Rabu, 11 November 2020

Takut

kadang ada hari-hari buruk di saat keluar kamar saja aku tak kuasa. atau kadang aku hanya ingin keluar untuk berujung pada pelukan kekasih dan kasur sahabatku saja, tapi bagian tak menyenangkan dari hidup adalah kita tidak diperkenankan untuk bergantung pada orang lain dan harus mandiri. hal ini banyak terjadi di hari-hari terakhir aku di Yogya, dan aku tak tahu mengapa. 

aku tak pernah ada di posisi yang serapuh ini, ketika kerjaanku menangis tiap hari dan memikirkan hal buruk. kalau aku tidak melawan diriku sendiri untuk berbisik "tidak apa-apa" dan "tapi kamu harus kerja", mungkin aku takkan bertahan. tak pernah aku seragu ini sama diriku dan bertanya apakah aku mampu ini, apakah aku mampu itu, apakah aku akan masih hidup lama, apakah aku masih akan membahagiakan banyak orang, dan printilan lain yang terdengar sangat overthinking. kulawan setiap hari? iya. tapi pikiran dan kekhawatiran itu datang terus. 

pagi ini hal itu datang lagi, dan kuharap ini jadi buruk karena aku mau menstruasi. tapi apa yang membedakan menstruasi dengan kesedihan? tampaknya tak ada. sama-sama sakit. sama-sama menguras energi. sama-sama putus asa...


semoga aku akan baik-baik saja. 

Kamis, 22 Oktober 2020

Afeksi

afeksi,

afeksi dimana-mana.

di mana-mana,

orang menunjukkan afeksi


untuk aku:

afeksi di dalam sepi

(hanya berdua)

sepi sekali...

Senin, 12 Oktober 2020

Apakah

Apakah,
Takut kehilangan 
Bisa termanifestasi
Jadi satu kemarahan
Dan satu kemarahan 
Bisa jadi satu ketidakpedulian?

Apakah, 
Kata-kata kasar
Akan menggantikan
Kalimat takut kehilangan
Yang paling purba?
Ketika misalnya
Mencegah untuk tidak pergi
Adalah suatu hal yang musykil
Dan meruntuhkan harga diri?

Apakah,
Dirimu,
(Pernah)
Takut,
Kehilangan,
Diriku?

(Seseorang pernah berkata padaku bahwa dia sangat takut kehilangan diriku, tapi tak bisa menerjemahkannya menjadi suatu kalimat yang jujur. Tapi apakah begitu? Tak yakin juga aku. Mengapa kehilangan diterjemahkan menjadi satu kemarahan, bukankah dengan marah seseorang bisa merasa tak dibutuhkan kembali?)

Sabtu, 10 Oktober 2020

Perlahan-lahan Sehat


 
"Selamat ultah, semoga panjang umur, dan sehat selalu ..."


25 September kemarin aku ulangtahun. Usiaku genap 22 tahun. Belum sampai seminggu aku menikmati usia baruku, aku sudah jatuh sakit lagi; kali ini asam lambung lagi dan beberapa hari kemudian, hipertiroid. Diketahui kadar tiroidku berlebihan meski masih dalam batas yang tidak terlalu tinggi. Inilah yang menyebabkan aku kerap merasa lemas, tidak semangat kerja, dan berat badanku turun, di samping kombinasi rasa mual, muntah, perut tidak enak, dan brain fog.

Untuk orang yang suka kerja sepertiku, dua penyakit ini sangat menyiksa. Aku jadi tidak bisa "produktif" dan merasa putus asa karenanya. Untuk pertama kalinya, aku tahu rasanya hampir kehilangan harapan itu apa. Aku takut penyakit hipertiroidku tidak sembuh, asam lambung jadi penyakit langganan setiap bulan dan tak bisa kutanggulangi datangnya, dan yang paling parah: aku takut penyakit-penyakit ini akan menghalangi mimpiku untuk pergi sekolah keluar negeri, memperoleh karir yang bagus, membangun keluarga dan punya anak, dan yang paling parah: mati muda. Sebab kalau kambuh ketika aku kuliah di luar negeri, gimana? Kalau kambuh setiap aku stress, gimana? Apakah hidupku selamanya harus dihantui oleh penyakit ini, dan aku tak bisa benar-benar menjadi manusia yang sempurna sepenuhnya?

Seminggu terakhir ini seram sekali isi kepalaku. Oleh sebab itu, aku memutuskan untuk pulang ke Jakarta sejenak demi menyelamatkan diriku sendiri dari jurang stress atau yang lebih parah, depresi.

Rasanya, ucapan ulangtahun yang dituturkan teman-teman dan kekasihku kemarin menjadi sangat penting. Sehat. Panjang umur. Duapuluh dua tahun aku diucapkan ini, baru kusadari signifikansinya sekarang. "Ya, tolong," batinku menjawab harapan-harapan itu. Aku ingin panjang umur dan sehat selalu. Tak perlu ucapkan aku sukses dulu. Tanpa kesehatan yang memadai, tentu hal-hal lainnya menjadi tidak penting. 

--

Saat ini aku di rumah, dan aku merasa kondisiku membaik. Aku tidak perlu pusing kalau makan, aku merasa tenang kalau tidur, aku merasa tidak banyak waktu kosong bagiku untuk melamun dan membiarkan kecemasanku membawa pikiranku kemana-mana, karena banyak yang mengajakku mengobrol. Yang paling penting: aku merasa punya harapan. Dua mala lalu tatkala aku menangis, mengatakan ketakutanku bahwa ini takkan sembuh, aku dipeluk Mama dan dinasehati: aku harus membantah semua pikiran burukku karena apa yang kualami itu masih bisa diselesaikan, meski perlahan-lahan. Mama bilang Shabia adalah gadis yang pantang menyerah bahkan dalam keadaan sulit sekalipun, dan semangat itu dilihatnya memudar dari kehidupanku. Aku harus tetap semangat. Masih banyak orang yang kondisinya lebih parah dariku tetapi masih terus berjuang. Seperti mereka; aku harus tetap berusaha. 

--

Dalam situasi pandemi, kurasakan jadi lebih sulit untuk berkubang dalam stress, sebab pilihan kita untuk mengalihkan perhatian jadi terbatas. Ternyata aku pun juga tak sekuat yang kubayangkan; dan ini bukan sesuatu yang patut kusesalkan tetapi kuterima jadi bagian dari diriku. Sebab semua orang berbeda-beda, bukankah begitu? Rasanya pasti sedih harus mengidap penyakit-penyakit unik yang bisa berpengaruh pada tubuh kita di usia semuda ini, ketika teman-temanku dapat dengan bebas berlarian sana-sini tanpa melakukan pengobatan tertentu. Tapi kalau dibandingkan terus, ini tak hanya berdampak negatif pada psikis-ku, tetapi fisikku. 

Sekarang, aku sedang belajar untuk perlahan-lahan sembuh dan lebih bersabar dalam prosesnya. Untuk menggunakan waktu yang ada dengan lebih bijak dan maksimal, sembari pintar-pintar memanajemen stress yang seringkali datang seiring kerja yang banyak, konflik dengan kekasih, dan kabar buruk yang tak terduga. Doakan aku ya teman-teman...


Salam,

Shabia



Kamis, 03 September 2020

Tidak Sehat

Tulisan hari ini singkat saja; karena aku mengetiknya via notes di kamar mandi hotel. Beberapa waktu ini aku sering jatuh sakit, dan macam-macam saja penyakitnya; usus buntu, tifes, kista, dan kini ambeien. Hampir semuanya berada di perut bawah, hal yang sebenarnya sangat kujaga untuk kesehatan reproduksiku kelak. Aku banyak berefleksi, apa salah tubuhku? Tampaknya banyak bergadang tidak juga, aku tahu waktu dan tidurku pun sudah jarang sekali mencapai angka kurang dari 6 jam. Makan buah dan sayur, meskipun tak melimpah ruah, juga masih bisa dikatakan banyak, dan demikian pula minum air putih--aku bisa ganti galon sampai seminggu-10 hari sekali, padahal ini untuk konsumsi satu orang. Aku tidak merokok, minum alkohol, apalagi narkoba. Aku bukan penggila junk food; dan pendapatanku tidak mampu membelinya setiap hari. 


Kalau ada yang patut disalahkan, mungkinkah aku bisa menyalahkan waktu kerjaku yang berjam-jam di depan laptop, atau kesibukanku hingga tak sempat olahraga, atau stressku? Tapi untuk stress, aku merasa cukup bahagia, meskipun posibilitas masa depan kadang mengerdilkan harapanku dan aku sering menangis hampir di setiap malamnya. Atau karena aku kesepian, jauh dari orangtuaku dan punya kekasih yang kutahu hidupnya sudah cukup banyak urusan tanpa harus kujadikan tempat bergantung? Apakah hal itu cukup dahsyat utk menyebabkan malfungsi dalam tubuhku? Masih banyak orang yang gaya hidupnya lebih berantakan dari diriku, dan aku seringkali jadi merasa Semesta tidak adil untuk membiarkan aku jatuh sakit, di saat aku sudah berhati-hati. Konsekuensinya, suntik, obat, dan darah kini jadi hal biasa bagiku. Demikian pula rumah sakit. Demikian pula rasa sendiri yang menyergapku ketika aku menghadapi dokter dan konter obat sendirian. 


Kini, setelah pernah mengecap beberapa penyakit yang membuatku lemah, aku begitu takut bila menerima gejala pusing, panas, atau nyeri tanpa sebab. Dan orang-orang masih bilang "Jangan terlalu cemas." Kubilang dalam hati, silakan gantikan posisiku dan lihat apakah kalian semua masih bisa mengantakan hal yang sama. Sakit membuat kita pesimis, dan hal itu benar adanya. Aku sampai ragu aku akan berusia panjang. 


Aku hanya berdoa, semoga ini hanya terjadi pada tahun ini, dan begitu aku selesai mengatasi masalah sakitnya satu per satu, lantas bisa mengubah hal-hal dalam keseharianku, aku bisa kembali pulih dan tahun depan bisa  terbebas dari kunjungan rumah sakit untuk berobat. Dan doaku yang lebih panjang, adalah apa yang memotivasiku selama ini untuk berhenti merokok, untuk tetap sehat, untuk menghentikan stressku: semoga tubuh ini akan cukup sehat untuk melahirkan keturunan yang juga sehat.


Teman-teman, doakan Shabia terus sehat, ya! (Dan doakan aku gak cepat mati, lol) 


Senin, 06 Juli 2020

Menakar Rasa Cinta

Bertanya

Dari ibuku aku belajar:
jangan terlalu dalam-dalam merasakan rasa sayang, dan jangan melebihi rasa sayang pasanganmu.

Dari seorang sahabat, aku belajar:
untuk merasakan cinta, atau sayang, bukan menaruhnya dalam kompetisi, tapi sesuatu yang kita ukur dan hibahkan sendiri.

betapa dua-duanya cukup berkontradiksi, betapa dua-duanya sama punya poin yang signifikan, dan betapa dua-duanya punya dua mata pisau yang sama sakitnya dan melindunginya; yang pertama adalah tidak mencintai dengan utuh dan terjebak dalam skema take-and-give, yang lainnya tidak berhati-hati dan dapat membuat kita tersungkur di jurang. tetapi, bila mencintai dengan yang pertama, kita akan terus aman: mudah melepas dan mudah pergi. sementara yang kedua cenderung mendalami dan berpotensi merusak.

dalam banyak hal, mungkin aku adalah seorang perempuan yang menyayangi partner-nya dengan rasa cinta yang mirip kasus kedua, walaupun seringkali aku masih dihantui pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam kasus pertama: apakah aku menyayangi terlalu dalam, hingga aku tak tahu mana yang benar dan mana yang salah? apakah aku lebih menyayanginya, dibandingkan bagaimana dia menyayangiku? apakah ini akan sehat, bilamana suatu hari ia yang pergi dan meninggalkanku dengan segala luka yang (bukan pertama kalinya) kurasakan?

(aku jelas pernah berkubang dengan rasa kehilangan dan kesepian, dan rasanya tak enak sekali. fisik ataupun emosi.)

lalu, bagaimana mengukur apakah rasa sayang seseorang benar-benar setara dengan kita? apa yang harus kita nilai? apakah pancaran kehangatannya? atau apa yang ia berikan dalam wujud materi? seberapa sering ia mewadahi perasaan dan kekhawatiran kita? seberapa ia memberikan ruang untuk kita untuk menjadi diri kita, dan tetap mencintai kita? yang mana?

tak ada yang tahu pasti, jadi aku lebih sering berteman dengan naluri. kadang aku bisa merasakan ketika seseorang menyayangiku seperti aku menyayangi dia, dan kadangkala aku bisa merasa sebaliknya. tetapi kadang naluriku itu bisa menghadapi sebuah kabut: tak yakin juga aku apakah aku cukup dicintai.

di hari-hari yang berat, aku takut sekali kalau rasa sayangku ini terlalu berlebihan dan tak bisa membuatku cukup sadar bahwa partnerku tidak menyayangiku dan diam-diam sudah mulai meninggalkanku. sesuatu yang pernah kurasakan, dan tidak ingin kurasakan lagi kalau aku boleh memilih.

Mengingat

Ada satu gambaran kuat yang masih bercokol di kepalaku, yang masih tak dapat kugebah dan mungkin saja melandasi bagaimana aku mengambil posisi Mama ketika mencintai seseorang.

Aku dulu berpikir Mama lah yang lebih menyayangi Abah, dengan segala kesetiaan dan pemaafannya, serta kerelaan untuk selalu menerima ayahku kembali. Ia juga lah yang menahbiskan hal-hal kecil: "Rambut Abah sudah panjang, ayo ke barber.", "Abah nanti malem dateng, ayo kita beresin rumah biar dia gak perlu ngeliat rumahnya kotor.", "Mama cari pete dulu, ya." (pete adalah makanan kesukaan Abah).

Tapi di suatu malam ketika mereka bertengkar dan Abah menangis, lalu dia memeluk Mama diam-diam di kegelapan, juga amarah dan ketakutannya ketika ia merasa Mama akan tak mencintainya lagi, atau ketika ia turun berat badan begitu drastis ketika merasa tak bisa kembali lagi dengan Mama, membuatku diam-diam mengambil kesimpulan: dua-duanya saling menyayangi, meskipun yang satu dengan cara yang problematis dan menyakiti. Dan seringkali, aku merasa Abah lah yang lebih takut kehilangan Mama daripada sebaliknya.

Dengan kesabaran Mama, dan kemauan Abah, dua-duanya berusaha untuk memahami cinta satu sama lain. Kurasa mereka sedikit berhasil, meskipun salah satu sering lupa diri dan harus diingatkan lagi. Tetapi berapa lama prosesnya? Ini terjadi sejak aku masih SD. Hampir 10 tahun! Apakah kalau begitu, perasaan cinta baru benar-benar bisa dilihat setelah bertahun-tahun bersama dan menjalani konflik yang sangat pelik?

Kesimpulan dan pengalamanku, yang mungkin membentukku menjadi pribadi yang tak mudah menyerah ketika menyayangi. Betapa aku berharap sebenarnya aku mudah menyerah dan bisa melihat orang lain sebagai "potensi". Tapi tidak bisa. Prinsipku tidak seperti itu, dan dengan prinsipku ini, konsekuensi terbesar yang bisa kualami adalah selalu ditinggalkan, dan ditinggalkan, dan ditinggalkan... dalam artian aku yang paling terakhir "menyayangi" kekasihku. Sering dan beberapa kali terjadi seperti itu. Ya, dan ini lah yang selalu menciptakan rasa takut ketika aku merangkul jiwa yang baru untuk kulimpahkan dengan kasih, cinta, dan sayang.

Bertekad

Tampaknya tak ada formula tertentu untuk mencintai dan menyayangi, karena aku pun masih belajar. Dan mencintai seberapa besar pun, seperti ucapan-ucapan cliche, won't make him stay. Tapi mungkin ada formula yang lebih jitu, yang kupegang sejak dulu:

adalah kita yang memilih untuk bagaimana mencintai, dan bagaimana menyayangi, dan hanya dengan "alat" ini lah kita tahu siapa yang berhak untuk menerimanya untuk jangka waktu yang lama. bilamana ada orang yang menyangsikannya, salah paham terhadap maknanya, dan tidak memercayainya, berarti bukankah ia adalah orang yang belum pantas merangkul cinta kita?

Dan dengan ini, biasanya, aku bisa terlelap dengan lebih tenang dan melanjutkan rasa cintaku, terhadap siapapun yang sedang bersamaku...


Ditulis sembari mendengarkan:
Alexandre Desplat - Dreamcatcher
Bon Iver - I Can't Make You Love Me


Salam hangat dan selamat tidur. 


Sabtu, 29 Februari 2020

Resah dalam Kerja


Seseorang pernah mengajarkanku untuk melakukan reality check kapan pun aku merasa tersesat dalam dunia yang riil, yang rasional, yang membawa lari diri kita dari mimpi-mimpi atau rencana kita menuju mimpi kita.
Saat ini, aku tengah merasa seperti itu. Baru saja lepas dari institusi tempatku belajar dan berjibaku dengan ilmu antropologi selama seminggu, aku kini telah bercokol dalam sebuah dunia kerja, yang, meskipun kukehendaki, tak kusangka akan berlangsung secepat ini. Aku bahkan belum sempat melakukan hal-hal kecil yang sebenarnya kudambakan; membeli kemasan-kemasan kecil untuk pegawai FIB yang telah banyak membantuku selama 4 tahun terakhir, pamit ke dosen-dosenku, membuat surat untuk mereka yang akan hengkang dari Yogya, atau sekadar mengucapkan selamat tinggal kepada sebagian manusia yang kukenal sebelum nantinya kita dipertemukan kembali (atau tidak dipertemukan kembali). Aku bahkan belum sempat menikmati Jogja selama seminggu untuk diriku seperti yang awalnya kupikirkan: entah mengunjungi pantai atau menyelam di kolam air terjun, naik gunung atau ke bukit dan merasakan semilir angin tanpa skripsi, atau sekadar rebahan bersama kekasihku—melewatkan waktu bersama tanpa beban yang mengada.
Cepat, cepat, cepat sekali, sungguh cepat, dan tak ada waktu untuk berpikir.
Ingin aku merutuk diriku sendiri karena begitu tergesa dan gegabah untuk tidak menyisakan suatu ruang untuk berhenti sejenak dan merenungi segala posibilitas, aku malahan terlarut dalam sebuah proses yang seharusnya bisa kulambatkan. Hanya karena aku takut melewatkan kesempatan yang ada, dan takut nganggur beberapa bulan.
Dan tak kusangka tawaran pekerjaan ini akan melibatkanku ke dalam skema kontrak yang mungkin harus kutekuni selama setahun—di saat aku telah menggenapkan diri  untuk pulang ke kota kelahiranku di tengah tahun. Linimasa yang kususun berantakan: beberapa bulan ini akan kugunakan untuk membaca, menulis, dan riset, begitu tekadku di awal. Riset setidaknya dua-tiga kali. Menulis setidaknya di tiga sampai empat media yang berbeda. Tiap hari baca silabus, bikin sendiri. Tiga hal ini tentu saja bertolak dari ide dan hasratku sendiri; aku ingin belajar apa?
Sungguh naif. Naif, naif, naif. Memangnya aku akan merasa cukup berbulan-bulan melakukan ini? Tapi kalau hal-hal ini terjadi karena kehendakku (tapi di tengah jalan mungkin mampet karena bosan dan aku mikir kenapa aku gak kerja aja, berbakti pada korporat), aku mungkin tidak akan merasa seresah ini dan menulis ini di blog.
Salah satu orang terkasih berkata padaku, “Bi, bisa jadi (tawaran pekerjaan) ini adalah sebuah berkah. Dan privilese. Ga semua orang mendapat kesempatan untuk kerja seperti kamu.” Iya! Aku juga merasa begitu—makanya aku menerima pekerjaan H+5 itu. Tapi makin ke sini, kok pertanyaan-pertanyaan tentang apakah yang ingin kupenuhi di awal masih bisa kejadian bermuara pada jawaban yang gak enak, yaitu tidak bisa, karena kita sama-sama tahu ketika menghamba pada korporasi, banyak waktu yang akan terokupasi dan diri ini bisa semakin tak kita miliki? Lalu, apakah kerja H+5 ini jadi punya nilai yang sama? Pikiranku sungguh berisik, dan aku capek menangis…
Tulisan keresahan ini kutumpahkan agar aku bisa mengeluarkan unek-unek, sekaligus untuk jujur dan menata apa yang sebenarnya kurasakan, kausalitas apa yang menyebabkanku jadi segelisah ini? Karena memang belum pernah-pernah kupikirkan, tapi ini sangat menggangguku.
Lantas sehabis ini, aku akan memulai untuk mengorganisir kesadaranku kembali. Aku ingin melakukan reality check dengan diriku. Kalau ternyata diri ini butuh pelesir, mungkin aku akan pergi ke suatu tempat, menginap selama dua-tiga hari di sana. Dan yang paling penting, aku sedang takut sekali melakukan hal-hal yang seolah-olah ingin kutekuni padahal kutahu aku melakukannya untuk seseorang. Bukan karena aku tak mau membuat hal-hal untuk diberikan khusus pada satu orang, tapi lebih karena: ketika aku melakukan ini, akan ada kegelisahan dan ketidakpuasan yang terbit di hatiku, dan ini malah akan mengacaukan segalanya.
Aku tak mau mengacaukan segalanya. Apalagi mengacaukan orang-orang di sekitarku.
Apalagi mengacaukan diriku.

Dari:
Shabia, S. Ant.
Yang udah jadi sarjana tapi masih tetap resah dan gelisah.


Selasa, 14 Januari 2020

Sang Waktu



Waktu kadang-kadang kerap menuai pelik, seakan ia datang di saat yang tak tepat, padahal waktu adalah waktu itu sendiri.

Bayangkan skenario seperti ini: kau punya gambaran soal suami yang ideal, yang bersama dirinya lah kau hendak membaktikan jiwa dan ragamu, masa lalu, masa kini, dan masa depanmu, dan kepada ia lah kalian akan membesarkan anak-cucu kalian dan kepada ia lah kau hendak disemayamkan berdampingan, pada haribaan yang terakhir. Namun ia datang sekarang—di waktu di mana kau begitu jauh dari pencapaian diri, dari kematangan hidup, dari mimpi-mimpi yang bahkan belum sempat disuarakan. Tentu skenario ini bisa kau gubah dengan satu-dua pengorbanan: korbankan saja mimpimu, hidup bersama dia, rajut mimpi barumu yang kau sulam berdua.

Semudah itu kah?

Skenario di atas adalah kata-kata bersayap, ketika cinta bisa dipastikan dan pernikahan takkan mengundang pergolakkan. Sebagai anak yang lahir dari orangtua yang juga pernah berkonflik, aku mengerti betul bahwa pernikahan bukan institusi tanpa perselisihan. Ada banyak rintangan yang bisa ikut campur: perselingkuhan, ketidaksepakatan akan finansial, ketidakkompakan dalam membesarkan anak, ekspektasi yang tak bertemu di tengah, bahkan tuntutan peran terbias gender. Kadang kau bisa menyelesaikan dengan tetap bersama suamimu, kadang kau mencapai deadlock dan memutuskan untuk berpisah. Lalu ketika berpisah, ketika mimpi dirajut berdua, bukankah rajutan itu jadi harus diuraikan dan kau harus menyulam lagi dari awal? Itu pun kalau kau mampu menyulam. Kalau kau hanya ikat-mengikat si benang, tanpa punya pandangan akan bermuara dalam bentuk apa, atau berfungsi seperti apa si kumpulan benang ini—ia akan tetap jadi benang.

--

Setelah aku berkontemplasi dan mencerna orang-orang yang meneguhkan sikap untuk menjadi istri—atau suami—seseorang, kulihat polanya berkisar pada titik di mana mereka sudah melewati beberapa pencapaian mimpi. Dan pencapaian mimpi itu tak perlu muluk-muluk, ada yang sudah pernah bekerja, ada yang sudah pernah membangun dan tinggal di rumah sendiri, ada yang sudah melewati pelbagai pribadi, ada yang sudah pernah menahbiskan kontribusi untuk orangtuanya sendiri. Intinya sama: mereka sudah cukup dengan diri sendiri.

Maka bila seseorang yang kau proyeksikan—dan memenuhi kriteria—soal suami datang di saat yang tak tepat, di saat masih ada mimpi dan diri yang harus dicukupi, apakah kau berhak untuk meminta ia menunggu beberapa saat, selama kau masih harus menunaikan mimpi dan kecukupan diri? Kupikir berhak. Dengan satu syarat, dalam kurun waktu tersebut, kau berusaha keras untuk menggenapi dan membuktikan diri. Demikian pula, kau patut melihat kerja keras dirinya untuk menggenapi dan membuktikan diri. Kau pun bisa melihat bagaimana kalian mengatasi rintangan paling ajeg dalam Jagad Manusia yang ringkih ini: Sang Waktu, yang kadang bisa terasa begitu lama, kadang begitu cepat.

Ingatlah bahwa kalian toh telah memiliki satu sama lain. Namun, kalian belum memiliki waktu. Dan waktu yang tepat diraih dengan predikat aktif, bukan predikat pasif.

Kau (dan kalian) yang mewujudkan. Bukan ia yang di-wujudkan.