi aku juga punya kawan yang lingkungannya sangat tidak menguntungkan: gaji kecil dan rentan, tersandung masalah-masalah mental, ia pun juga punya mimpi. Satu film di Netflix tentang Asia Street Food juga pernah menggambarkan oji-san (kakek) yang bermimpi punya lapak makanan sendiri... dan ia bersusah payah menabung jadi kuli dan buruh serabutan sampai akhirnya bisa membuka kedai makanan di pinggir jalan yang saat ini sangat terkenal (ya iya lah, kan diliput Netflix). Jadi apakah benar kalau mimpi juga berlaku bagi mereka yang kecil, rentan, miskin, dan papa? 

Ini masih satu hal. Tentang mimpi dan lingkungan. Lalu masalah lain menyeruak--pikirku sembari meraih sabun tadi. Bagaimana trajektori soal mimpi itu sendiri? Sebelum masuk antropologi, aku punya visi menjadi seorang guru komunitas yang mengajar di hutan atau lingkungan-lingkungan lain yang serba terbatas dan tereksklusi dari jangkauan negara. Hal ini berubah saat masuk antro. Aku belajar pangan, konsumsi, dan agraria, tertarik ke sana, dan kini titel itu telah melekat pada diriku. Apakah lebih baik cita-citaku diarahkan pada pendidikan yang merupakan passionku sejak kecil, atau baiknya kupilih hal-hal yang sudah kupelajari dan kudalami (meskipun belum ahli)? Seseorang mungkin akan membisikiku untuk memutuskan kata hatimu, atau bahwa dua hal ini bisa dikombinasi jadi satu. 

Ada jalan panjang menuju mimpi, tapi saat ini tampaknya aku harus ~ revisiting ~ mimpi-mimpi yang kubiarkan mengendap di boks tepi kamarku. Dan banyak-banyak memperbincangkannya. Selama ini kupikir punya mimpi adalah suatu hal yang klise, tetapi mungkin mimpi adalah satu dari banyak tali yang membimbing kita tatkala tersesat ... seperti aku sekarang ini.

not all those who wander are lost, but in order to find our way back, shouldn't we make a long long rope that will guide us after all?


Jumat, 29 Oktober 2021

edan

hidup apa yang hanya berjalan, menjalani, tanpa henti, tanpa duduk sejenak dan saling berefleksi? memeriksa kondisi masing-masing dan menetapi jalan panjang yang telah sama-sama dilalui. berusaha untuk mengungkit hal-hal yang tidak membuat nyaman tapi bisa tetap membicarakannya tanpa mengorbankan satu atau dua perasaan. tidak sering mengutarakan bahwa "ini cara mainku" atau "ini cara mainmu", tapi apa yang mau dipertemukan di tengah dan apa yang kira-kira membuat pemberian dan mendapatkan adil dan setara. berusaha mendefinisikan satu sama lain bukan hanya sebatas via medium semu yang hanya memeriksa kabar satu sama lain, tetapi sekali-sekali mengeksplorasi afeksi. tidak banyak menciptakan batas, alih-alih merasa bangga dengan satu sama lain, menunjukkan kasih di antara dengan kentara, bukan hanya pada dinding-dinding kosong yang menaungi jalinan tubuh dalam percintaan tetapi juga pada sosok-sosok fana di luar sana.

.

.

.

.

mungkin pernah memadu kasih bersama pujangga membuatku mematok standar begitu tinggi soal afeksi dan kasih di antara dua orang, dan ditempa untuk me-rasa oleh ibu yang lapang dada telah mewujudkanku sebagai seseorang yang begitu menggebu-gebu soal hati. ini belum lagi latar belakangku sebagai anak semata wayang yang selalu punya satu cinta yang tak terbagi. atau mungkin hingga saat ini aku masih merasa bahwa aku pantas memperoleh seseorang yang lebih lagi, di saat aku tahu apakah akan ada perasaan seperti itu, ketika seorang manusia akan terus menginginkan sesuatu yang melampaui apa yang ia miliki. tapi benarkah akan selalu begitu? lalu mengapa ada orang yang sampai pada wahyu soal "ini dia", "kamu lah satu-satunya", "mari menahbiskan hidup bersama", dan "kita jalani dalam duka dan lara"? apakah takdir? apakah hal-hal yang lebih berdasar pada rasionalitas, seperti usia yang terlalu tua dan tuntutan keluarga? apakah hasrat ingin melegalkan bersenggama? 

pertanyaan-pertanyaan ini akan terus menghantuiku, entah sampai kapan, entah akan permanen, entah akan temporer, entah hanya akan terbenam dan menyeruak di waktu-waktu tertentu atau selalu ada di sana tapi tak pernah memprovokasiku lama-lama. mundur ke bayang-bayang dan menatapku. 

.

.

.

.

.

.

.

tak tahu

Rabu, 04 Agustus 2021

A blurb

I have one lingering memory about one video I saw in my childhood. I was just 11 years old at that time. I don't exactly remember the title, but overall it was about how to treat your partner. I don't necessarily agree with the whole idea, however, there were some interesting points in that video.

I remember the video played some contrasting scenes about how we treat our partner (I think it was the husband of the wife—the central antagonist in that video) and our children. Both of them—the partner and the child—made one or two kinds of mistakes throughout the scenes, but the wife treated them very differently. For her child, she was more caring and giving understanding, calming him/her with soothing words, communicating why or how did he make the mistakes, and asking the child to not doing the same things in the future. Bravo! The child was smiling afterwards, then he/she hugged him/her mother in such endearment, likewise the mother. 

The father was not so lucky. The wife was sooo upset about his husband’s constant mistake, and she burst out her anger at her husband—poor him, but we all understand about that, aren’t we?—and then she left him with noisy steps, leaving her husband who looked at the door all sad and guilty. The video proceeded to the scene which intended to be reflective: what IF we treat our partner in the same manner as we did to our child? Caring, understanding, calming, communicating, and asking all in sweet and kind ways. The last scene of the video performed the different conditions and situations if we do the exact thing like the advice the narrator has given. The message is vivid here: treat your partner like you treat your children. Blah, blah. I was so amazed at that moment and promised myself to do the “the message” to my partners in the future.

.

.

.

Today, I look back in retrospect and feel a little disagree. To some extent, the narrator was right. Communication is the key. Try to be more understanding? It is still applicable somehow, only if our partner is still “new” in doing one particular kind of mistake, or perhaps we can be more tolerable for the second, or even the third. But having your partner doing the frustrating mistake for, let’s say, four or five times, although we have given our best efforts to understand and communicate well to them, will push us beyond our limit. Being a woman is another thing here, as well. I want to point out why it is always us, women, who are advised to be more understanding if our masculine partner makes some errors? Why the narrator did not push the man to be more disciplined and careful with her partner, trying to not repeat the same, old, boring mistake, and learning HOW to not repeat the fault and thus not upsetting the poor woman?

I might be still doing what the narrator has advised: doing communication and understanding but ONLY at one time. If the mature, smart, and grown-up man I opted to be my partner who by any chance doing some mistake MORE THAN once and this mistake is serious, should I treat him with such endearing and soothing behaviour perpetually? No. After all, he’s an adult. He has learnt many things in his life. We both chose each other with the same expectation that we will help one another to be a better human in our life, to not add more burden, for instance by carefully not repeating things that could disappoint or even hurt each other. 

In the end, the main point of the relationship is not one person being caring and giving too much space while the others can enjoy their life like a child. 

And I hope both of us will look out for each other's feelings more carefully.


With love and good night,


Rabu, 07 Juli 2021

A Strange Dream: 2

 the crossroad is not something romantic, if it was so modern and crowded by loud vehicles, people and passerby walked very fast and crossed the road heading to wherever their destination are. 

we are in the car; me, my best friend, my best friend's brother, and we looked outside. i remembered the atmosphere was light, pink-tinted, glossy (not foggy), like being drowned in a mixture of strawberry vodka and (too much) water.

my best friend's brother said, "it's two years ago."

i don't ask the meaning behind his funny exclamation of time. i noted that somehow, we were visiting a two years ago moments from someone's memory. but if it's the memory of someone other than ourselves, then the someone must have...

"it's her! it's her!" ... passed (i completed my thought). my bestfriend pointed towards a point outside the car. I saw my other bestfriend, seemed so happy and childlike, laughing beside someone. muscular back, masculine posture. i think it's someone special. someone special for my other best friend, i mean.

"how did we get there?" i asked. "it's a memory of her!"

i giggled. it feels like pensieve in Harry Potter's book. 

"do you think about her?" i asked my best friend's brother. perhaps we're ended up here because my best friend's brother.

"huh?" my best friend's brother seemed clueless, but more like implying how-do-you-know question.

"she seemed very happy," i concluded. 

I don't remember the aftermath, just my other best friend walked and walked, until she's very far I could not see her anymore. 

I woke up again.

how a happy memory can be very sad, with this pink-tinted nuances like a burnt dawn, signaling the end of the more-happy time?


p.s: i asked my best friend. she's completely fine. she asked if I missed her. I missed her and our memory in our happy town

Selasa, 06 Juli 2021

A Strange Dream

 it's the third time I visited this place. 

the building was the combination of two famous coffee chain shop we used to visit, which reminded me this place is not real. 

however, we sat at the center of the crowd, and I don't remember the exact conversation. I just remembered you seemed exhausted, but you still had this laugh on your face, and I wondered how did you possessed a contradictory face emotion while you have a completely different emotion inside? I don't remember the exact conversation, like I said, but I noticed we didn't talk something serious and hard topic. but finally you said you are exhausted. with a laugh. 

i asked why. i don't remember your answer. 

I turned my face around and saw that all people wore black clothes. I don't remember the color you and I wore. I think it's more colorful. not this terrifying monochrome colors. I noticed something was off. 

i decided to go to bathroom and back to the place we sat. but no one's there. no customers. no coffee shop. the building has changed into the real one--a university. 

then, I woke up.

---

it's a strange dream

i haven't dream about you since awhile. 



Rabu, 23 Juni 2021

Turbulences

Maybe this is how it feels; constant turbulence in an uncertain weather. 

Don't know if I have promising future, or if I have so much values in myself. Don't know if my limitation will restrain me pursuing my dream and my ambition (it's good to have an ambition, as long you have strong principles, don't you think?) or if it's just hanging there, telling me to step slowly, scrutiny every steps I take. 

Seeing all my friends in their own stages and steps making me feel uncertain and insecure. Where am I? Who am I? Am I doing right? Will I do good for myself in the future? Is the old me still stay there, deep inside my heart? 

lack of capabilities.

lack of certainty.

lack of achievements.

but at least no regret. 

if all of these are the part of my long journey, I will accept it and try to be more patient (and optimistic).

little by little. 

Kamis, 10 Juni 2021

Penggalan Percakapan #1

 "... tapi bersama dia aku jadi lebih dewasa, memandang dunia juga jadi lebih baik. kamu begitu juga, kan?"

aku terdiam. lidahku serasa kelu. 

akhirnya aku menghela napas lalu menghembuskannya dengan sedikit berat. terlalu kentara. 

"dewasa mungkin iya. tapi memandang dunia jadi lebih baik?"

kuakhiri tanda tanya. aku tak sampai hati mengutarakannya. dan mungkin memang tak bisa pula menjawabnya. 

Sabtu, 05 Juni 2021

Sentrifugal

pagi hari adalah waktu yang pas untuk berpisah. Langit masih bersih, udara ringan, matahari penuh kasih, dan harapan masih bergantung di udara. sudah dua kali kita berpisah dalam permulaan hari, dan aku bersyukur atas waktu yang membayangi perpisahan kita untuk sementara. 

sempat kubayangkan kita akan berpisah di stasiun, malam hari, dengan sebuah kereta yang akan membawaku kembali ke ibukota. sebuah bayangan yang sendu, ritmis, romantis, tapi mengerikan sekali! kanvas itu nampak jelas bagiku; kau mengantarku ke Tugu, dilatarbelakangi oleh langit malam Jogja yang selalu megah, lampu kuning, dan asap menggantang dari jalan-jalan Malioboro yang selalu ramai. sayup-sayup terdengar suara khas tanda kereta telah sampai. kau tidak boleh berhenti begitu lama karena kalau tidak penjaga akan perlahan mendekatimu dengan gestur mengingatkan, jadi kusaksikan dirimu memudar  ke jalan raya. aku berbalik dan menjemput rel serta sang kuda besi. lantas, lakon itu ditutup dengan sebuah lagu dari Mas Gardika Gigih, "... pernahkah kau sedekat ini? ku berlari. dan berlari ..." 

tidak tahu apakah berlari menjauhimu atau mendekatimu. 
menjauhi kotamu dan mendekati kotaku, itu yang paling jelas.

dan membayangkan ini, aku bisa tersedu-sedu dalam diam.

.
.
.

pagi hari, dengan pesawat, lakonnya tak perlu sesedih itu. pagi menunjukkan kanvas-kanvas yang penuh realita tentang Jogja yang sebenarnya tak kalah indah. kali pertama kita berangkat dari Kulonprogo, aku bisa memandang puncak-puncak bukit menoreh yang berwarna biru-hijau, begitu jelas batasnya dengan horizon. kali kedua kita berangkat dari Adi Sucipto, aku bisa memandang jalan cincin Jogja yang mulai merayap, dengan aneka kendaraan disesaki berbagai urusan. masih terasa seperti perpisahan dan masih asin juga air mataku di bibirku saat kusaksikan pundakmu berbalik dan kau berjalan menjauh, tapi berpisah dalam pagi hari jelas lebih mudah. 

.
.
.

selamat berjarak kembali,
berapa bulan lagi kita harus saling menjaga dari jauh? (kuharap tidak lama)


salam sayang dan selamat tidur.