Selasa, 14 Januari 2020

Sang Waktu



Waktu kadang-kadang kerap menuai pelik, seakan ia datang di saat yang tak tepat, padahal waktu adalah waktu itu sendiri.

Bayangkan skenario seperti ini: kau punya gambaran soal suami yang ideal, yang bersama dirinya lah kau hendak membaktikan jiwa dan ragamu, masa lalu, masa kini, dan masa depanmu, dan kepada ia lah kalian akan membesarkan anak-cucu kalian dan kepada ia lah kau hendak disemayamkan berdampingan, pada haribaan yang terakhir. Namun ia datang sekarang—di waktu di mana kau begitu jauh dari pencapaian diri, dari kematangan hidup, dari mimpi-mimpi yang bahkan belum sempat disuarakan. Tentu skenario ini bisa kau gubah dengan satu-dua pengorbanan: korbankan saja mimpimu, hidup bersama dia, rajut mimpi barumu yang kau sulam berdua.

Semudah itu kah?

Skenario di atas adalah kata-kata bersayap, ketika cinta bisa dipastikan dan pernikahan takkan mengundang pergolakkan. Sebagai anak yang lahir dari orangtua yang juga pernah berkonflik, aku mengerti betul bahwa pernikahan bukan institusi tanpa perselisihan. Ada banyak rintangan yang bisa ikut campur: perselingkuhan, ketidaksepakatan akan finansial, ketidakkompakan dalam membesarkan anak, ekspektasi yang tak bertemu di tengah, bahkan tuntutan peran terbias gender. Kadang kau bisa menyelesaikan dengan tetap bersama suamimu, kadang kau mencapai deadlock dan memutuskan untuk berpisah. Lalu ketika berpisah, ketika mimpi dirajut berdua, bukankah rajutan itu jadi harus diuraikan dan kau harus menyulam lagi dari awal? Itu pun kalau kau mampu menyulam. Kalau kau hanya ikat-mengikat si benang, tanpa punya pandangan akan bermuara dalam bentuk apa, atau berfungsi seperti apa si kumpulan benang ini—ia akan tetap jadi benang.

--

Setelah aku berkontemplasi dan mencerna orang-orang yang meneguhkan sikap untuk menjadi istri—atau suami—seseorang, kulihat polanya berkisar pada titik di mana mereka sudah melewati beberapa pencapaian mimpi. Dan pencapaian mimpi itu tak perlu muluk-muluk, ada yang sudah pernah bekerja, ada yang sudah pernah membangun dan tinggal di rumah sendiri, ada yang sudah melewati pelbagai pribadi, ada yang sudah pernah menahbiskan kontribusi untuk orangtuanya sendiri. Intinya sama: mereka sudah cukup dengan diri sendiri.

Maka bila seseorang yang kau proyeksikan—dan memenuhi kriteria—soal suami datang di saat yang tak tepat, di saat masih ada mimpi dan diri yang harus dicukupi, apakah kau berhak untuk meminta ia menunggu beberapa saat, selama kau masih harus menunaikan mimpi dan kecukupan diri? Kupikir berhak. Dengan satu syarat, dalam kurun waktu tersebut, kau berusaha keras untuk menggenapi dan membuktikan diri. Demikian pula, kau patut melihat kerja keras dirinya untuk menggenapi dan membuktikan diri. Kau pun bisa melihat bagaimana kalian mengatasi rintangan paling ajeg dalam Jagad Manusia yang ringkih ini: Sang Waktu, yang kadang bisa terasa begitu lama, kadang begitu cepat.

Ingatlah bahwa kalian toh telah memiliki satu sama lain. Namun, kalian belum memiliki waktu. Dan waktu yang tepat diraih dengan predikat aktif, bukan predikat pasif.

Kau (dan kalian) yang mewujudkan. Bukan ia yang di-wujudkan.