Selasa, 23 Desember 2014

Heterogenitas?

Terlahir sebagai gadis dengan latar belakang suku yang heterogen, yaitu Banjar (Kalimantan Selatan), Jawa (Jawa Tengah), Padang (Sumatera Barat), Sunda (Jawa Barat) dan sedikit darah Belanda sayangnya cuman nurun ke alis dan warna rambut hehe membuat saya mau nggak mau sering merasakan bentrokan budaya dari berbagai keluarga saya. Bentrok yang kadang positif, tapi juga negatif.

Mari ambil dari contoh yang mungkin paling simple, tetapi juga mungkin paling dasar: yaitu gender saya sebagai perempuan.

Nama saya Gusti Nur Asla Shabia. Gusti Nur itu adalah gelar, saya gak tau gimana silsilah keluarga saya dari jaman Kerajaan Islam, tapi Abah (ayah saya) bilang saya adalah keturunan ningrat. Ningrat dari sultan siapa, saya juga malas nyari. Karena Abah nikah sama Mama dan kebudayaan Banjar adalah patrilineal, maka saya menurunkan "Gusti" dari Abah, dan mendapatkan nama "Nur" sebagai bentuk feminin-nya.

Yang mengherankan, darah Minang yang mengalir di pembuluh darah Mama saya pun menjadikan marga Minang saya "Madewa" pun sebenarnya bisa turun ke saya. Tapi, mungkin karena sistem pewarisan kekerabatan yang udah gak terlalu kuat di keluarga mama, kali, ya, nama Madewa itu gak turun ke saya. Bisa jadi juga karena Atuk (kakek saya) laki-laki, jadi gak punya kuasa untuk menurunkan nama -- tapi ternyata Beliau juga menurunkan nama tuh ke keempat anak-anaknya. 


Sebagai Perempuan

Bukan untuk membuat citra buruk bagi salah satu suku, tapi tetiba, saya menyimpulkan bagaimana persoalan perempuan di kedua darah yang mengalir di pembuluh darah saya. 

Saya lahir dalam didikan Abah yang keras dan mau dilayani: hasil sosialisasi dari kebudayaan Banjarnya, dan lahir dalam didikan Mama yang lembut dan terpengaruh banyak modernisasi: kendati Mama orang Minang, mama dari kecil lahir di Jakarta dan metropolis.

di Banjar ini lucu. Kalau saya pulang ke Banjar, fix banget saya jadi seorang gadis baik-baik yang ngelayanin Ayah saya. Mulai dari nyediain piring makan, nyuciin piring, ngambilin sesuatu (bahkan kalau si Bapak lupa menyertakan kata tolong.), bikinin kopi (tapi saya selalu mager kalo yang ini, jadinya udah gak disuruh-suruh lagi buat urusan ini), dan hal-hal lain. Lelaki sangat dituakan di sini. Poligami adalah sesuatu yang juga lazim dan bahkan seringkali ditolerir. Perempuan adalah penyedap rumah tangga dan yang melayani; mengemong; yang harus mengerti, dst. "Ya namanya juga cowok," adalah kata-kata yang biasa diucapkan. Seakan memiliki penis sudah bisa dijadikan rasionalisasi status dan peran.

Nah, di sisi lain saya juga punya pandangan feminis yang mungkin agak ekstrem. Terpengaruh dari Mama yang aktivis perempuan (mama kerja di salah satu Organisasi Non-Pemerintah) dan yang modernis, Mama membuat saya terbuka akan hak-hak perempuan. Saya inget satu hal yang agak lucu dan sebenernya remeh, waktu itu saya buang angin (peringatan sudah diberikan) dan saya berantem sama Abah sampe berapa jam gitu karena Abah saya bilang: "Gak ngehargain banget sih, masa cewe baik-baik kentutnya keras, gak ditahan!" dan saya lawan, "Lah kalo gitu Abah kentut gede-gede, bau lagi, annoying lagi bunyinya, lebih parah dari aku, kubiarin aja? Kenapa jadi ngelibatin jenis kelamin?" dll dsb. Belum lagi Abah yang ngerasa terhinaaa banget kalo nyuci piring dan nyuci baju karena gak biasa dilibatkan oleh kegiatan seperti itu di Banjar.

Saya pun jadi seorang Bia yang merupakan penggabungan dari keduanya. Saya ini Bia yang vokal soal hak-hak perempuan, ngelawan kalo dipaksa bertingkah nano wrimo kalo disuruh-suruh dengan embel-embel "kan kamu cewe". Tapi, saya juga Bia yang sebenarnya senang kalo menjalankan peran ibu rumah tangga, saya suka masak, nyuci piring, bersihin rumah, bahkan kalau saya nginep di rumah teman atau menyediakan rumah saya sebagai inepan teman (?) semuanya pada bawel bilang saya kayak emak-emak.

Dari Segi Budaya

Latar belakang yang heterogen juga membuat saya terbuka sama tata cara dan adat yang kadang-kadang gak lazim sampe butuh waktu bagi saya buat menyesuaikan diri. Misalnya:

Kalimantan, yang terbuka dan blak-blakan, menganggap:
1. Bersendawa sesudah makan adalah bentuk penghargaan terhadap makanan dan Tuan Rumah
2. Makan "ngecap-ngecap" (maksudnya mulutnya dibuka) adalah tanda merasakan kelezatan makanan
3. Orang Banjar tolerir banget soal harta. Mereka selalu memberikan uang atau perhiasan untuk besan mereka yang disayangi. Saya pun mengalami hal itu, saya punya beberapa anting emas dan perak (Martapura) sebagai hadiah. Mereka gak pernah hitung-hitungan dan loyal sekali, bagi mereka tamu harus dijamu dengan baik dan pantas.
4. Cewe gaboleh pake baju seronok :( 

Minang, membuat saya:
1. Ngomong dengan suara kencang yang membuat saya jadi Pemimpin Upacara dua tahun dan ketua kelas tiga tahun, pas masih SMP.
2. Suka sekali dengan sambal dan tahan pedes.
3. Cukup blak-blakan dan dominan (bila diperlukan).

Jawa, kebiasaan unik dan terlalu sopannya:
1. Tidak mampu menolak makanan yang disediakan tuan rumah. Menolak makanan itu pantang hukumnya.
2. Lewat depan orangtua harus menunduk.
3. Percaya takhayul. Sangat-sangat percaya, bahkan saya mikir saya bisa jadi dalang cerita misteri suatu saat nanti (?)
4. Melayani
5. Lewat di depan seseorang di jalanan harus bilang "Permisi Pak/Bu" (meskipun ini saya temukan di banyak budaya)

tapi tentu saja, lahir dan hidup di Jakarta membuat saya juga menjadi kaum metropolis. Tetapi kaum metropolis yang kadang eneg sama situasi Jakarta yang ruwet banget. Saya kadang pengen jadi kembang desa, mandi di sungai, turun ke ladang (?)

nggak deng, saya pengen jadi metropolis yang nggak lupa sama alam raya. Dan saya punya ambisi aneh, saya pengennya nikah sama orang Jawa sih (loh loh loh), tapi married with someone who have a different culture sounds good, seperti hmmm misalnya: Batak, Manado, Dayak, Papua. Tidak ada limitasi.

Yang jelas, saya bangga bisa terlahir di keluarga dengan empat latar belakang budaya. Terima kasih sudah ingin mendengar curahan pikiran dari saya!

Pulkam: Jogja, Pake kain Bali, berwajah Banjar, berdompet Padang (dompetnya gak keliatan)

 

1 komentar:

  1. Kata Almarhum bokap gw yang keturunan padang Sunda, marga padang gw Madewa, secara keluarga besar lg mw bikin silsilah, apa ada hubungannya ya? Dan ada keturunan Eropanya dari nenek almarhum....( nama gw Syahrizal Indra, nah semua klg gw pake Indra, menurut cerita dari Almarhum Bokap Indra Madewa), Missing Link, lam Kenal yah

    BalasHapus