Sabtu, 24 Desember 2022

Surat Untuk Sahabatku: Dewi Bulan (Jia)

Dear Jia,

(Kamu kupanggil begitu karena sahabat kita yang satu lagi pernah memberitahuku namamu dalam bahasa Mandarin. Dan kucari di gugel, artinya bisa jadi perempuan luar biasa. Sementara nama panggilanmu yang biasa katanya berarti dewi bulan)

Semoga kamu dalam keadaan baik. Atau kalau sedang tidak baik-baik saja, semoga kamu dalam keadaan cukup baik untuk bisa melangkah dan dikelilingi orang-orang yang sayang padamu. Kalau tidak salah hari ini kamu akan pulang ke kota kelahiranmu, bertemu Mama dan artinya tidak akan sendirian. Aku tentunya mau minta maaf dulu karena hari-hari terakhir ini begitu sibuk untuk urusan duniawi dan tidak bisa dengan mumpuni berada di sisimu.

--

Jia, aku pernah mengingat satu masa di mana kamu menceritakan satu orang secara partikular dengan mata berbinar. Bagaimana kamu menceritakan gestur-gesturnya, termasuk kebaikannya pada makhluk kecil kita yang menghuni bumi (baca: kucing). Kamu bertemu dia setelah perjalanan panjang menghabiskan energi dan waktu untuk laki-laki yang tak pantas buatmu. Aku masih ingat pada saat itu merasa lega, karena kamu akhirnya menemukan seseorang yang pantas, layak, dan yang paling penting: memberikan afeksi yang sehat dan memperlakukanmu dengans etara. Dari dulu ucapanmu selalu sama: "Doakan ya, Bi." dan kamu bercerita ekspektasimu pada saat itu benar-benar kamu rendahkan, agar kamu tidak terburu-buru, memburu-buru, atau merasa kecewa dengan prosesnya. Aku masih ingat kamu ingin hal ini berjalan dengan hati-hati dan tentunya disadari. 

Jia, hampir seminggu yang lalu kamu mengabariku bahwa orang ini, yang ternyata berproses bersamamu dengan serius beberapa bulan belakangan dan kamu percaya hampir sepenuh hati, memutuskan untuk berpisah jalan darimu. Perasaan dingin kurasakan, dan yang paling dominan adalah merasa khawatir karena rasanya pasti sakit sekali. Baik bagaimanapun pasti susah bagimu untuk percaya, apalagi menitipkan hatimu, hanya untuk remuk karena keputusan ini. Aku bisa merasakan emosimu campur aduk: kecewa, kesal, sedih, terluka, kehilangan, mungkin ada penyesalan dan juga pertanyaan-pertanyaan yang melesak di benak yang tak juga terjawab: kenapa begini? kenapa begitu? kenapa tidak bisa begini, atau begitu? 

Mungkin juga kamu merasa dirimu begitu kurang, hingga akhirnya ia pergi.

Atau merasa bodoh, karena ia memilih untuk pergi (di saat kamu masih mau memperjuangkan ini meski juga tidak bisa dibilang tidak setengah mati). 

Merasa tak berdaya. Hatimu tak tenang, pikiranmu juga. Merasa kosong dan hampa. Kemudian ada kesepian yang amat sangat ... Namun karena kita orang dewasa, semua ini harus kita tekan ke ambang batas emosi yang ditolerir dalam ruang yang bukan dihuni kita saja: ketika kita bekerja, ketika kita bersua orang lain, membuatnya merebak begitu dahsyat kalau kita sedang sendirian. 

--

Jia, memang sangat menyebalkan ketika kita mempertaruhkan perasaan dan rasa percaya kita untuk seseorang yang pada akhirnya tidak cukup siap untuk menerima dan mengolah perasaan itu. Dan rasanya tak adil ketika di masa kita masih mempertahankan dinding untuk melindungi diri agar tak terluka, seseorang malah berjuang sepenuh hati agar kita menggerus dinding ini pelan-pelan, hanya untuk meninggalkan kita dan membuat kita kembali ke perasaan itu lagi. Lalu saat kita ingin berjuang dan berupaya keras melakukannya, ia yang merasa bahwa perjuangan ini terasa tidak bermakna. Atau merasa bahwa kamu tidak pantas berjuang karena kamu berhak untuk beristirahat, atau tidak kepikiran banyak hal.

Mungkin tidak adil juga di dalam satu hubungan, kita mengidam-idamkan afirmasi dan rasa nyaman untuk membuat dua orang saling merayakan relasi dan keberadaan satu sama lain, tetapi orang lain mengartikan itu sebagai suatu hal yang terlalu menekan dan membuat sesat pikir. Mungkin karakter orang terlalu kompleks, masa lalu mereka terlalu membuat diri mereka tidak bisa mengkompromikan hal-hal, dan masih menjadi misteri kapan kita mengerti bahwa ini persoalan ego saja (sehingga ada keinginan egois untuk tidak mau bertemu di tengah) atau bukan itu saja.

Namun bagaimanapun, keputusan memang sudah dibuat, dan ini adalah pilihannya, yang bisa kita lakukan sekarang adalah menghargai pilihannya dan berfokus pada penyembuhan diri kita, meskipun tentunya ada hal-hal yang tidak boleh kita lihat sebagai salah kita semata dan akan jadi bumerang untuk kesehatan jiwa, raga, serta pikiran kita.

Kalau aku bilang segalanya baik-baik saja, itu akan cliche sekali dan menafikan segala kerja keras yang tubuh dan pikiranmu lakukan agar kamu tidak terlalu terpuruk. Dalam beberapa minggu bahkan bulan ke depan mungkin takkan baik-baik saja. 

Membasuh tubuh dari sisa-sisa memori butuh waktu yang lama. Tapi bukan berarti tidak bisa. Jia dulu pernah bertekad, bahwa apapun ini akhirnya, yang paling penting adalah memberanikan diri untuk merasa, dan belajar, dan bertumbuh dari prosesnya. Kamu sudah melakukan itu. Jia yang ada di muara relasi ini adalah Jia yang pemberani, bijak, dan menguasai hal-hal yang tidak bisa dilakukan Jia di hulu relasi ini. Dan untuk hal-hal itu, kita bangga dengan Jia. 

Sekarang kita fokus ke penyembuhan diri, tetapi sekaligus merayakan kebebasan: setidaknya apa yang menjadi sesat pikir sekarang jelas (meskipun dengan kepergian). Tapi kamu sekarang kembali bisa memiliki dan memeluk diri sendiri tanpa pelbagai pertimbangan yang bikin sakit kepala tiap hari. 

Kamu bisa melakukan ini :) 

P.S: aku mengirimkan puisi Sarah Kay juga untukmu di sini.

Salam hangat,

Shabia