Kamis, 15 Januari 2015

Surat Untuk :


Halo.

Ketika kamu berdiri di ujung depan, berhadapan dengan khalayak dan satu linier dengan lokasiku duduk, aku merasa jutaan milisekon terhisap, melintasi dimensi dan waktu dengan gerakan mundur, dan membawa kita tepat ke satu tahun yang lalu. Lalu cuman ada kamu. Dan ada aku. Secara atensi, karena suara-suara orang lain hanya menjadi backsound.

Terbukti sudah portal waktu yang dicari para ilmuwan untuk berpindah zaman sia-sia belaka. Mereka mencari apa yang sudah ada dari waktu yang lama. Setiap dari kita memiliki portal waktu, bahkan lengkap dengan rekam perasaan dan sesekali, suasana yang ditangkap indra yang persis sama. Portal waktu tersebut ada dalam serebrum kita. Dan, aku tengah menggunakannya. Aku melintasi setahun hanya khusus beraparasi pada tanggal 15 Januari 2014. Waktu yang sama dan suasana yang sama.

Bukankah kita berubah?

Kala itu kita duduk bersisian. Pundak bertemu pundak. Baru saja menyelesaikan pertanyaan yang terkirim dariku kamu-masih-sayang-aku-atau-nggak yang kamu jawab dengan keyakinan penuh ya-aku-masih-sayang-sama-kamu-lah. Lalu kita berdebat. Tentang kandidat yang kamu suka dan aku tidak suka. Dengan tangan kita yang secara sembunyi-sembunyi bertaut, takut melanggar batas Public Display of Affection. Sekilas tak ada yang berubah, memang: Pesta Demokrasi, orang lain sebagai subjek pesta, dan posisi kita yang linier. Hanya tiga hal, yang cuman tiga tetapi krusial, yang kini telah bertransformasi. Posisi yang kini terentang jarak, kamu sebagai subjek pesta, dan… kita.

Apa kabar? (bahkan aku harus melewati tiga paragraf bertele-tele untuk bertanya ini.)

Kini aku sudah kembali menjejak tanah masa kini. Portal-ku tidak rusak, ia masih bisa meresonansikan ingatan. Dan aku kembali melihatmu. Yang berdiri penuh percaya diri di depan sana, tapi kutangkap satu-dua nada presentasi yang bergetar. Kamu gugup, tentu, kan?

Kamu berubah. Kamu bukan lilin yang polos lagi. Mungkin kamu sekarang sudah menjelma menjadi lentera atau bahkan bohlam wolfram. Hasil usaha-mu mati-matian itu—surai yang kini meriap-riap liar—rambut gondrong yang makin membuatmu mumpuni (iya kamu tambah ganteng. Jangan tinggi hati.) dan postur tubuhmu. Kepolosan masih mengendap di sana, tapi lilin itu sudah tak gampang meleleh sekarang. Kamu telah jauh lebih dewasa. Kamu tegap, kamu percaya diri, kamu kritis, kamu sampaikan visi misimu dengan lugas—lilin yang berjuang agar kerlipnya tak mati. Tapi, ada kepahitan di sana. Dan keinginan untuk membuktikan diri. Setahun sudah menunjukan bahwa sekolah kita menyimpan banyak kebusukan: sistemnya, makhluk-makhluknya, pengajarnya, bahkan romansanya? Mungkin aku juga ambil andil di salah satu kepahitan itu. Mungkin juga keluargamu. Atau hal lain. Tapi percaya lah, kepahitan ada agar dunia masih sempat memberikan gula untukmu. Tetap waspada, jangan sampai terbuai kemanisan, padahal yang dikasih ke kamu itu siklamat.

Aku juga berubah. Aku tambah gendut, tambah mulus (ini sarkasme), tambah dewasa, tambah beban, tambah tidak lugu, dan kini sudah menggenapkan diriku kepada orang lain. Seseorang yang seperti kamu yang dulu tapi juga tidak seperti kamu. (Tapi aku takkan membahas aku. atau dia. Kita akan membahas kamu.)

Aku sedih. Aku sedih kita berubah. Kini kita tak lebih dari dua pasang mata yang tabrakan di koridor yang dilanjutkan senyum. Formal. Dan tadi, ketika aku melihat pembuktian diri yang kamu pertaruhkan di depan sana ketika pertanyaan-pertanyaan sulit mulai bermunculan, aku ingin menghambur ke kamu. Menepuk bahumu dan berkata baik-baik saja. Menjadi ketua adalah visi yang lain dari dirimu selain keluarga dan akademis. Tapi, percaya lah, sekalipun kamu tidak jadi ketua, tidak apa-apa. Masih banyak peran lain yang harus kamu mainkan demi menyuburkan sekolah kita. Aku menyesal sempat memutuskan untuk jaga jarak denganmu dan tak bisa menyemangatimu. Aku kesal, kamu selalu menghinaku. (mengejek muka mulus itu menghina, loh. Apalagi untuk aku yang sensitivitasnya sudah kamu tahu banget.)

Aku bukan milikmu lagi. Kamu bukan milikku lagi. Kupikir dua hal itu yang paling krusial berubah di galaksi kita. Tapi, sadarkah kamu kita melangkah terlalu jauh? Kita pernah berjanji akan menyokong satu sama lain. Aku tak memintamu untuk kembali, hanya untuk bilang kita bisa seperti dulu sebelum periode itu, teman pulang, dimana kamu bisa ceritakan rahasiamu dan berbagi beban. Matamu masih sama seperti dulu. Lilin yang menerangi gelap, tapi juga punya gelapnya sendiri. Masalah-masalahmu makin baik kan? Atau makin buruk? Aku bahkan tak tahu. Aku pengin tahu.

Sebulan lagi dikurangi 4 hari, adalah tepat dimana kita memutuskan untuk melangkah di jalur eskalator yang berbeda. Tapi, arahnya masih sama. Jadi kita masih bisa ngobrol, masih bisa curhat. Masih bisa menunaikan pinky swear kita agar tak jadi bullshit belaka.

Aku tak tahu apakah pesan ini akan pernah sampai padamu atau tidak. Aku sudah mengirimkan pertanda, dan berharap kamu temukan jawabnya. Ayo pulang bareng lagi, berbagi beban, aku masih bisa jadi pendengar yang baik.

Jadi … itu saja. kalau kamu teliti, ada tiga hal penting di surat yang bertele-tele ini. Dan oh, ya, apa kabar si R***? Sebulan kurang 4 hari lagi, habis sudah masa perjanjian kita yang aku curangi—dan ayo lah, jadikan dia teman berlarimu. Dia sudah sepenuh hati ingin bersamamu, dan aku akan senang melihat kalian berjalan bersisian.

Jangan menyerah kepada kepahitan ya. Tetap berkeluh kesahlah denganku. Dan, cepat-cepat lepas status jomblomu. Ada yang nunggu, jangan sampai lepas lagi lho :)

Sampai mengobrol lagi. Kamu akan tetap menjadi lilin yang menjanterakan harsa dan keluguan bagi saya.

Salam,
B







Tidak ada komentar:

Posting Komentar