Rabu, 04 Maret 2015

Exhibition Report: EXTENSIVE – THE OTHER SIDE, Salihara

So one week ago, I was waiting S11 in front of my school after practical test that made my day became sucks, and I was searching some solution to refresh my mood.

Then suddenly this great idea came to me. I decided to bring my feet to Salihara, as I remember there is one exhibition and still available to visit. And I was right, Salihara seemed so lonely that afternoon; the display room was tedious and there’s no one but me (and also the caretaker) in that exhibition. But I like it tho, because I can enjoy and explore the masterpiece of the artist by myself alone.

(Okay. Enough for writing so much of English phrases right here. I was prepared for speaking examination when I wrote this article too.)

---

Jadi tepatnya hari Rabu, tanggal 26 Februari 2015 berdirilah saya di ruang pameran Salihara. Untuk yang belum tahu Salihara, Salihara adalah sebuah komunitas dimana sering diadakan pertemuan, pameran, pentas, konser, teater, workshop, dan lain-lainnya yang berbau-bau seni, filosofis, politik, pokoknya sesuatu yang for instance bisa dipelajarin sama orang-orang ‘kaya’. Bagi yang tertarik untuk mengunjungi, ini website resminya:


Dan ini keempat kalinya saya mengunjungi Salihara (yang hanya buat ambil brosur dan cuci-cuci mata gak termasuk, ya.) setelah melihat-lihat pameran Asian Pop Culture, terus nonton Australian Dance Theater, dan ngeliat pamerannya Mas Erik Prasetya yang Estetika Banal. Dan beruntungnya, meskipun pameran yang ini tergolong kecil dari jumlah materi pamerannya (hanya lukisan berupa layar hitam yang guede, 3D Arts, documentary film, dan philosophy thing yang akan saya jelaskan lebih lanjut di bawah), saya cukup menikmatinya karena saya sukaaaa sekali dengan beberapa materi yang dipamerkan. Baik gimana pun, mau sejelek apapun, seni selalu memanjakan mata saya, sih. Hehe.

Dikutip dari handbook Salihara yang saya dapatkan secara cuma-cuma dari rak informasinya:



EXHIBITION OF WOMEN ARTIST’ WORKS: EXTENSIVE – THE OTHER SIDE
Seniman/Artist: Gitte Saetre, Mona Nordaas, Ingeborg Annie Lindahl, Annie Knutsen.
Kurator/Curator: KJeel-Erik Ruud
In Bahasa Indonesia:
Extensive – The Other Side menampilkan karya-karya empat seniman perempuan Norwegia kontemporer. Inilah karya-karya dari sebuah negeri yang dikelilingi oleh pegunungan tinggi dan garis pantai yang panjang. Ada semacam “isolasi artistic” yang membuat karya-karya mereka menarik. Ada isu global, di samping soal-soal lokal yang diprotet dengan kepekaan artistic sang seminal yang khas.
            Ingeborg Annie Lindahl misalknya, lewat perspektif mata burung menampilkan lanskap gunung api dalam rupa goresan kapur tulis hitam. Sementara Mona Nordaas mengangkat kembali konsep “metamorphosis” dengan mendefinisikan kembali sampah dari kehidupan sehari-hari sebagai karya seni.
            Gitte Saetre menampilkan video performance tentang pekerjaan “membersihkan” yang memiliki pesan politik yang sangat kuat dan menantang keterlibatan pemirsa. Adapun Anne Knutsen berbicara tentang pertanian oleh perubahan iklim..
In English:
            Extensive – The Other Side exhibits artwork from four contemporary Norwegian women artist. These artworks come from a country surrounded by high mountains and long coastlines. There is a kind of “Artistic isolation” that makes their artworks very interesting. There are global issues, besides the local contents, portrayed with the distinctive artistic sensitivity of the artist.
            Ingeborg Annie Lindahl, for instance, through bird’s eye perspective, exhibits a volcanic mountain landscape using white chalk on blackboards. Meanwhile, Mona Nordaas re-highlights the concept of “metamorphosis” by redefining everyday rubbish as artworks.
            Gitta Saetre screens a performance video about a “cleaning” job that conveys a strong political message and challenges the viewers involvement. Meanwhile, Anne Knutsen reflects on how agriculture is under the threat of climate change.
(I disclaim for the content. Copyright belongs to Salihara.)

Karena pameran ini berlangsung dari 7 Februari hingga 28 Februari, saya termasuk datang di saat-saat terakhir, dan saya bersyukur karena menyempatkan diri untuk bertandang sejenak, karena pamerannya worth it!

Memasuki ruang pameran, mungkin karena saya selalu tertarik dengan benda-benda berwarna gelap atau karena pemandangan yang langsung menyita perhatian saya adalah dinding, hingga mata saya langsung tertuju ke layar hitam yang dibentangkan dari kanan ke kiri (ruang pameran Salihara berbentuk lingkaran) dengan lukisan kapur berwarna putih di atasnya. Apa istilah Indonesia untuk breathtaking? Oh, ya, kehabisan napas. Saya sempat nyesek ngeliat lukisannya (ini gak lebay, lho), karena keren, monokrom gitu!

(gambar letusan cuekin muka gue )
(cuekin muka gue lagi yha. pra letusan)

 Impresi pertama saya adalah: wah, mega sekali lukisannya, perspektifnya bagus banget untuk mengeksplor sisi filosofis gunung. Ternyata bener juga, saat saya baca keterangan lebih lanjut, ternyata lukisan gunung dari kapur itu memang punya arti filosofis dan dilihat dari sisi pandang burung sebagai makhluk “bebas”.  

Usut punya usut, lukisan ini adalah karya masterpiece dari: Ingeborg Annie Lindahl! Dari kiri ke kanan, lukisan pertama adalah lukisan gunung yang mungkin bertipe strato—seperti kebanyakan gunung di Indonesia. Kelihatan pasif. Lalu gunung kedua, yang kini gunung itu disandingi dengan gunung lain jadi mungkin bisa disebut pegunungan, bentuknya masih strato. Memasuki gunung ketiga, gunung yang masih terlihat pasif, tetapi bentuknya sudah perisai (seperti Gunung Bromo). Lalu gunung keempat, perspektif mulai berubah. Gunungnya menampakkan ciri-ciri aktif: asap yang pekat. Mungkin itu pra-erupsi atau ketika erupsi, karena tampak wedhus gembel yang bergumpal-gumpal. Gunung keempat, menampakkan semburan lahar ke atas langit. Gunung kelima, gunungnya sudah jinak kembali. Saya mendapatkan gambaran umum kalau gunung terakhir itu pemandangan di Norway, yaitu berupa kawah. Tapi Faris (yang pada hari kedua ikut sama saya), menyuarakan pikirannya bahwa lukisan itu terlihat seperti Danau Sagara Anakan di Rinjani, Lombok.

Keren sekali, ya, mbak Lindahl ini. Ia memaparkan, lukisan ciptaannya itu menekankan pada proses pelukisannya yang nggak permanen. ia memilih bentuk gunung sebagai metafora dari suatu hal yang sering dieksploitasi orang namun pada kenyataannya tidak permanen dan bisa meledak pada suatu saat. Setelah saya ngekepoin biografinya di internet pun, saya tahu Lindahl sudah berkutat dengan kapur dan layar hitam hampir lama, dan ia nyaris menggambar bentuk-bentuk pemandangan atau kontur alam untuk berfilosofi.

Dari persepsi saya sendiri, saya menganggap bahwa lukisan Annie Lindahl menggambarkan suatu proses. Bagaimana mulanya alam adalah sosok yang megah dan mudah dieksploitasi, dan terkadang terlihat seperti subjek yang dikontrol manusia, padahal pada kenyataannya adalah, mereka adalah objek yang mengontrol manusia. Fisis determinis. Lalu bagaimana sesuatu yang kelihatan permanen seperti gunung sebenarnya tidak permanen dan cenderung bisa menimbulkan letusan. Namun dari letusan itu, fenomena-fenomena kenampakan alam bisa terbentuk. Mungkin dari sudut pandang geografi, lukisan ini adalah penggambaran sempurna dari siklus vulkanisme—melahirkan danau, lahar, kawah, dll. Dari sudut pandang sosiologi, sebuah re-integrasi dari konflik. Sudut pandang filosofis, seperti yang saya paparkan di atas. Belum lagi sudut pandang ideologis dan politik. Seni adalah sebuah equivocal—saya telah belajar bahwa mereka mengapproach audience dan menimbulkan arti yang berbeda-beda.

tasnya berlalu sebagai pot btw

Kemudian setelah puas menikmati dinding, mata saya bergerak ke sayap tenggara, di mana ada sebuah backpack lusuh, isinya ada ranting tanaman yang meranggas. Ini adalah karya metaforik dari Anne Knutsen “A Traveler and His Tree”. Pesan yang saya tangkap dari sebuah representasi ini adalah: bagaimana seseorang harus membawa warisan “keluarga” (yang ternyata barulah saya tahu “keluarga” itu adalah negara) di beban di punggungnya dalam rangka melakukan perjalanan hidupnya. Jadi dia kayak semacam (saya pake istilah kasar) multitasking, sambil berusaha untuk menemukan hidup dirinya sendiri, dia juga membawa beban tanggung jawabnya. Gitu. He carry the duty with him on his shoulder; a backpack full of apples, parents, grandparents, great-grandparents, expectation, and tradition. It more like showing the metaphor of our duty as young generation to our ‘country’, ‘family’.



Terus, di samping backpack tersebut ada—lima I-Pad! Halah, mental kere saya langsung muncul berasa mau ngambil (nggak deng). I-Pad tersebut menampilkan video eksklusif karya Gitte Saetre, lima-limanya meaningful and contain politic aspects. Yang pertama, Woman Cleaning Final Destination. Kedua, Woman Cleaning a Tank took place at Israel, Woman Cleaning (lupa, tentang bersihin shameness, maybe? Ah.) Terus Woman Cleaning European History, dan terakhir Woman Cleaning Nation Identity. Mungkin karena basic saya menikmati karya seni yang tradisional dan saya gak terlalu dalemin dokumenter, saya jadi gak terlalu keambil hati yha. Tapi saya paling suka Woman Cleaning yang saya lupa namanya , isinya tentang dia gak nyambut kedatengan Dalai Lama, karena terlalu sibuk membersihkan negaranya. Keren ya :”) dia juga sempet bikin short film ini di Indonesia, tepatnya di TPA (prediksi saya Bantar Gebang) jyang udulnya Woman Cleaning Final Destination. Itu keren juga (lebih karena saya subjektif seneng negaranya dijadiin latar seni wuakaka).

Puas ngeliat film dokumenter, sebenernya saya langsung girang karena juga akan memfokuskan perhatian ke sesuatu yang sudah menarik perhatian saya sejak awal, hampir berbarengan dengan karya Lindahl, tapi saya memutuskan untuk menikmatinya terakhir. Dan karya itu adalah:



Nih dibold: Phyllotaxis, 2015 oleh Mona Nordaas! Keren. Banget.

Woke, jadi according to the term, Phyllotaxis adalah: “suatu susunan biologis yang sering didapati dari struktur daun, batang, atau sesuatu yang memiliki range yang pasti”.

Dan ya, karya Mona Nordaas ini berpola filotaksis. Setelah saya gugling, phyllotaxis pun sering didapati di tumbuh-tumbuhan dan selalu memiliki sudut yang sama dari berbagai angle, makanya dia disebut divergence angle. Phyllotaxis ini rumit, mengandung barisan Fibonacci, ribet HEHE.

ini yang berwarna biru!
ini yang berwarna merah: lihat! ada kartu, ada foto bekas pameran, terus tutup botol, stiker, koin, dll

nun jauh di sana, ada kuning. Kreatif kan, bahkan roda sama selang bekas AC saja bisa diolah! Ckck.


Yang menarik bagi saya adalah karya ini: WARNA-WARNI BANGET! Luchuk! Eye catching, dan blinky. Jadi seniman perempuan ini “memetamorfosiskan” barang-barang remeh temeh dan barang-barang bekas menjadi mahakarya 3D seperti ini. Mbak Nordaas cerdas loh, bukan hanya sembarang nyusun-nyusun barang, ia mengurutkannya jadi sebuah gambar lambang yang warna-warni, merah kuning hijau biru hitam putih coklat dll sbgnya. Semua barang bisa dipake, mulai dari koin, foto-foto bekas, hasil print, kartu (saya sampe pengen ngambil kartu tarot yang masih bagus banget hiks), dll sebagainya. Yang juga menarik, Mona Nordaas  ini dalam semua karya serupa menaruh semacam benda poros di tengah-tengah lambang. Seru ya :D saya jadi pengen nerapin ini di rumah, tapi pasti Mama saya langsung berubah jadi Eyang Sapu Jagad gatel pengen membenahi, hihi.

Agak susah berfilosofi dan menafsirkan arti karya 3D art ini, karena sang seniman sendiri juga mengartikan karya dia sebagai sesuatu yang sederhana, cuman “metamorfosa”. Tadinya saya mikir tiap fragmen beda warna ada artinya, tapi nggak juga. Selain nyeni, ternyata karya seperti ini bisa menjadi gerakan yang menyelamatkan lingkungan loh, yaitu Recycle. Wow. By putting together the most ordinary thing into something beautiful, to give the viewer of the artwork the opportunity to see things with a new look.

Maka sudah itu, habislah sudah hal-hal yang bisa saya eksplor lagi. Saya pun jalan ke pintu keluar untuk pulang, tapi perasaan yang sama selalu mendera saya di detik-detik terakhir. Kalau sehabis mengunjungi pameran seni, hati saya tuh gatal pengen berbagi pikiran sama orang biasa, orang ahli, atau bahkan mungkin senimannya sekalian mengenai interpretasi mereka terhadap karya seni yang dipamerkan. Tapi, hingga kini, setelah sepuluh (iya, Alhamdulilah, udah sampe angka 10 nih kunjungannya) saya ngunjungin pameran seni, saya belum bener-bener ketemu orang yang bisa jelasin apa makna seluruh karya yang dipamerkan, padahal saya pengen bangeeeet L

Satu hal, meskipun saya ngerasa gak terlalu pantes untuk komen, semoga buat pameran selanjutnya, Salihara agak ngasih pengaman untuk display materinya, karena karya 3D Arts itu gak ada pengaman, bok, gimana kalo yang ngunjungin itu pengunjung gak bertanggung jawab dan mau ngambil kartu tarot itu seperti hasrat klepto saya? HEHE. Sayang banget kalo sampai barang hilang. :)

Sukses deh Salihara buat ke depannya, semoga saya masih bisa terus meelanglangbuana di dalem galeri-nya!


(photos credit to A. Faris, one of amazing photographer and boyfie i've ever had, yeay!
Terima kasih, pobs.)

cheers,
Bia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar